Sejak 1993, Christine Tjandraningsih telah menyokong keuangan keluarganya. Tak hanya orang tua, sulung dari tiga bersaudara ini kini punya tanggungan dua adik perempuan dan dua keponakan yang telah duduk di bangku kuliah.
Almarhum ayahnya dulu bekerja di perusahaan garmen, namun gajinya tidak tinggi sehingga Christine memintanya untuk berhenti bekerja karena merasa gajinya sebagai wartawan di sebuah media Jepang mampu membiayai orang tua. Namun, pengeluaran kemudian sangat membengkak untuk pengobatan sang ayah yang terkena Hepatitis C pada 1999 sampai ia meninggal pada 2005.
Sementara itu, meski adik-adiknya sudah berumah tangga dan masing-masing memiliki satu anak, tanggungan Christine bertambah. Adiknya yang bungsu diminta berhenti bekerja oleh suaminya setelah menikah. Namun ketika keuangan mereka goyah, Christine pun turun tangan membantu mereka, termasuk urusan sekolah keponakannya sampai kuliah sekarang. Kini, adik bungsunya dan pasangan telah bercerai. Karena penghasilan si mantan suami kecil, hanya sekali-sekali saja ia mengirim uang untuk mantan istri dan anaknya, sekadar untuk jajan.
Setali tiga uang dengan adik bungsu Christine, anak tengah di keluarga tersebut pun mengalami kesulitan finansial dan telah bercerai pula. Hal ini terjadi setelah ia diberhentikan oleh perusahaan empat tahun lalu, setelah ia didiagnosis mengidap Parkinson dua tahun sebelumnya. Sementara mantan suaminya tidak bertanggung jawab memenuhi nafkah untuk anak mereka.
Sekarang, adik Christine yang satu ini masih berwirausaha membuat bunga kertas, tetapi hasilnya tidak mencukupi kebutuhannya dan sang anak.
“Waktu diberhentikan, anak dia sudah mau masuk kuliah. Uang pesangon adik pertama saya pun habis untuk membayar uang masuk kuliah. Akhirnya, saya yang selanjutnya menanggung biaya kuliah, kos, transportasi, dan kebutuhan-kebutuhan keponakan saya yang lainnya,” kisah perempuan kelahiran 1967 ini.
Selain Christine, Agnes Hartono juga mengalami pengalaman sebagai lajang yang jadi tulang punggung keluarga. Sudah setahun ini perempuan berusia 24 tahun itu bekerja dan selama itulah ia membayari hampir seluruh kebutuhan rumah yang terdiri dari orang tua dan seorang adiknya yang sekarang duduk di kelas 3 SMP.
Ayahnya terkena pemutusan hubungan kerja saat ia masih SMP, dan sejak itu tidak bekerja lagi. Ibu Agnes lantas mulai membuka usaha kecil-kecilan hingga akhirnya membuka katering, tetapi penghasilannya hanya bisa menutup biaya makan sehari-hari saja.
Bakti anak: kewajiban atau keikhlasan?
Meski pas-pasan dan seterhimpit apa pun, Agnes tidak mau keluarganya sampai harus meminjam uang.
“Enggak mau banget ada utang. Untungnya sejauh ini nggak pernah ada pinjaman di mana pun,” kata perempuan yang berprofesi sebagai desainer grafis ini.
Baik Christine maupun Agnes menghabiskan sekitar 80 persen penghasilan mereka setiap bulannya untuk membiayai keperluan rumah tangga dan sekolah keponakan serta adiknya. Untuk kasus Christine, ia perlu menambahkan pos pengeluaran untuk keperluan kesehatan ibunya yang menderita osteoporosis dan adiknya yang mengidap Parkinson.
Baca juga: Melajang Bukan Karena Tak Ketemu Jodoh, Tapi Karena Jodoh Tak Sesuai Harapan
Begitu mendapat gaji, mereka langsung membagi-bagi uangnya untuk pos tagihan, tabungan keluarga, asuransi termasuk BPJS, biaya sekolah, dan lain sebagainya. Sisanya, baru mereka simpan untuk kebutuhan pribadi. Yang penting keluarga dulu, baru saya, pikir mereka. Tak pelak, ada beberapa hal yang sempat mereka impikan dan terpaksa dikesampingkan dulu.
