Sudah enam tahun Irham Hadi berusaha mendapatkan akta pencatatan nikah dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil di Kota Medan, namun upayanya belum juga membuahkan hasil. Padahal ia membutuhkannya untuk mengurus akta kelahiran anak keduanya, Harumi Viorenza.
Bocah perempuan yang lahir 2012 dan kini telah duduk di bangku kelas dua sekolah dasar.
“Sampai usia anak saya delapan tahun belum punya akta kelahiran,” kata Irham, warga Kecamatan Medan Tuntungan, Kota Medan, saat ditemui awal September.
Ia tak ingin akta kelahiran putri keduanya bernasib sama seperti anak sulungnya, Ayomi Vionara. Ketiadaan akta nikah membuat akta kelahiran Ayomi, yang terbit pada 2010, hanya mencantumkan nama Kartini sebagai ibu, minus nama ayah.
Lazimnya, akta seperti itu diberikan kepada anak yang lahir di luar pernikahan atau tidak diketahui nama ayahnya. Kenyataannya, Ayomi dan Harumi punya ayah yang sama dan hidup satu atap sampai sekarang. Hanya saja Irham dan Kartini adalah penganut Baha’i, agama yang tidak diakui di negeri ini.
Irham dan Kartini menikah pada 2008 sesuai dengan kepercayaan mereka. “Dulu saya mengundang banyak tetangga untuk menyaksikan pernikahan kami,” kata pria kelahiran 1985 itu.
Irham mengatakan, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) menolak mencatat perkawinannya, karena akta nikah hanya diberikan kepada pemeluk aliran kepercayaan dan enam agama resmi: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Kong Hu Chu.
“Sebenarnya akta nikah secara Baha’i ada, diterbitkan oleh Majelis Rohani Nasional (MRN). Ketika kami mengurusnya ke Disdukcapil menolaknya,” ujarnya.
Bagi penganut Baha’i yang menikah dengan pasangan berbeda agama, lanjut Irham, lebih mudah mendapatkan akta nikah sebab banyak penganut Baha’i yang menikahi perempuan Muslim. Sehingga, mereka akan menikah dengan dua cara, yakni cara Baha’i dan cara Islam. Buku nikah yang dikeluarkan Kantor Urusan Agama (KUA) kemudian digunakan untuk mengurus akta kelahiran anak, Kartu Keluarga (KK), dan Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Meski begitu, identitas sebagai penganut Baha’i tetap tidak muncul dalam kolom agama di KTP dan KK.
Menurut Irham, hampir 80 persen KK umat Baha’i di daerahnya mencantumkan agama Islam. Sisanya adalah Kristen dan Khong Hu Chu.
“Padahal saat mengisi formulir, kami selalu menulis agama Baha’i. Namun setelah KK selesai, keluar agama yang berbeda,” katanya.
Dia mengatakan Majelis Rohani Setempat (MRS) di Medan belum pernah mendata ada berapa keluarga Baha’i yang menikah berbeda agama atau menikah dengan sesama Baha’i. Sementara Kementerian Agama RI mencatat, jumlah penganut Baha’i di Medan pada 2014 mencapai 220 orang yang tersebar di beberapa desa.
Kepala Seksi Identitas Kartu Keluarga dan Kartu Tanda Penduduk Disdukcapil Medan, May Farida, mengatakan, saat ini Baha’i belum muncul dalam basis data kependudukan Kementerian Dalam Negeri.
May membenarkan bahwa Dinas Kependudukan hanya memuat enam agama yang diakui pemerintah, serta aliran kepercayaan yang diakui pemerintah pada 2017.
Dampaknya, mereka yang menikah secara Baha’i belum bisa mendapatkan pencatatan nikah dari kantornya.
“Karena tidak ada dalam database kependudukan maka selanjutnya Baha’i juga tidak bisa muncul dalam kolom agama terutam di KK,” katanya saat ditemui di kantornya.
Menurutnya, beberapa kali perwakilan Baha’i memang datang ke kantornya. Saat itu ia menawarkan agar penganut Baha’i masuk dalam kategori aliran kepercayaan agar bisa mendapatkan akta nikah.
“Namun saat itu, mereka menolak karena menganggap bahwa Baha’i bukan aliran kepercayaan, tapi agama tersendiri,” katanya.
Ia mengatakan sebagai solusi sementara, instansinya hanya bisa menerbitkan akta kelahiran anak dari pasangan Baha’i dengan menulis nama ibunya saja. Sedangkan untuk kolom agama pada KK dan KTP, penganut Baha’i bisa memilih salah satu dari enam agama yang diakui atau mengosongkannya.
Pengenalan Baha’i dan pembangunan masyarakat
Baha’i adalah agama independen dan bersifat universal, bukan sekte dari agama lain. Agama ini lahir di Iran pada 1844 dengan pembawa wahyunya disebut Baha’ullah. Kemunculan Baha’i bermula dari Ali Muhammad yang bergelar Bab. Pada 23 Mei 1844, ia mengumumkan bahwa dialah utusan Tuhan dan bertugas menyiapkan kedatangan utusan Tuhan yang lain yakni Baha’ullah.
Dalam laman Bahai Indonesia dan buku panduan Agama Baha’i yang diterbitkan Majelis Rohani Nasional Baha’i Indonesia (2015), pada 1863, Baha’ullah mengumumkan misinya tentang kesatuan umat manusia serta mewujudkan keselarasan di antara agama-agama. Saat ini Baha’i telah menyebar ke 230 negara dan wilayah teritorial, mulai Asia, Amerika, Afrika, Europa, dan Australia.
