Women Lead Pendidikan Seks
July 15, 2022

Dari AS hingga Rusia, Jalan Mundur Akses Aborsi Aman

Setidaknya ada beberapa negara, seperti Irlandia dan Argentina yang bergerak maju mengatur akses aborsi aman untuk warganya.

by Claire Pierson
Issues
Aborsi_Abortion_Unplanned Pregnancy_KTD_KarinaTungari
Share:

Belum lama ini Mahkamah Agung Amerika Serikat (AS) membatalkan Roe v Wade – putusan penting tahun 1973 yang melindungi hak perempuan untuk aborsi. Ini sekaligus menandai kemunduran yang signifikan untuk akses aborsi.

Namun, itu bukan satu-satunya kasus. Sementara negara-negara seperti AS, Polandia, dan Rusia mengambil langkah mundur, kemajuan justru terlihat di beberapa negara, seperti Irlandia, Kolombia, dan Argentina.

Pembatasan aborsi berkisar dari regulasi yang mengizinkan aborsi hanya untuk melindungi kehidupan atau kesehatan perempuan hamil, hingga mendekriminalisasi aborsi sepenuhnya. Ada pula pembatasan terstruktur yang terkait batas waktu kehamilan, seperti mengizinkan aborsi hanya pada trimester pertama.

Beberapa aturan mengizinkan aborsi atas dasar sosial ekonomi, misalnya di Finlandia. Sementara itu, Undang-Undang Aborsi Inggris tahun 1967 memberikan penafsiran yang lebih luas tentang kesehatan, karena memasukkan aspek kesejahteraan. Sebelum mengambil keputusan tindakan aborsi, dokter dapat mempertimbangkan bagaimana kondisi kehidupan perempuan yang hamil tersebut dan dampak yang akan mereka alami jika melanjutkan kehamilan.

Jika kesehatan ditafsirkan secara lebih ketat, seperti di Zimbabwe, Maroko, atau Peru, aborsi hanya dapat dilakukan jika kesehatan fisik ibu hamil dalam bahaya. Di negara lain, seperti Ghana dan Bolivia, aturan tentang akses aborsi diperluas dengan memasukkan alasan kesehatan mental secara eksplisit.

Di beberapa rezim, aborsi dapat dilakukan berdasarkan kesehatan janin, terutama dalam kasus anomali serius. Kasus seperti ini terjadi di Kroasia. Meskipun demikian, sentimen anti-pilihan (anti-choice) – atau anti-aborsi – di negara itu baru-baru ini menyebabkan seorang perempuan ditolak melakukan aborsi setelah janinnya didiagnosis menderita tumor otak serius. Setelah empat penolakan oleh rumah sakit Kroasia, perempuan itu disarankan oleh dokter untuk melakukan perjalanan ke negara tetangga, Slovenia. Tapi setelah publik mengekspresikan kemarahan atas penolakan tersebut, ia akhirnya dapat melakukan aborsi di Kroasia.

Aturan aborsi yang paling liberal adalah yang sepenuhnya mendekriminalisasi dan menghapuskan aborsi dari hukum pidana. Aturan tersebut mengizinkan tindakan aborsi dan mengutamakan keselamatan ibu hamil dalam pengambilan keputusan kesehatan.

Irlandia Utara mendekriminalisasi aborsi pada 2019 setelah adanya penyelidikan hak asasi manusia (HAM) internasional terhadap UU aborsi sebelumnya, ditambah intervensi dari Westminster (parlemen Inggris). Peraturan Aborsi (Irlandia Utara), yang mulai berlaku pada Maret 2020, mengizinkan aborsi hingga 12 minggu usia kehamilan berdasarkan permintaan, serta atas alasan gangguan janin yang parah dan kelainan janin yang fatal.

Walaupun UU Aborsi Irlandia Utara telah diliberalisasi, bukan berarti akses aborsi menjadi mudah.

Pemerintah belum bisa sepenuhnya melayani permintaan aborsi, karena tindakan aborsi disediakan secara ad hoc oleh lembaga kesehatan di Irlandia Utara. Beberapa perempuan yang menginginkan layanan aborsi akhirnya tetap melakukan perjalanan ke Inggris. Situasi ini menggambarkan bagaimana kebuntuan politik dapat membatasi akses aborsi.

Baca juga: Di Indonesia, Aborsi Bukan Sebuah Pilihan

Lebih Ketat Pembatasannya

Di beberapa negara, aborsi dilarang sepenuhnya, atau hanya untuk menyelamatkan nyawa ibu hamil. Malta adalah satu-satunya negara Uni Eropa yang melarang aborsi atas alasan apapun. Namun, baru-baru ini gerakan pro-pilihan (pro-choice) mulai muncul di negara tersebut.

Pembatasan yang represif terhadap aborsi juga secara umum mempengaruhi perawatan kesehatan reproduksi pada ibu melahirkan, seperti keguguran dan kehamilan di luar kandungan. Pengambilan keputusan yang membutuhkan tindakan medis mendesak dapat tertunda ketika hak janin dianggap sama dengan hak ibu hamil. Di El Salvador, perempuan dapat dituntut dan dipenjara karena mengalami keguguran atau mencoba untuk melakukan aborsi. Mereka bisa didakwa atas pembunuhan berat, hukumannya bisa sampai 50 tahun penjara.

Di Republik Irlandia, sebelum mulainya liberalisasi pada 2018, UU aborsi mempengaruhi semua aspek perawatan kesehatan ibu. Janin dipandang memiliki hak yang sama dengan perempuan hamil, sehingga tenaga kesehatan dapat menolak permintaan aborsi. Pada 2014, seorang perempuan hamil yang mengalami kematian otak diberi alat bantu agar tetap hidup selama empat minggu atas dasar bahwa hak hidup janinnya tidak boleh direnggut, walaupun hal tersebut bertentangan dengan keinginan keluarganya.

Dalam beberapa tahun terakhir, gerakan aktivis untuk meliberalisasi UU aborsi telah mendorong kemajuan yang signifikan, seperti yang terlihat di Irlandia, serta di Kolombia yang Mahkamah Konstitusinya pada 2022 mulai mendekriminalisasi aborsi hingga usia kehamilan 24 minggu. Di Argentina, sejak 2020, aborsi diperbolehkan berdasarkan permintaan dalam 14 minggu pertama kehamilan.

Baca juga: Penipuan Sampai Risiko Nyawa: Konsekuensi Besar Aborsi Tidak Aman

Di Luar Hukum

Kemajuan dalam hak aborsi bersifat siklus, bukan linier. Seperti yang kita lihat di AS, gerakan anti-aborsi terus melawan setiap kemajuan yang diperoleh. Kemunduran hak-hak reproduksi sering berkorelasi dengan reaksi yang lebih luas terhadap hak-hak gender dan kebangkitan rezim politik sayap kanan dan populis.

Hukum hanyalah salah satu bagian dari akses aborsi. Penolakan atas alasan nurani oleh petugas kesehatan, peraturan yang ditujukan pada penyedia layanan aborsi, stigma dan protes di klinik kesehatan, semuanya berakibat pada sulitnya dan tingginya risiko untuk melakukan aborsi.

Bahkan di negara-negara dengan regulasi yang tidak terlalu membatasi, ada gerakan di luar kerangka hukum untuk membantu orang mengakses aborsi dan perawatan kesehatan, dengan membantu perjalanan atau dukungan keuangan.

Sementara jaringan dan organisasi aktivis ini sering dianggap tidak berguna ketika pembatasan telah dilonggarkan, kenyataannya hambatan untuk aborsi masih terus ada walaupun regulasi telah diubah.

Abortion Support Network, organisasi yang berbasis di Inggris, membantu sekitar 60 perempuan per tahun dari Irlandia, empat tahun setelah UU Aborsi diliberalisasi. Upaya-upaya ini merupakan bagian dari hak-hak reproduksi seperti halnya kerangka hukum – dan pekerjaan mereka belum selesai ketika regulasi berubah.The Conversation

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.

Claire Pierson adalah Dosen Senior Politik University of Liverpool.