Saya dibesarkan dalam paradigma gender yang kaku: Diberikan pakaian merah muda oleh orang tua karena katanya itu warna “untuk perempuan,” dan kamar adik saya dicat biru yang “cocok untuk anak laki-laki.”
Saya kemudian membuang pakaian merah muda saya pada umur 16 tahun, sementara adik laki-laki saya mengecat kamarnya dengan warna ungu pada usia yang sama.
Ketika saya melahirkan putra saya, saya membungkusnya dengan selimut berwarna kuning, hanya karena pada masa pra-USG, saya tidak tahu apakah saya akan memiliki anak perempuan atau laki-laki.
Bagi saya, pada hari saya membawanya ke rumah, bayi yang saya gendong adalah seseorang yang harus dibesarkan dengan sebanyak-banyaknya cinta dan pengetahuan yang bisa saya berikan, agar ia dapat menjadi manusia yang bernilai dan berharga bagi dunia.
Tiga puluh tiga tahun kemudian, anak laki-laki saya—yang menyukai celana kargo dengan banyak saku, atau celana setelan serta kaus, atau kemeja lengan pendek dengan varian hitam, abu-abu, dan biru pucat—menjadi pria yang dihormati di bidang pekerjaannya. Seorang pria yang senang berbagi tentang apa yang ia ketahui dan memberikan bantuan kepada mereka yang membutuhkannya. Dia telah menjadi manusia yang bernilai dan berharga.
Dia juga seorang homoseksual. Sebuah kategori umat manusia yang sering kali mendapatkan stereotip, dicemooh dan diejek, bila tidak secara ekstrem dicaci maki, dihina, dikucilkan, diserang, hingga dibunuh.
Ini adalah kenyataan yang dia, ayahnya, dan saya hadapi dalam lingkungan yang melihat spektrum gender sebagai hitam dan putih tanpa nuansa abu-abu—dan pastinya tidak pernah multiwarna. Sebuah masyarakat yang menuntut kami dan dia untuk menempatkan diri sendiri tepat di salah satu dari dua kotak yang disediakan: “Laki-laki” atau “Perempuan”.
Baca juga: Queer Love: Bisakah Kita Membelokkan Orang Jadi LGBT?
Ketika anak saya memberi tahu saya pada usia 15 tahun bahwa dia homoseksual, saya mendapati diri saya berkata sambil tersenyum lembut, tetapi dengan air mata yang terasa panas di mata saya, “Ibu juga mengira begitu, dan itu tidak jadi masalah karena biar bagaimanapun, kamu masih diri kamu. Ibu mencintai kamu apa adanya dan akan selalu begitu.”
Sejak dia kecil, saya telah menyadari nuansa dalam karakter anak saya yang tidak saya rasakan pada laki-laki lain yang tumbuh besar di lingkungan saya, pada suami saya, atau pada saudara angkat anak saya dan sepupu laki-lakinya. Ketika sedang merenungkan hal ini, saya teringat kisah nenek saya tentang “anak laki-lakinya yang manis”—putra tertuanya—yang meninggal dalam kecelakaan saat bertani sesaat sebelum ulang tahunnya yang kedua puluh. Maka, saya cukup yakin bahwa Sang Pencipta juga telah menempatkan jiwa yang manis dan lembut dalam asuhan saya, dan saya berupaya semaksimal mungkin untuk merawatnya dengan baik, seperti yang telah nenek saya lakukan sebelumnya.
Yang membuat saya tercengang, suami saya yang terbilang macho dan terlihat tangguh, menangis secara terbuka ketika dia mengetahui hal ini. Saat itu ia berkata dengan lirih seakan mengalami rasa sakit emosional yang luar biasa, “Oh, anakku yang malang, betapa sulit hidupnya nanti.”
Saya cukup meyakini bahwa Sang Pencipta telah menempatkan jiwa yang manis dan lembut dalam asuhan saya, dan saya berupaya semaksimal mungkin untuk merawatnya dengan baik.
