Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) versi daring, “lagu” adalah ragam suara yang berirama, dan “bunga” merupakan 1) bagian tumbuhan yang akan menjadi buah, 2) kiasan akan sesuatu yang dianggap elok (cantik) seperti bunga.
Bunga dalam arti kiasan sering digunakan dalam karya seni di Indonesia, yang katanya orang-orangnya mendayu-dayu dan cinta melulu. Menarik untuk melihat pemakaian kata “bunga” dalam lagu-lagu Indonesia lintas genre dan waktu. Dari beberapa lagu yang saya dengarkan dan cermati, mungkin ada baiknya untuk menyertakan disclaimer bahwa lagu-lagu yang disebutkan hanya meliputi yang memiliki kata “bunga” dalam judulnya, dan hanya yang ada di Spotify saja.
Di luar itu? Tentu masih banyak lagi. Coba bayangkan, berapa banyak variasi judul lagu tentang bunga. Mulai dari lagu yang menyebutnya kembang daripada bunga, dan lagu yang memang sudah spesifik menyebutkan jenis bunganya. Mawar, melati, Rafflesia arnoldii semuanya indah. Sebagaimana juga dilantunkan oleh Dewa 19 dengan lirik “Bunga di taman, bunga merah, putih, kuning, dan ungu. Beragam warna” yang menjelaskan kalau bunga memang banyak sekali macamnya.
Bunga sebagai tumbuhan muncul pada lagu “Bunga-bunga di Halaman” dari AriReda dan “Bunga” dari Banda Neira. AriReda menggambarkan bunga (khususnya bunga mawar dan bunga rumput) sebagai makhluk yang rentan dan berkaca-kaca, sedangkan Banda Neira melantunkan “Pada akar kita tanamkan bersama, harapan” sebagai baris pertamanya.
Sekilas, lirik pembuka Banda Neira membangun pemikiran bahwa lagu akan menggambarkan bunga sebagai buah dari harapan dan penantian. Namun, seiring lagu berjalan, bunga lebih digambarkan sebagai tumbuhan sebagai alat untuk menceritakan kembali bagaimana rasanya hidup sebagai manusia. Bunga digambarkan sebagai tumbuhan yang memerlukan waktu untuk berkembang dan akhirnya mekar di taman dan hidup dengan tenteram menemani teman-temannya di taman.
Jika AriReda menempatkan bunga di halaman, Banda Neira, juga Dewa 19 dan /rif menempatkan bunga di taman. Tapi sebenarnya siapa sih yang memutuskan tempat mana yang pantas dan tidak pantas untuk bunga bertahan hidup? Apakah karena kecantikan bunga membuat bunga menjadi “tidak pada tempatnya” jika dia hidup di tempat yang tidak sama cantiknya?
Pada “Bunga di Tepi Jalan” oleh Koes Plus, bunga diberi nilai tambah, menjadikannya sebagai obyek yang sangat berharga. Lengkap juga dengan intensi tokoh yang ingin “menyelamatkan” si bunga, menegaskan dengan jelas bahwa bunga berada di tempat yang tidak seharusnya; di tepi jalan. Secara tidak langsung, intensi tokoh juga mencerminkan sifat posesif manusia. Hal ini wajar karena kebanyakan orang juga pasti tidak akan segan untuk memetik bunga tersebut kalau ada di posisi yang sama. Tapi tidak wajar karena kita menormalisasi seseorang mengambil sesuatu yang bukan miliknya.
Sebagai sesama makhluk hidup, manusia dan bunga memiliki kesamaan. Kita tumbuh, berkembang, dan membuahkan sesuatu. Tidak heran kalau selain digambarkan sebagai tumbuhan pada hakikatnya, bunga juga seringkali dijadikan sebagai obyek personifikasi dari manusia, khususnya perempuan. Terima kasih kepada stereotip kuno yang menekankan bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah lembut dan pasif. Secara tidak langsung, obyektifikasi perempuan pun akhirnya menjadi hal yang lumrah muncul di dalam lirik lagu Indonesia.
Contoh kuat bisa dilihat dalam lagu Slank “Kirim Aku Bunga” yang menggambarkan bunga melati sebagai perempuan, /rif dalam “Bunga” yang menggambarkan makhluk dengan lenggak-lenggok badan dan wangi serta wajah yang menarik, The Shaggy Dog dengan “Bungaku”, yang menggambarkan bunga sebagai sesuatu yang berharga yang harus selalu dirawat, dan Bondan featuring Fade2Black dengan “Bunga” yang menggambarkan bunga sebagai… tokoh perempuan yang memang bernama Bunga.
Yang berbeda adalah Merah Bercerita yang melakukan musikalisasi puisi karya Widji Thukul berjudul “Bunga dan Tembok”, yang dengan baik menempatkan bunga sebagai perumpamaan manusia yang berkeyakinan. Dalam konteks karya ini, bunga adalah manusia yang memiliki keinginan untuk menolak tekanan eksternal, yaitu jalan raya dan pagar besi. Di sini, bunga memiliki kepercayaan bahwa mereka akan kembali memiliki kehidupan damainya yang akan diambil oleh mereka yang merampas tanah dan membangun rumah.
Terakhir, bunga juga digambarkan sebagai simbol dan tanda sebuah perasaan yang umumnya adalah perasaan suka, duka, cita, cinta, dan asmara. Karenanya, bunga tidak diberikan pada momen-momen biasa saja. Bunga selalu menjadi sebuah perayaan dari hal-hal yang tidak sering kita jumpai.
Betharia Sonatha dalam “Bunga Asmara” secara keseluruhan menggambarkan bunga sebagai perwujudan perasaan cinta yang terpendam. Di bagian akhir lagu, lirik berbunyi “bunga asmara telah bersemi di hatiku” dan “bunga cinta kita ‘kan berseri dan menyatu satu selamanya” memberikan pendengar sebuah pengharapan bahwa jatuh cinta adalah suatu hal yang selalu menggembirakan dan perlu dirayakan, yang berlawanan dengan Bebi Romeo dalam “Bunga Terakhir” dan Didi Kempot dalam “Bunga Anggrek” yang menggunakan bunga sebagai alat penanda yang mengingatkan akan semua kenangan yang lalu.
Penggambaran bunga dalam lirik lagu Indonesia bisa dibilang sangatlah lengkap. Bunga mempunyai peran di dalam setiap interaksi, dimulai dari bunga sebagai tumbuhan atau makhluk hidup – yang diumpamakan sebagai manusia – yang dipetik oleh manusia – untuk diberikan kepada manusia lainnya – sebagai bentuk dan tanda dari sebuah perasaan istimewa.
Kerap kali saya masih memandang bunga sebatas luarnya saja. Sebatas obyek perayaan, pelipur lara, dan pemanis ruangan. Mungkin penggambaran bunga dalam lirik lagu Indonesia memiliki peranan langsung dalam mempengaruhi cara saya dan teman-teman memandang bunga dan membangun asosiasi di sekitarnya. Atau, mungkin juga tidak.
Chalafabia Haris gemar berkarya dan berkesenian. Gemar juga membicarakan hal-hal keremajaan dan “kedisinian”. Font favoritnya adalah Cooper Black, dan aktivitas favoritnya adalah berpura-pura menjadi produktif di kafe mahal ibukota dengan OOTD terbaiknya.
Comments