Sepanjang hidupnya, Wayan Sudra menetap di Bali. Pria 49 tahun itu bekerja sebagai nelayan. Biasanya, Wayan memulai hari dengan pergi ke laut menggunakan jukung–perahu tradisional terbuat dari kayu dan berbahan bakar bensin atau solar.
Pekerjaan Wayan membuatnya bergantung pada perahu tersebut. Namun, penggunaan jukung dapat menimbulkan sejumlah risiko bagi kesehatan, seperti gangguan pendengaran dan pernapasan.
“Hidung saya perih kalau menghirup asap dari jukung,” kata Wayan pada Magdalene.
Selain Wayan, nelayan lainnya di Desa Kelan juga mengalami hal serupa. Mereka mengeluh karena mengalami gangguan pendengaran, akibat kebisingan dari mesin perahu.
Dampaknya tidak cuma sampai di situ. Ketinting–mesin untuk jukung berporos panjang–menghasilkan sekitar 12,5 hingga 17,2 karbon dioksida selama tiga sampai lima jam perjalanan. Sementara, untuk menyeimbangkan emisi karbon monoksida sebesar itu, dibutuhkan 240 pohon.
Sayangnya, aksesibilitas dan kompatibilitas membuat ketinting masih jadi opsi utama bagi nelayan di Indonesia. “Harga ketinting terjangkau, perawatannya juga nggak susah karena spare parts-nya mudah didapat,” tutur Juru Bicara Kementerian Kelautan dan Perikanan, Wahyu Muradi.
Ia menambahkan, mesin perahu berskala kecil terjual bebas di pasaran. Karena itu, walaupun ketinting berdampak pada kesehatan, penggunaannya tetap memenuhi standar.
World Health Organization (WHO) mencatat, polusi udara cenderung masuk ke dalam sistem pernapasan dan peredaran darah. Kemudian, berdampak pada fungsi hati, paru-paru, dan otak–serupa dengan dampak dari merokok tembakau.
Pada 2018, Wayan mulai menggunakan perahu bertenaga surya, yang didonasikan oleh Azura Indonesia–lembaga usaha sosial yang dipimpin perempuan. Butuh waktu bagi Wayan untuk beradaptasi menggunakan perahu tersebut. Transisi energi itu membuat kesehatan Wayan tidak lagi berisiko. Sebab, perahu yang digunakan tidak menghasilkan emisi ataupun menimbulkan kebisingan.
Upaya Wayan menggunakan perahu bertenaga surya, merupakan awal yang baik untuk memberikan opsi transportasi ramah lingkungan. Kendati demikian, transisi energi ini lebih kompleks karena memiliki kendala teknis, finansial, dan regulasi.
Baca Juga: Pentingnya Energi Terbarukan bagi Masa Depan Kita
Banyak Permintaan dengan Pemasukan yang Rendah
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, sektor perikanan Indonesia merupakan penyumbang produk domestik bruto yang sangat besar. Sekitar tujuh ton ikan ditangkap setiap tahunnya. Kondisi ini menempatkan Indonesia menjadi produsen seafood terbesar di dunia setelah Cina.
Sayang, kenyataan tersebut tidak meningkatkan penghasilan nelayan Indonesia. Pasalnya, jukung membutuhkan biaya perawatan yang tinggi, sehingga menghabiskan sebagian besar pendapatan nelayan.
Wayan misalnya, membutuhkan sekitar lima liter bensin setiap harinya, seharga Rp85 ribu. Itu belum termasuk pengeluaran untuk mengganti oli setiap minggunya, sejumlah Rp45 ribu. Artinya, ada asat ketika Wayan tidak memperoleh keuntungan, lantaran harus mengeluarkan biaya untuk bahan bakar.
Namun, tidak semua harapan hilang. Sejak menggunakan Manta-One, teknologi yang diusung Azura Indonesia, nelayan dapat menggunakan biaya operasional penangkapan ikan untuk mengatasi pekerjaan yang tidak menentu.
Pasalnya, perahu bertenaga surya juga tidak membutuhkan banyak biaya. Hal ini membuat Wayan dan keluarganya mampu mengalokasikan dana untuk kebutuhan rumah tangga lainnya.
Di samping pekerjaan nelayan yang lebih terangkat, solusi yang berpusat pada alam ini juga tidak membahayakan alam.
Baca Juga: Adopsi Energi Terbarukan: Perempuan Bergerak, Perempuan Berdaya
Dampak Positif
Berada di garis khatulistiwa membuat matahari bersinar terang di Indonesia. Berdasarkan penelitian 100% Renewable Energy Group dari Australian National University, Indonesia menghasilkan sekitar 640.000 terawatt-hour per tahunnya dari tenaga surya. Yang mana 2.300 kali lipat melampaui produksi listrik tahun sebelumnya.
Pada 2018 silam, Azura Indonesia melihat realitas tersebut sebagai kesempatan untuk memanfaatkan tenaga surya. Co-founder Nadea Nabilla Puteri memasang panel surya di perahu nelayan, untuk menggantikan mesin bensin dengan mesin penggerak listrik.
