Women Lead Pendidikan Seks
December 21, 2020

Riset: ‘Niqabi’ Indonesia Patuhi Ajaran Agama, Tetapi Tetap Bernegosiasi

Sejumlah cerita perempuan berniqab menunjukkan bahwa mereka bukan sosok yang lemah, melainkan perempuan berambisi yang terus menegosiasikan pilihannya sembari ikuti ajaran agama.

by Yuyun Sunesti
Lifestyle
Share:

Perempuan Muda Bercadar - Belakangan ini, antusiasme anak muda Indonesia dalam memakai atribut keagamaan semakin meningkat. Hal ini bisa ditengok dari ruang-ruang publik di sekitar kita. Semakin banyak anak muda yang mengenakan jilbab. Tidak hanya jilbab yang semakin populerniqab (cadar atau kain penutup wajah) juga sudah menjadi pilihan yang jamak diambil perempuan-perempuan Indonesia.

Komunitas perempuan berniqab (niqabi) akhirnya mulai bermunculan. Salah satu yang populer adalah Niqab Squad yang menyatakan memiliki anggota ribuan tersebar di beberapa wilayah di Indonesia. Tidak hanya di dalam negeri, anggota Niqab Squad juga berasal dari luar negeri dan pada tahun ini, komunitas itu telah memiliki 56.200 pengikut di Instagramnya.

Baca juga: Jilbab, Hijab, Cadar, dan Niqab: Memahami Kesejarahan Penutup Tubuh Perempuan

Fenomena penggunaan niqab di kalangan remaja ini menarik karena penggunaan cadar biasanya identik dengan perempuan dewasa yang dianggap lebih siap dengan pilihan dan konsekuensi setelah memakai cadar. Misalnya, keputusan ini mengharuskan mereka untuk membatasi pergerakan mereka di ruang publik.

Salah satu bagian dari penelitian disertasi saya membahas fenomena penggunaan niqab yang semakin populer di kalangan mahasiswi di perguruan tinggi dan juga murid-murid Sekolah Menengah Atas (SMA). Penelitian ini dilakukan di Solo, Jawa Tengah pada pertengahan 2017 hingga akhir 2018 dan melibatkan sekitar 20 perempuan bercadar dari usia 18 tahun hingga 50 tahun. Melalui wawancara mendalam, penelitian ini mengungkap setidaknya tiga hal menarik tentang perempuan-perempuan muda memilih memakai niqab.

Faktor Eksternal Penggunaan Niqab

Para perempuan muda yang memutuskan memakai cadar dalam penelitian saya menyatakan bahwa pilihan tersebut merupakan sebuah keputusan besar dalam hidup mereka.

Meski mengaku pilihan tersebut adalah pilihan pribadi mereka, mereka menyatakan setidaknya ada tiga kelompok yang berpengaruh besar dalam keputusan mereka memakai niqab yaitu teman sebaya, media sosial, dan orang tua.

Responden yang berada di level perguruan tinggi mengaku dorongan untuk memakai cadar mulai muncul ketika mereka mulai berkenalan dengan teman berniqab dan mulai mengikuti kajian-kajian di sekitar kampus mereka.

Setelah beberapa kali mengikuti pengajian, mereka mengaku mendapatkan ilmu agama yang belum pernah mereka dapatkan sebelumnya. Mereka merasa tertarik dengan ajaran yang selalu disandarkan pada Al-Qur’an dan perintah Nabi Muhammad.

Bagi mahasiswi-mahasiswi yang mengaku tidak suka mengikuti aktivitas di luar tempat tinggal mereka, kajian-kajian yang ada di media sosial seperti YouTube dan laman-laman tertentu menjadi rujukan dalam memperdalam ilmu agama mereka. Beberapa responden bahkan mengaku mampir ke channel-channel kajian tersebut secara tidak sengaja melalui penelusuran acak yang mereka ketik di mesin pencarian.

Berbeda dengan niqabi muda yang ada di perguruan tinggi, responden yang memakai cadar di level SMA mengaku mengenakan niqab karena saran dari orang tua mereka yang lebih dulu mengikuti kajian-kajian keagamaan tertentu. Meski salah satu responden SMA saya mengaku memberontak pada awalnya, nasihat yang intens diberikan oleh ayahnya mendorong ia mantap untuk mengikuti jalan sunah yang dikenalkan ayahnya.

Menyesuaikan Cita-Cita Setelah Berniqab

Setelah memutuskan untuk berhijrah, para niqabi muda menyatakan seperti terlahir kembali dengan identitas baru mereka.