Bukan abnormal
Kita semua paham sulitnya hidup bagi orang “normal”, terlebih lagi bagi orang yang berbeda dari segala sisi. Saya mengenal anak saya, dan saya pastinya tidak bisa melihat dia sebagai monster mesum, atau jiwa yang tersesat dan memilih jalan yang salah dengan sengaja, sebagaimana masyarakat akan melihatnya.
Maka, saya mencari segala hal yang dapat saya pelajari tentang homoseksualitas untuk memastikan apakah memang benar apa yang masyarakat tanamkan pada diri saya: Bahwa saya telah gagal sebagai seorang ibu atau telah merusak anak saya ketika mengasuhnya.
Yang saya temui dari buku-buku terbaru, esai daring, serta makalah ilmiah tentang seksualitas manusia, sosiologi dan psikologi, serta penelitian medis adalah bahwa sekitar 15 persen dari populasi seluruh manusia adalah homoseksual—10 persen terdiri atas laki-laki gay dan lima persen perempuan “lesbian”. Saya juga belajar bahwa studi biologi telah menemukan homoseksualitas di antara berbagai jenis hewan, yang tampaknya berhubungan dengan pelestarian spesies melalui pengasuhan anak yang telah kehilangan orang tua kandungnya.
Atas dasar bacaan itu, saya bertanya pada diri sendiri, apakah homoseksualitas adalah penyimpangan seperti yang diajarkan kepada saya, atau suatu bentuk pola biologis atau genetik—sebuah bagian dari paradigma yang lebih besar.
Kemudian, saya mendengar pembahasan seorang psikiater terkemuka Indonesia tentang aspek medis, biologis, dan genetik dari homoseksualitas pada manusia. Saya juga telah membaca lebih lanjut tentang ini dan menemukan kesimpulannya bahwa homoseksualitas tidak “abnormal” dalam spektrum psikologi dan psikiatri, atau bahkan biologi, tetapi ditentukan oleh proses genetik dan/atau hormonal.
Saya juga menemukan bahwa memang, itu adalah “kesalahan” saya bahwa putra saya terlahir sebagai homoseksual. Namun, bukan karena saya membesarkannya dengan buruk, melainkan karena saya membawa genom yang diturunkan secara acak dari ibu ke anak, yang terkadang melompati satu atau dua generasi.
Baca juga: Tentang Melela dan Meruwat Orientasi Seksual
Dari pengalaman tersebut dan pengalaman membantu membesarkan sejumlah anak angkat dan keponakan heteroseksual, saya menyimpulkan bahwa secara pribadi, membesarkan seorang anak homoseksual—baik gay atau lesbian—tidak jauh berbeda dengan membesarkan anak mana pun dengan jenis kelamin apa pun.
Yang kita perlu lakukan adalah menghormati anak sejak awal kita mengenal mereka, merawat pemahaman mereka tentang diri sendiri, serta membantu mereka sebanyak mungkin untuk mendapatkan pandangan positif tentang dunia di sekitar mereka dan tempat mereka di dunia tersebut.
Satu-satunya pengecualian adalah bahwa anak-anak homoseksual akan lebih bersusah-payah untuk menyesuaikan diri dan menemukan tempat dalam lingkungan manusia yang biasanya tidak bersahabat. Mereka butuh dukungan dan kepastian terus-menerus bahwa mereka diciptakan sebagaimana seharusnya, dan bahwa mereka dapat berkontribusi secara positif terhadap kehidupan masyarakat. Hal yang paling penting adalah mereka diakui dan diterima oleh orang-orang terdekat mereka—layaknya manusia lainnya—dan dibiarkan tumbuh dan berkembang dengan cara mereka sendiri.
Artikel ini diterjemahkan oleh Radhiyya Indra dari versi aslinya dalam bahasa Inggris.
Comments