Upaya itu bukan sesuatu yang mudah bagi Nadea. Ia menyadari, sebagian nelayan di Indonesia bahkan tidak dapat membeli perahunya. Terlebih jika harus membeli panel surya.
Karena itu, Azura Indonesia menempatkan panel surya di charging station. Tujuannya agar nelayan dapat mengisi ulang daya baterai ion litium, yang digunakan sebagai sumber energi perahu. Dalam waktu 90 menit, sebagaimana dijelaskan pada situs Azura Indonesia, baterai yang penuh dapat digunakan selama tiga jam berlayar.
“Dalam lima tahun ke depan, target kami ingin menyediakan 100 unit (Manta-One), mengurangi emisi karbon sebanyak 298 ribu ton per tahun, dan membantu nelayan memiliki kehidupan yang lebih baik,” ujar Nadea.
Dari proyek percontohan di Desa Kelan, Jimbaran, Azura Indonesia telah memperluas cakupan areanya sampai ke Tulamben dan Amedi di Bali, Banyuwangi di Jawa Timur, dan Lampung di Sumatra Selatan.
Nadea mengatakan, ia telah mempresentasikan skema proyeknya secara keseluruhan pada Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi. Namun, sejauh ini belum ada respons.
Berbeda dengan pemerintah, perubahan yang diupayakan Azura Indonesia disambut baik oleh para nelayan seperti Wayan. Sebab, mereka dapat mengurangi biaya perawatan perahu.
“Sejak menggunakan Manta-One pada 2018, saya nggak perlu memperbaiki atau merawat perahu,” terang Wayan. “Nggak kayak tenaga surya, saya inget dulu harus mengganti oli setiap seminggu sekali.”
Selain untuk perahu, Wayan juga memanfaatkan panel surya untuk daya energi di rumahnya. Alhasil, pengeluaran Wayan untuk listrik juga berkurang. Jika sebelumnya ia harus membayar Rp750 ribu per bulan, kini biaya yang diperlukan hanya Rp150 ribu.
Baca Juga: Jejak Karbon adalah Akal-akalan Perusahaan Fossil
Transisi yang Belum Sempurna
Transisi ke energi terbarukan memiliki sejumlah manfaat, seperti mengurangi pengeluaran, dampak kesehatan, dan kerusakan lingkungan. Di balik itu, dibutuhkan adaptasi yang besar.
Wayan mengaku, daya baterai yang terbatas merupakan salah satu kendala menggunakan Manta-One. Ia harus membawa setidaknya dua baterai–dengan bobot masing-masing 18 kilogram–setiap berlayar ke Nusa Dua yang berjarak sekitar 13 kilometer dari rumahnya.
Jika membicarakan kecepatan tempuh, Manta-One cenderung lebih pelan dibandingkan ketinting. Bagi Wayan, perbedaan kecepatan itu menghabiskan waktu lebih panjang ketika berlayar. Setidaknya 90 menit untuk setiap perjalanan.
Sejauh ini, teknologi yang dikembangkan Azura Indonesia baru digunakan 57 nelayan–perbandingan jauh dari total nelayan di Indonesia yang berjumlah 2,23 juta orang. Memperkenalkan nelayan terhadap Manta-One pun perlu dilakukan satu per satu lewat sosialisasi. Bukan berdasarkan pengalaman Azura Indonesia dalam mengusung teknologi baru untuk para nelayan di Indonesia.
Sebagai salah satu pengguna sampel dari Azura Indonesia, Wayan mengatakan awalnya ia tidak yakin untuk menggunakan perahu bertenaga surya. Ia ingat, kabel dari kapal dan baterai menimbulkan ledakan kecil ketika dihubungkan. Menurut Wayan, hal itu jadi salah satu alasan nelayan enggan menggunakan perahu tersebut. Wayan sendiri baru yakin menggunakannya setelah Nadea menemaninya menguji perahu tersebut.
Mengingat Azura Indonesia masih mendanai sendiri, Nadea mengatakan hampir tidak mungkin untuk melakukan kontak dengan nelayan di pulau lain, apalagi jika hanya mengandalkan upaya individual.
Meskipun demikian, dalam waktu tiga tahun, Azura Indonesia berencana memanfaatkan angel investment untuk meningkatkan produk, menambahkan perahu di sejumlah area di Bali, dan investasi pada orang yang dapat berhubungan langsung dengan pengguna Manta-One. Sementara untuk jangka panjang, Nadea berencana menyediakan beasiswa untuk anak sekolah di area.
“Satu-satunya yang bisa membantu mereka adalah mereka sendiri, dan perubahan itu harus datang dari dalam,” katanya.
Perubahan ke energi terbarukan mungkin akan mengubah kebiasaan lama, sumber yang tersedia, dan yang dianggap normal. Ini akan menjadi proses jangka panjang.
Namun, ini bukan perkara apakah perubahan itu memungkinkan, melainkan apakah orang-orang mau berkomitmen untuk melindungi alam secara kolektif. Komitmen itu perlu dilandaskan pada kepedulian, dan kesadaran tentang pentingnya melestarikan alam yang menopang kita.
Artikel ini didukung oleh Climate Tracker.
Comments