Pergi ke bioskop jadi kegiatan favorit saya waktu masih Sekolah Dasar (SD). Tujuannya bukan untuk nonton film, melainkan lihat poster-poster film yang masuk daftar coming soon. Meski belum tentu nonton, saya antusias karena mengetahui judul-judul film dan jajaran aktor yang berperan.
Ada masa di mana poster-poster film yang akan tayang dipenuhi gambar hantu. Waktu itu sekitar akhir 2000-an, ketika film horor berjudul sensasional sedang menjamur. Hampir setiap posternya menampilkan sosok perempuan.
Untuk menjawab rasa penasaran, saya yang masih 10 tahun menonton Hantu Jamu Gendong (2009). Film yang dibintangi Julia Perez itu menceritakan arwah penjual jamu yang gentayangan, usai diperkosa dan dibunuh.
Dengan pengetahuan tentang film seadanya, saat itu saya enggak berhenti berpikir: Untuk apa film maker memproduksi film jelek? Terlebih, enggak sedikit film horor berkonsep serupa di tahun-tahun tersebut.
Ternyata, film-film yang disutradarai Koya Pagayo itu—nama lain Nayato Fio Nuala, adalah contoh film kelas B. Film jenis itu dibuat dengan anggaran rendah dan didistribusikan sebagai pendamping film utama dalam double feature. Itulah mengapa efek khusus yang ditampilkan terlihat enggak maksimal. Begitu pula dengan aktornya, yang enggak banyak melibatkan bintang papan atas.
Akibat teringat nonton Hantu Jamu Gendong, saya jadi ingin menyaksikan film horor kelas B lagi sekarang. Kebetulan momennya pas, karena akhir Oktober identik dengan Halloween. Akhirnya, saya memilih beberapa film karya Amer Bersaudara, untuk merayakan spooky season kemarin. Terlepas dari karyanya yang dicap “film jelek”, karya-karya mereka justru punya nilai feminisme.
Baca Juga: Pengalamanku Baca Komik Siksa Neraka
1. Goyang Kubur Mandi Darah (2018)
Ketika menelusuri film-film Amer Bersaudara di internet, Goyang Kubur Mandi Darah (2018) menjadi judul yang pertama muncul di hasil pencarian. Film ini menceritakan tentang tiga perempuan yang mengenang kepergian sahabatnya. Mereka berpesta, minum alkohol, dan joget “goyang kubur”. Kemudian, perayaan itu berubah jadi situasi mencekam karena kehadiran tamu tak diundang.
Selain mirip dengan film horor 2000-an, nuansa yang ditampilkan Goyang Kubur Mandi Darah serupa dengan program televisi bertema mistis pada era tersebut. Di Sini Ada Setan (2003), misalnya, atau Kisah-Kisah Misteri (Kismis) (2003). Sebagai orang yang masa kecilnya menyaksikan acara tersebut, film ini bikin saya seneng banget.
Interior rumah yang digunakan, cara pengambilan gambar, efek visual, dan scoring-nya, bisa dibilang hampir sama persis bak film dan program televisi mistis itu. Situasi mencekam yang berusaha dibangun, justru jadi momen nostalgia bagi saya. Terutama saat efek visual petir muncul berulang kali.
Dalam membuat film kelas B, sang sutradara, Azzam Fi Rullah, ternyata mengagumi Nayato. Itu membuat Azzam mengadaptasi film-film Nayato di sejumlah karyanya, sebagai love letter untuk karya sang idola. Enggak heran, Goyang Kubur Mandi Darah termasuk salah satunya.
Walaupun demikian, film ini justru bikin tertawa ketimbang ketakutan. Bagaimana enggak, hantu yang seharusnya menyeramkan justru ikutan joget “goyang kubur”. Belum lagi, ketika ia mati setelah dipukul pakai dildo oleh salah seorang karakter perempuan.
Adegan itu sekaligus mematahkan maskulinitas toksik. Pasalnya, laki-laki justru “dikalahkan” dengan sex toys, yang membuat mereka terintimidasi. Sex toys dinilai menggantikan keintiman dengan pasangan, dan bikin insecure karena enggak bisa memberikan kepuasan.
Ketika dihubungi Magdalene pada (26/10), Azzam menceritakan nilai feminisme itu membuat Goyang Kubur Mandi Darah menang nominasi “Best Thriller” di LA Underground Film Forum (LAUFF) pada 2018.
Lewat adegan yang sama, film yang awalnya akan berjudul Akamsi Massacre ini, juga mengusut trope final girl—karakter perempuan yang selamat di akhir cerita. Dari ketiga perempuan, Intan (Tara Ellena), satu-satunya yang berhasil melawan hantu menggunakan dildo di saat teman-temannya jadi korban pembunuhan.
Baca Juga: Seminggu Nonton Film Horor Asia: Makin Yakin Hantu Barat Enggak Mutu
2. Kesurupan Erotik (2021)
Saat pertama kali membaca judulnya, saya mengira ini film esek-esek khas 2000-an. Ditambah adegan pembuka filmnya, menampilkan perempuan bernama Vina, sedang berjoget menggoda laki-laki di hadapannya.