Christine mesti menunda rencana membangun rumah sendiri dan keinginan untuk bisa jalan-jalan seperti sebelum ia membiayai seluruh keluarganya tak bisa leluasa ia lakukan sekarang ini.
Sementara itu, Agnes harus menangguhkan rencana lanjut studi S2-nya karena ia masih punya adik yang mesti dibiayai sekolahnya sampai lulus kuliah kelak. Ketika kuliah S1 dulu pun, ia mengorbankan cita-cita masuk universitas negeri karena hanya mendapatkan beasiswa dari gereja untuk kuliah di salah satu universitas swasta.
“Enggak apa-apa, yang penting bisa meringankan beban orang tua,” ujarnya.
Relasi orang tua dan anak yang lama terjalin menimbulkan rasa tanggung jawab di antara keduanya. Jika saat anak kecil orang tua yang mengurus mereka, saat dewasa anak diharapkan merawat orang tua, dengan porsi dan bentuk yang berbeda-beda.
“Kalau umpamanya anak sudah menikah, mungkin dia tidak bisa secara sepenuhnya menanggung orang tua karena ada keluarga sendiri yang perlu dihidupi. Tapi kalau yang lajang ini, dia dianggap harus bertanggung jawab sama siapa lagi kalau bukan kepada orang tua?” kata Rosa Diniari, pengajar Sosiologi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.
Rosa menilai, bakti yang ditunjukkan seseorang sangat tergantung konteks. Ada masyarakat yang punya tradisi mewajibkan anak untuk membalas budi orang tua, ada juga masyarakat yang orang tuanya tidak banyak menuntut balik kepada anak. Karena itu, bakti bisa dipandang sebagai kewajiban—yang bisa bersumber dari nilai budaya atau agama—atau keikhlasan anak.
Ada pandangan bahwa anak adalah aset yang kemudian hari dapat menanggung hidup orang tua. Anggapan ini bisa terus melanggengkan lingkaran ketergantungan orang tua lansia kepada anak. Karena itu, perwujudan bakti juga dipengaruhi oleh level edukasi orang tua. Rosa berargumen, orang tua yang teredukasi bisa berpandangan dirinya perlu mandiri dan tidak menganggap anak sebagai aset. Edukasi ini yang berpengaruh terhadap banyaknya tuntutan orang tua kepada anak di kemudian hari.
Selain itu, tidak melulu bakti itu berupa materi. “Kalau anaknya tidak mampu kan susah juga. Tergantung dia mampunya memberi secara material atau nonmaterial dalam membantu orang tua,” Rosa menambahkan.
Yang penting keluarga dulu, baru saya, pikir mereka. Tak pelak, ada beberapa hal yang sempat mereka impikan dan terpaksa dikesampingkan dulu.
Beban anak perempuan
Dalam hal mengurus orang tua, budaya di Asia lebih mengharapkan anak perempuan, terutama yang lajang, untuk mengurus orang tuanya yang masuk kategori lansia. Riset The Association of Women for Action and Research (AWARE), lembaga yang mengadvokasi kesetaraan gender di Singapura, menemukan bahwa waktu dan tenaga perempuan lajang sering diasumsikan lebih tersedia dibandingkan saudara mereka yang telah menikah sehingga tanggung jawab tersebut pun jatuh ke pundak mereka.
Selain itu, menurut Rosa, dalam praktik keseharian, perempuan sering kali dianggap lebih peduli dan lebih cakap merawat dibanding laki-laki. Karenanya, mereka dapat menanggung beban lebih besar dalam hal mengurus orang tua dan keluarganya.
Sebagian anak perempuan mesti mengurangi waktu kerja, bahkan ada yang berhenti karena harus mengurus orang tua di rumah yang butuh perawatan khusus. Hal ini berefek pada pendapatan mereka yang justru kerap kali menjadi sumber utama pembiayaan kebutuhan rumah tangga dan perawatan orang tua. Problem yang bisa mengekori mereka setelah menjadi caregiver orang tua adalah perkara tabungan atau dana pensiun bagi mereka sendiri. Jika semasa usia produktif dana tersebut banyak terpotong, bagaimana mereka menjamin hidup mereka sendiri ketika menua?