Baha’i dibawa ke Indonesia oleh dua orang pedagang, Jamal Efendi dan Mustafa Rumi, setelah mengadakan perjalanan keliling ke India, Myanmar, dan Singapura. Mereka tiba di Batavia pada 1878 dan kemudian berkunjung ke daerah-daerah lain.
Namun perjalanan Baha’i di Indonesia tidak selalu mulus. Salah satu pemicunya, pada 15 Agustus 1962, Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 264 yang berisikan pelarangan tujuh organisasi, termasuk Baha’i. Dalam surat itu tertulis bahwa Baha’i dilarang karena tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia dan menghambat penyelesaian revolusi, atau bertentangan dengan cita-cita sosialisme Indonesia.
Lahirnya Keppres tersebut sempat memicu penolakan Baha’i di sejumlah daerah, termasuk Banyuwangi. Di kabupaten paling ujung timur Jawa ini, Baha’i masuk sekitar tahun 1973 dibawa oleh Hussein. Mulanya ia berdakwah di Kecamatan Genteng dan ada tujuh orang yang bergabung.
Baha’i baru mendapat tempat di Indonesia di masa Presiden Abdurrahman “Gus Dur” Wahid. Saat itu, Gus Dur menerbitkan Keppres Nomor 69 Tahun 2000 tentang Pencabutan Keppres Nomor 264 Tahun 1962.
Dalam Keppres No. 69/2000 itu dinyatakan bahwa pembentukan organisasi sosial kemasyarakatan dan keagamaan merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia. Lewat Keppres tersebut perkembangan Baha’i makin pesat di Indonesia. Penganut Baha’i di Indonesia kini menyebar di Jakarta, Bandung, Pati, Surabaya, Tulungagung, Malang, Banyuwangi, Bali, Medan, Padang, dan Makassar.
Diskriminasi di tingkat daerah
Meski larangan Baha’i telah dicabut, namun banyak pemerintah daerah belum sepenuhnya mengakui Baha’i dalam layanan kependudukan. Hal itu ditunjukkan melalui penelitian Nuhrison M. Nuh berjudul Eksistensi Agama Baha’i di Beberapa Daerah di Indonesia: Studi Kasus di Pati, Banyuwangi/Malang, Palopo dan Bandung (2014).
Menurut Nuhrison di dalam penelitiannya, selain di Banyuwangi, diskriminasi layanan kependudukan juga terjadi di Kabupaten Pati, Jawa Tengah; serta Tulungagung dan Malang, Jawa Timur. Namun akta pernikahan Baha’i bisa dilayani di Kota Padang, Kota Makkasar, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Kabupaten Bojonegoro dan Mimika.
Hal ini, kata Nuhrison, disebabkan oleh masih kuatnya pemahaman aparat pemerintah di daerah dan masyarakat umum tentang adanya agama resmi atau agama yang diakui oleh negara.
“Ini kontradiktif dengan konstitusi yang tidak mencantumkan frasa agama resmi dan agama yang diakui, melainkan agama yang dipeluk dan agama yang dilayani,” tulis peneliti Kementerian Agama itu.
Senada dengan Nuhrison, Irham yang juga merupakan salah satu anggota MRS di Medan, mengatakan, pangkal persoalan ada pada Undang-Undang Administrasi Kependudukan yang memuat frasa “agama diakui”. Pejabat di daerah akhirnya menafsirkan frasa tersebut sebagai agama-agama yang disebutkan secara eksplisit saja yang bisa dilayani pemerintah.
“Sementara agama-agama lain hingga hari ini belum ada kejelasan, bagaimana pemerintah membantu atau memfasilitasi keberadaannya,” katanya.
Menurutnya, Indonesia sebenarnya memiliki UU Nomor 1 Tahun 1965 yang mengatur tentang keberadaan agama-agama di Indonesia. Para penganut di luar enam agama yang dianut mayoritas itu, sesuai undang-undang, tetap mendapat jaminan dari negara.
Selama ini, masyarakat Baha’i di Indonesia proaktif untuk selalu berkunjung dan bermusyawarah dengan aparat-aparat pemerintahan terkait. Tujuannya, menjelaskan tentang prinsip dan keberadaan masyarakat Baha’i di Indonesia dan hak-hak sipil. Ini dilakukan agar masyarakat Baha’i tidak menjadi objek prasangka di lingkungan sekitar.
”Mengajarkan kesatuan dan cinta terhadap semua agama saat ini,” ujar Irham.
Peneliti dari Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, Haidar Adam, mengatakan, pelayanan administrasi kependudukan seharusnya tidak berdasarkan pada agama sebab layanan kependudukan merupakan hak dasar yang dibutuhkan untuk kepentingan lain seperti pendidikan, perkawinan, dan sebagainya.
Indonesia bisa belajar praktik di banyak negara yang tidak mencantumkan kolom agama pada administrasi kependudukan, ujarnya, sebab pencantuman agama dianggap sebagai wilayah privat dan rawan memunculkan diskriminasi, baik oleh pejabat negara maupun kelompok tertentu.
Menurut Haidar, Indonesia memang menjamin kebebasan beragama dan penganut kepercayaan melalui Pasal 29 ayat (2) Undang-undang Dasar (UUD) 1945, yang berbunyi, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
“Namun jaminan dalam konstitusi tersebut belum dibarengi dengan penelitian yang komprehensif tentang eksistensi agama-agama lain di Indonesia. Penelitian tersebut tak hanya penting sebagai basis data, tetapi juga untuk menjamin hak-hak sipil seperti kepada penganut Baha’i atau agama minoritas lain,” ujarnya.
Artikel ini ditulis oleh peraih program fellowship liputan yang diselenggarakan Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK), bekerja sama dengan Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit (FNF) dan Magdalene.
Comments