Namun, asumsi saya 100 persen keliru, ketika melihat adegan Vina dan kedua temannya muncul mengeluarkan pistol. Rupanya, Kesurupan Erotik adalah karya Amer Bersaudara lainnya, yang punya nilai feminisme.
Menceritakan tentang tiga orang agen perempuan—mirip Charlie's Angels (1976-1981), yang ingin bikin pesta seks. Mereka tertarik berhubungan seks dengan orang yang sedang kesurupan. Premisnya sederhana, tapi powerful!
Keinginan itu menunjukkan perempuan yang berani mengeksplor seksualitasnya–sesuatu yang masih ditabukan masyarakat dan belum menjadi kebebasan bagi perempuan. Selain itu, kebebasan perempuan untuk mengekspresikan seksualitasnya juga masih dikesampingkan.
Azzam mengatakan, ia dan Putra Merdeka–rekan sutradaranya di Amer Bersaudara–memang ingin menunjukkan perempuan punya suara dan kebebasan. Termasuk lewat ekspresi seksualnya.
“Selain menyuarakan kalau perempuan kuat, hal-hal yang dianggap tabu (oleh masyarakat) itu kebebasan buat mereka,” kata Azzam. “Tanpa dorongan laki-laki, mereka bisa berdiri sendiri.”
Pasalnya, perempuan enggak jarang distigma ketika mengekspresikan seksualitasnya. Contohnya kena slut shaming, saat perempuan menyatakan hasratnya untuk berhubungan seks. Sejumlah masyarakat menilai, perilaku itu terlalu sensual.
Atau prude shaming, ketika perempuan memilih tidak melakukan hubungan seks. Baik sedang berpuasa, berprinsip no sex before marriage, atau menggunakan purity rings. Sementara pelaku prude shaming menganggap pilihan itu enggak keren.
Terlepas dari keberanian mengklaim seksualitas, Kesurupan Erotik menunjukkan perempuan yang tidak tunduk pada laki-laki. Mereka memulangkan alien lewat portal, karena alien tersebut ingin mengubah bumi jadi tempat wisata seks ilegal.
Baca Juga: Film Horor Simbol Ketakutan Atas Kekuatan Perempuan
3. Sentuhan Binal Iblis (2020)
Film Amer Bersaudara yang ketiga jadi favorit saya, Sentuhan Binal Iblis. Bercerita tentang Nindya (Zahra Zarina) yang membenci semua orang, kecuali pacar dan adiknya. Suatu hari Nindya, menemukan sekte yang bisa mengabulkan permintaannya. Namun, setiap permintaan harus “dibayar” dengan satu kali orgasme.
Awalnya, saya sulit memahami alur film ini. Semuanya begitu jelas, ketika Nindya meminta pacarnya untuk membuatnya orgasme. Sebagai perempuan, ia berani menyampaikan ketidakpuasannya berhubungan seksual.
Keberanian Nindya jadi salah satu alasan Sentuhan Binal Iblis jadi film favorit saya. Bahkan, ia enggak pura-pura orgasme untuk menyenangkan Reno (Avandrio Yusuf), pacarnya. Namun, yang ingin digarisbawahi justru rapuhnya maskulinitas Reno.
Di sebuah adegan, Reno meminta iblis membunuh Nindya. Tak lain tak bukan, ia malu karena enggak bisa memberikan Nindya kepuasan seksual. Soalnya, hubungan seks mereka selalu berakhir usai Reno ejakulasi, di 10 detik pertama.
Kenyataannya, maskulinitas rapuh seperti dialami Reno masih jadi perkara. Laki-laki merasa malu, tidak berharga, dan tidak layak dicintai, ketika tidak bisa memuaskan pasangannya. Kerapuhan itu disebabkan oleh masyarakat, yang “mengajarkan” laki-laki agar kuat dan kompeten secara seksual. Akibatnya, mereka takut terlalu cepat ejakulasi.
Itu yang membuat Reno tersakiti dan frustasi. Ia gagal memberikan kenikmatan seksual. Sebab, kenikmatan Nindya berkaitan dengan maskulinitasnya.
Sentuhan Binal Iblis bikin saya semakin mempertanyakan, kenapa Amer Bersaudara banyak menyisipkan nilai feminisme dalam karya-karyanya?
Dalam obrolan saya bersama Azzam dan Deka, akhirnya pertanyaan itu terjawab. “Kami ingin nunjukkin, perempuan punya agensi lewat karakternya yang utuh. Bukan untuk diintip sama penonton atau filmmaker,” ujar Deka.
Azzam menambahkan, kekuatan perempuan memang yang ingin dilanggengkan Amer Bersaudara dalam film-filmnya. Karena itu, mereka juga mengusung trope final girl di filmnya–seperti Goyang Kubur Mandi Darah (2018) dan Sentuhan Binal Iblis.
Dalam Sentuhan Binal Iblis, final girl ditampilkan lewat karakter Tyas (Ariefiani Harahap), adik Nindya. Ia berhasil orgasme duluan dibandingkan Reno, dan meminta iblis membunuh laki-laki tersebut.
“Kami kental banget dengan trope final girl,” terang Azzam. “Sebenarnya ini interpretasi masing-masing (penonton), tapi kami ingin menunjukkan empowerment. Salah satunya lewat trope ini.”
Comments