Pekan lalu, pemerintah Semarang menyatakan akan menutup Lokalisasi Sunan Kuning dan Gambilangu pada akhir Agustus, menjadikan kota ini daerah terbaru yang mengeluarkan kebijakan terhadap lokalisasi.
Hal ini menyusul kebijakan Kementerian Sosial pada 2015 mengenai Penanganan Tuna Susila, dengan salah satu rumusannya berbunyi, “Pencanangan gerakan nasional bebas lokalisasi/lokasi prostitusi tahun 2015 menuju Indonesia bebas prostitusi tahun 2019.”
Lokalisasi dianggap perwujudan dari legalisasi perzinaan serta sumber dari masalah kesehatan dan masalah sosial, sehingga perlu ditutup atau dihentikan. Penutupan lokalisasi dianggap dapat menciptakan lingkungan yang aman dan kondusif (tidak ada kriminalitas dan menciptakan lingkungan yang tenang), bebas dari penularan HIV, serta melindungi perempuan agar bisa menentukan posisi tawar pada tubuhnya sendiri.
Kebijakan ini telah diikuti oleh beberapa pemerintah daerah lain yang mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) anti-prostitusi, seperti kota Jambi, Malang, Bandung, Surabaya, Jakarta, dan Jayapura. Berbagai kebijakan terkait dikeluarkan, seperti untuk ketertiban umum, penataan tata ruang, mengurangi sumber penularan penyakit perlindungan keluarga, dan pembinaan dan pemberdayaan pekerja seks.
Data dari Kementerian Sosial menunjukkan ada 168 lokalisasi di 24 provinsi di Indonesia, dan 76 lokalisasi di kota dan kabupaten. Dari jumlah tersebut, 118 lokalisasi sudah ditutup, 53 di antaranya di kota dan kabupaten Malang, menjadikannya kota dengan jumlah lokalisasi terbanyak yang ditutup. Sebanyak 41 lokalisasi lagi akan segera ditutup paling lambat di tahun 2019, menurut Direktorat Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial dan Korban Perdagangan Orang di Kementerian Sosial.
Faktanya, transaksi seksual di lapangan masih tetap ada dan bahkan lebih menyebar walaupun sudah banyak lokalisasi yang ditutup. Aktivitas transaksi seksual di lapangan berpindah melalui internet secara daring atau menunggu di tempat-tempat hiburan.
Baca juga: Prostitusi Bisa Jadi Pilihan yang Berdaulat
Kebijakan pemerintah untuk mempercepat penutupan lokalisasi malah menimbulkan berbagai dampak yang negatif. Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI) bersama Universitas Katolik (Unika) Atma Jaya melalui Pusat Penelitian HIV-AIDS (PPH) Atma Jaya melakukan penelitian pada tahun 2016 pasca-penutupan lokalisasi dengan tema “Dampak Penutupan Lokalisasi/lokasi di Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Jayapura”.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa penutupan lokalisasi membuat masyarakat lebih sulit mengakses pendapatan yang layak karena skema pengembangan ekonomi warga belum diintegrasikan ke dalam kebijakan penutupan lokalisasi.
Terkait kriminalitas, penutupan lokalisasi meningkatkan kasus kekerasan karena pekerja seks sangat rentan mengalami kekerasan, terutama dari klien atau pelanggan. Selain itu, upaya pencegahan transaksi lebih sulit karena mobilitas menyebar dan transaksi dilakukan sembunyi-sembunyi.
Selama ini pekerja seks dianggap sebagai faktor penyumbang terbesar dalam penyebaran penularan HIV-AIDS, namun hal itu tidak beralasan. Kenyataannya saat ini data temuan kasus Wanita Pekerja Seks hanya 2 persen dari 301.959 jiwa di 88 distrik di Indonesia. Meski demikian, data Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa estimasi jumlah pekerja seks perempuan dengan HIV pada 2018 meningkat menjadi 226.791 Wanita Pekerja Seks (WPS) dari 100.383 WPS pada 2017.
Tidak menutup kemungkinan bahwa angka penularan HIV di komunitas pekerja seks akan meningkat karena tingginya mobilitas pekerja seks saat ini. Pelayanan kesehatan juga sulit dilakukan karena pekerja seks sulit diintervensi karena Program Pencegahan Penularan Melalui Transmisi Seks (PMTS) yang berbasis lokasi menjadi tidak bisa dilakukan. Upaya-upaya untuk menjaga pekerja seks agar tidak mendapat infeksi menular seksual menjadi sulit dilakukan.
Hal ini dikonfirmasi oleh pernyataan lembaga-lembaga pemerintah yang mempunyai kepentingan dalam penanggulangan HIV-AIDS seperti Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) daerah dan Dinas Kesehatan (DINKES), yang mengakui bahwa penutupan lokalisasi ini berdampak negatif terhadap usaha-usaha penanggulangan HIV-AIDS.
Kebijakan penutupan lokalisasi ini menciptakan tantangan untuk mengikuti kebijakan global untuk meningkatkan tes HIV dan pengobatan Anti Retroviral (ARV). Hal ini juga menghambat target pemerintah untuk mencapai Three Zeroes pada 2030 untuk mencegah dan mengendalikan HIV: 1) Tidak ada lagi penularan HIV: 2) Tidak ada lagi kematian akibat AIDS: dan 3) Tidak ada lagi stigma dan diskriminasi pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA).
Artikel ini adalah hasil dari pelatihan menulis oleh Magdalene, bekerja sama dengan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM).
Comments