Awas peringatan pemicu: Adegan kekerasan eksplisit.
Pada (15/8) di Tulungagung, Jawa Timur, mencuat kabar lelaki yang memerkosa perempuan korban kecelakaan hingga meninggal. Kepala saya auto-pening membaca berita-berita yang bertebaran di media massa soal itu.
Korban BM ini berteman dengan pelaku Aris Dwi Bintoro. Sepulang dari karaoke bersama, korban dibonceng motor oleh Aris keliling kota. Lantaran berada di bawah pengaruh obat keras, kecelakaan itu pun tak terhindarkan. Sayangnya, korban yang pingsan justru dibawa ke rumah pelaku, alih-alih berobat ke rumah sakit.
Setibanya di rumah pelaku, korban diperkosa dalam keadaan tak berdaya. Sempat diselamatkan oleh keluarga korban dan dibawa ke rumah sakit, tapi nahas nyawanya tak tertolong usai dirawat 20 jam. Hasil autopsi korban menunjukkan adanya patah tulang di bagian leher dan pendarahan di bagian otak. Meski hasil autopsi itu akibat kecelakaan motor, tapi bukankah memerkosa perempuan adalah kejahatan?
Saya kian geram ketika mendapati, ternyata kasus pemerkosaan terhadap perempuan korban kecelakaan bukan kali pertama terjadi.
Sebelumnya, pada 23 Maret 2021, perempuan berinisial SN juga diperkosa setelah mengalami kecelakaan motor. Hasil autopsi menunjukkan korban mengalami patah tulang ekor dan tulang paha, serta pecah pembuluh darah. Pelaku AD merupakan teman korban yang pada mulanya hendak membantu korban setelah terserempet truk. Namun malangnya, SN malah diperkosa dalam keadaan kesakitan dan ditinggal di warung kosong dekat dengan lokasi kecelakaan. Pada sore harinya, pukul 15.00 WIB, korban ditemukan telanjang dan sudah tidak bernyawa. Peristiwa ini terjadi di Malang, Jawa Timur.
Dua rentetan kejadian di atas meski sudah ditangani oleh kepolisian, tapi belum dapat menjawab keresahan saya. Mengapa seseorang dengan tega memerkosa perempuan padahal dalam kondisi kesakitan karena kecelakaan?
Baca juga: Polisi Pemerkosa, Kepada Siapa Lagi Perempuan Cari Pertolongan?
Bukti Masih Kuatnya Rape Culture
Opini saya, satu-satunya jawaban memadai saat ini adalah adanya rape culture atau budaya perkosaan. Dalam laman rapecrisis.org, rape culture diartikan sebagai budaya di mana kekerasan dan pelecehan seksual dinormalisasi dan diremehkan. Hal itu diterima, dimaafkan, ditertawakan, atau tidak cukup untuk diperjuangkan oleh masyarakat luas.
Istilah rape culture mulai dipopulerkan pada 1970-an oleh feminis gelombang kedua. Sebagaimana studi Martha Burt (1980), budaya ini disokong oleh adanya rape myth (mitos pemerkosaan). Mitos ini umumnya berisi anggapan: Menyalahkan korban karena mabuk dan berpakaian seksi, mempertanyakan kejujuran perempuan, perempuan berubah pikiran setelah melakukan hubungan seks konsensual menjadi seks penyesalan, perempuan dianggap menyebarkan fitnah karena dendam, atau perempuan hobi mencari perhatian dan keuntungan pribadi (Jordan, 2022).
Bila melihat kasus pemerkosaan di atas, seseorang yang tidak memahami kekerasan berbasis gender pun sulit untuk memaafkan, menormalisasi, atau meremehkan kejadian keji tersebut. Namun mari pikirkan alasan seseorang memerkosa temannya yang tengah terluka akibat kecelakaan.
Pengesampingan yang pelaku lakukan atas tubuh korban berasal dari cara pikir patriarkis, yakni memandang tubuh perempuan sekadar objek seksual belaka. Tubuh perempuan bukan lagi milik, namun dianggap sebagai benda pemuas hasrat. Dalam piramida rape culture, objektifikasi tubuh perempuan inilah yang menyokong adanya serangan seksual.
Baca juga: Akhiri Budaya Pemerkosaan di Indonesia
Pelaku pemerkosaan tentu melalui tahapan di piramida di atas, dimulai dengan normalisasi, kemudian degradation atau penurunan martabat, dan yang paling puncak adalah assault atau serangan.
Saya mengasumsikan, pelaku dua kasus pemerkosaan di atas (di dalam pengalamannya) telah menormalisasi dengan cara melakukan candaan seksis atau catcalling yang mengarah pada objektifikasi tubuh perempuan. Setelah hal tersebut dinormalisasi, pelaku melakukan berbagai tindakan tidak konsensual terhadap tubuh perempuan sebelum akhirnya melakukan pemerkosaan.
Baca juga: Dengan Kompromi, Kita Melestarikan Budaya Pemerkosaan
Rape culture sendiri menjelaskan ekosistem patriarkis yang beroperasi sejak dalam pikiran hingga mewujud pada tindakan.
Meski kesadaran perlindungan korban semakin massif, dan didukung sejumlah kebijakan, rape culture tampaknya masih mengakar kuat di Indonesia. Buktinya sangat mudah kita temui di keseharian kita. Unggahan di media sosial, percakapan di tempat kerja, jalanan, bahkan di perguruan tinggi masih menggambarkan bahwa tubuh perempuan direduksi sebagai “benda, bukan otoritas milik perempuan.
Sekali lagi, kasus pemerkosaan pada perempuan korban kecelakaan ini hanyalah beberapa fakta yang muncul di permukaan. Tugas kita untuk melakukan edukasi mandiri, maupun edukasi yang seharusnya lebih terstruktur oleh pemerintah masih jauh panggang dari api. Perempuan belum bisa hidup aman.
Comments