Dalam ajaran yang mereka yakini, tempat terbaik bagi perempuan adalah di rumah. Para niqabi muda berusaha untuk beradaptasi dengan keyakinan tersebut. Salah satunya adalah niqabi muda harus merevisi cita-cita mereka agar selaras dengan manhaj (cara beragama) yang mereka ikuti.

Rina (21 tahun, bukan nama sebenarnya) misalnya mengaku berkeinginan menjadi dosen di sebuah perguruan tinggi. Lila (20 tahun, bukan nama sebenarnya) ingin menjadi seorang guru. Sementara, Afi (18 tahun, bukan nama sebenarnya) ingin melanjutkan kuliah selepas sekolah menengah atas.

Baca juga: Larangan Cadar Tak Masuk Akal, Tak Seperti Alasan Perempuan Memakainya

Namun, mereka mengaku tidak berani untuk bermimpi terlalu tinggi. Mereka mengatakan bahwa setinggi apa pun cita-cita mereka, ketika kelak suami mereka menginginkan mereka untuk tinggal di rumah, mereka harus bersedia.

Lila bahkan mengaku selalu bingung ketika ditanya mengenai cita-citanya. Ia ingin menjawab ingin menjadi guru di sekolah, namun ia juga ragu apakah suaminya kelak akan mengizinkannya.

Sementara Afi, meski ia memendam keinginan untuk meneruskan kuliah di perguruan tinggi, ia mengaku tidak akan bisa menolak keinginan ayahnya jika ayahnya menginginkannya untuk menikah selepas SMA.

Perlawanan Perempuan Muda Bercadar

Pilihan-pilihan yang diambil perempuan berniqab berkesan bahwa perempuan-perempuan bercadar itu lemah dan tidak punya daya untuk untuk memutuskan pilihan mereka sendiri.

Namun, penelitian saya menunjukkan bahwa perempuan-perempuan muda ini masih bisa melawan dengan menegosiasikan keinginan, emosi dan harapan di bawah cengkeraman manhaj yang mereka ikuti.

Mereka membangun sebuah strategi yang khas, unik dan tidak biasa, yang berbeda dari perempuan-perempuan pada umumnya dengan bernegosiasi. Lewat cara tersebut, niqabi muda bisa menghadapi sesuatu yang mereka tidak bisa lawan, namun di saat yang sama mereka tidak ingin menyerah terhadap kondisi dan situasi yang sedang mereka alami.

Seluruh responden niqabi muda yang saya wawancarai mengakui mengubah kebiasaan dan hobi mereka yang lama menjadi aktivitas dan hobi baru yang sejalan dengan manhaj yang mereka ikuti. Mendengarkan musik dan menonton televisi diganti dengan mendengarkan bacaan Al-Qur’an melalui kaset. Nongkrong bersama teman-teman diganti dengan pergi keluar untuk mendatangi kajian-kajian. Hobi menggambar hewan, manusia, dan kartun mereka ganti dengan belajar kaligrafi.

Sementara beberapa niqabi muda secara ketat menghindari datang ke tempat-tempat umum, beberapa niqabi lainnya masih memilih untuk menekuni hobi mereka di luar rumah seperti jogginghiking, berenang, bertinju dan bela diri. Namun, dengan syarat tidak bercampur dengan laki-laki yang bukan muhrimnya.

Beberapa niqabi juga menyatakan beberapa cara yang mereka lakukan ketika merasakan kebosanan ketika harus tinggal di rumah dalam jangka waktu yang lama. Rina misalnya, akan keluar kosnya untuk berjalan-jalan di sekitar taman kampusnya menikmati tanaman hijau. Afi memilih untuk menikmati film anak-anak yang ia download di laptopnya. Walau demikian, ia masih harus kucing-kucingan dengan ayahnya yang akan selalu menghapus filmnya jika ketahuan dengan alasan tidak memberi manfaat. Sementara itu, Lila memillih untuk naik gunung bersama teman-temannya untuk mengusir kejenuhannya.

Cerita-cerita tersebut menunjukkan bahwa perempuan muda bercadar atau niqabi bukanlah sosok yang lemah. Mereka masih memiliki ambisi dan mereka berusaha mempertahankannya dengan bernegoisasi terhadap pilihan-pilihan yang mereka ambil selagi tetap berpegang teguh pada manhaj yang mereka ikuti.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Yuyun Sunesti adalah pengajar di Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret.