Ada pemandangan berbeda di sela-sela ramainya Yogyakarta, tepatnya di Malioboro. Biasanya, ketika kita berkunjung ke Malioboro, yang pertama kali ada di pikiran kita adalah kenangan jalan-jalan, berwisata kuliner seperti gudeg, wedang ronde, hingga mencari spot-spot foto yang menarik.
Yogya memang selalu mempunyai keunikannya sendiri. Begitu pun denganku, pendatang dari kota Cirebon yang secara sengaja mampir ke Yogya untuk berburu buku-buku filsafat.
Ketika aku sedang berjalan menyusuri bilik-bilik di Malioboro, aku dikagetkan oleh suara tendangan seorang laki-laki di seberang jalan. Tidak terlalu jelas memang, kebetulan jarak pandangku terganggu karena kondisiku yang berkaca mata. Aku melihat sepakan seorang laki-laki yang sedang membawa payung. Saat itu tepat di sampingnya, terdapat seorang perempuan penyandang disabilitas.
Waktu itu gerimis semakin membasahi Malioboro. Si laki-laki pembawa payung dan perempuan penyandang disabilitas sudah tak terlihat. Aku duduk melamun di teras toko bersama kebanyakan orang yang tengah berteduh. Dugaanku, lelaki itu kalah main catur dengan orang di sekitar lokasi, atau ada sesuatu di luar itu sehingga lelaki itu terdorong kuat untuk menendang papan catur. Dua lelaki yang tersisa di tempat kejadian terlihat menggerutu satu sama lain.
Mungkin itu peristiwa yang biasa saja bagi sebagian orang, tapi bagiku, peristiwa itu perlu diabadikan. Saat aku masih termenung, tak disangka, sesaat kemudian si lelaki pembawa payung dan perempuan disabilitas itu berada di depanku. Kami hanya berjarak dua meter dan terhalang penjual tempe mendoan di sudut kiri Malioboro.
Lelaki itu sedang menyiapkan tempat duduk untuk perempuan di sampingnya. Dia rela berdiri mematung sambil merokok. Aku putuskan untuk memberanikan diri mendekati mereka dengan pura-pura meminjam korek api lelaki itu.
Baca juga: Perempuan dengan Disabilitas Hadapi Kesulitan Ganda dalam Bekerja
Di sela-sela hujan, kami berdiri dan masih tak bergeming. Perempuan dengan disabilitas itu tetap duduk dan terlihat sedang menikmati mendoan yang telah dipesannya. Sementara lelaki itu tidak ikut makan, masih di posisi yang sama.
“Mas, kalo boleh tahu, tadi aku enggak sengaja melihat mas-nya itu nendang papan catur. Itu kenapa ya, Mas? Kalo Mas berkenan boleh dijawab, kalo enggak juga enggak papa. Maaf ya Mas, aku dari tadi penasaran. Eh, tiba-tiba Mas sama Mbaknya ada di sini,” tanyaku hati-hati sekali.
“Oh gini Mas, ini temanku, namanya Yauma. Kami ke sini kebetulan mampir ingin liat-liat Malioboro. Ternyata rame banget, udah begitu hujan lagi. Aku khawatir temanku ini terpeleset, jadi aku temenin ke sana kemari. Kalau di rumah sih, jangankan di sekitar Malioboro, lintas kota juga dia sendirian,” jawab laki-laki itu.
“Lalu, dengan papan catur itu gimana, Mas?”
“Ya, tadi... dua orang yang sedang main catur, mereka ngeliatin si Yauma. Mereka menertawakan, dan memberikan lontaran kalimat yang enggak sepantasnya kepada Yauma. Ya... aku tendang sajalah,” ujarnya sambil sesekali mengisap rokoknya.
“Sampai kapan temanku ini atau teman-teman disabilitas yang lain terus dianggap sebagai beban? Wong Yauma dan teman-temannya hanya memiliki kemampuan berbeda dengan kita yang merasa fisiknya normal, kok.”
Tak lama setelah mengatakan itu, ia pamit pulang karena hujan telah mereda.
“Aku tidak butuh belas kasihan orang, yang kami butuhkan hanya kesempatan,” tiba-tiba Yauma yang mendengar perbincanganku dengan laki-laki tadi menimpali sebelum pergi.
Baca juga: ‘Aku Perempuan Unik’, Saat Perempuan Difabel Wujudkan Kesetaraan Lewat Seni
Aku tertegun dengan percakapan yang sangat pendek itu. Bagiku, pernyataannya mempunyai makna yang sangat dalam mengenai arti dari sebuah pertemanan, kemanusiaan, dan kesempatan.
Lelaki pembawa payung yang tak kuketahui namanya tersebut memberikan pengalaman menarik tersendiri dalam perjalananku ke Malioboro kali itu. Ada yang tergantikan dari keramaian tempat yang disapu oleh hujan sore itu.
Lelaki pembawa payung dan Yauma memberikan arti tersendiri mengenai penyandang disabilitas dan hak mereka sebagai manusia. Layaknya hubungan pertemanan dan kemanusiaan manusia pada umumnya, kita sama-sama menginginkan keselamatan dan ruang aman.
Dari Cirebon ke Malioboro, buku filsafat tidak berhasil kubeli karena hujan membuat semua toko buku tutup lebih cepat. Namun, peristiwa tendangan ke papan catur sudah membuatku cukup belajar tentang kemanusiaan. Menurutku, kisah lelaki pembawa payung dan perempuan disabilitas tadi merupakan representasi konsep filsafat kemanusiaan yang nyata. Semoga Yauma dan lelaki itu menjadi refleksi bersama umat manusia.
Comments