Agnes mengaku, ia terkadang merasa tertekan ketika berada di posisi anak yang mesti membiayai keluarga. Pengalaman menjadi penopang rumah tangga membuat ia berpikir dua kali jika hendak berumah tangga atau tidak kelak.
“Mengurus rumah yang sekarang aja udah ribet, gimana nanti,” ujar Agnes.
Christine menyikapi keadaannya dengan lebih santai. Ia ingat pesan salah seorang tantenya bahwa jika kita ikhlas mengurus keluarga, seberapa pun uang yang kita keluarkan, apalagi untuk orang tua, akan kembali dalam jumlah yang lebih besar meskipun tidak selalu dalam bentuk uang.
“Saya percaya itu karena sudah beberapa kali ketika pengeluaran sedang besar-besarnya, selalu ada tawaran kerja, misalnya menerjemahkan atau mengedit buku,” ujarnya.
Meski demikian, ia mengambil pelajaran berharga dari pengalaman orang tua yang kurang cermat dalam mempersiapkan kebutuhan hari tua sehingga mau tidak mau, anaklah yang menanggung bebannya. Karena itu, penting bagi orang-orang yang lebih muda seperti keponakannya untuk lebih siaga dalam hal keuangan, ujarnya.
Baca juga: Alasan Sebenarnya Orang Gemar Lecehkan Lajang
“Salah satu keponakan saya tahun ini akan lulus kuliah. Saya bilang ke dia, nanti begitu dapat kerja, harus langsung punya asuransi dan dana pensiun supaya nanti kalau sudah tua tidak membebani keluarga,” jelas Christine.
Mereka yang memiliki tanggungan keluarga lebih sulit mengatur proporsi uang untuk kebutuhan orang tua, pribadi, dan investasi. Menurut penasihat keuangan dari Finansialku.com, Rista Zwestika Reni, pembagian antara uang untuk biaya keluarga dan pribadi perlu dibicarakan dengan orang tua atau keluarga yang ditanggung.
“Misalnya, dia punya penghasilan Rp5 juta, lalu bilang ke orang tuanya kalau dia hanya bisa membantu di angka Rp1 juta. Jelaskan, ini karena sisanya perlu untuk mendanai kebutuhan masa depannya sendiri, menabung untuk dana darurat, dan lain-lain. Intinya harus ada komunikasi dan kesepakatan antara anak dan orang tua,” ujar Rista.
Ia menambahkan, soal dana darurat perlu dikelola oleh si anak sendiri walaupun nantinya bisa terpakai untuk dirinya sendiri maupun orang tua bila sakit atau keadaan mendesak lainnya yang tidak ditanggung oleh kantor atau BPJS.
“Contoh situasi, sekarang ini ada COVID-19. Kita punya penghasilan tetap dan pihak perusahaan menanggung biaya kesehatan kita. Tapi kalau di kemudian hari proyek yang dijalankan perusahaan terganggu dan keuangannya menurun, kemungkinan ada penurunan gaji atau bahkan kita kehilangan pekerjaan. Itu pentingnya dana darurat dipersiapkan oleh anak-anak yang masih lajang begitu punya penghasilan,” kata Rista.
Mengenai besaran dana darurat, Rista mematok enam kali lipat dari pengeluaran atau penghasilan seseorang. Ini tergantung dari jumlah yang lebih besar di antara pengeluaran atau penghasilan.
Di samping pos dana darurat, untuk merencanakan masa depan yang mandiri dan tidak mengulang lingkaran ketergantungan orang tua terhadap anak, Rista menyarankan orang-orang lajang untuk melakukan perencanaan keuangan sejak pertama kali memegang gaji.
“Mulai dengan menyisihkan untuk hal-hal wajib semacam membayar pajak, dana darurat, membayar utang, dan sedekah. Kemudian, dilanjutkan dengan menjatah uang untuk investasi yang nantinya bermanfaat untuk mendanai hidup seseorang ketika lansia. Barulah merencanakan untuk kebutuhan pribadi bulanan serta cita-cita seseorang entah sekolah lagi, menikah, dan sebagainya,” ujarnya.
Ilustrasi oleh Karina Tungari.
Comments