Mendengar, membaca, menonton, atau bahkan melihat langsung peristiwa yang dapat dikategorikan sebagai bentuk pelecehan seksual seolah sudah menjadi realitas sehari-hari saking maraknya kejadian ini. Pelecehan seksual dimaksud dapat terjadi dalam bentuk apa saja, baik berupa perbuatan nyata, perkataan (verbal), maupun tulisan yang memuat konten tidak senonoh melalui beragam media komunikasi. Prinsip dasar Negara berketuhanan dan berlandaskan asas kemanusiaan yang adil dan beradab dalam praktiknya tidak bisa menjamin terciptanya warga negara yang beradab secara moral dan etika karena memang implementasinya kembali pada kesadaran individu yang bersangkutan.
Pelecehan seksual sendiri secara faktual dapat terjadi kapan dan di mana saja, serta mengancam siapa saja tanpa memedulikan gender ataupun usia. Namun, secara global peristiwa ini lebih banyak mengancam perempuan. Lalu bagaimana jika kasus ini terjadi di tempat kerja, dalam waktu kerja, dan bahkan dalam hubungan kerja, baik dalam hubungan vertikal (atasan dan bawahan), hubungan horizontal (antara sesama pekerja), maupun melibatkan pekerja kontrak atau outsourcing (seperti misalnya tim satuan pengamanan/pekerja kebersihan yang di tempatkan di lingkungan kerja)?
Sebagai langkah antisipatif, sudahkah perusahaan selaku pemberi kerja melakukan pencegahan? Dan apabila sudah kadung kejadian, apakah perusahaan hadir untuk memberikan proteksi atau perlindungan? Ataukah akan lebih memilih bungkam demi reputasi?
Sebelumnya, kita perlu membahas satu per satu aspek-aspek fundamental yang perlu diketahui.
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) mengartikan hubungan kerja sebagai hubungan antara seorang pekerja dengan perusahaan yang didasarkan pada perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Ketika suatu hubungan kerja terbentuk, maka lahirlah hak dan kewajiban yang secara profesional harus dipenuhi oleh Perusahaan selaku pemberi kerja dan pekerja itu sendiri.
Keselamatan dan kesehatan dalam bekerja adalah hak dasar pekerja yang diatur oleh Negara melalui Pasal 86 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, bahwa “Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas (a) keselamatan dan kesehatan kerja; (b) moral dan kesusilaan; (c) perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat serta nilai-nilai agama”.
Selanjutnya, di ayat (2) diatur bahwa “Untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan produktivitas yang optimal diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja.” Adapun upaya keselamatan dan kesehatan kerja ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan keselamatan dan meningkatkan derajat kesehatan para pekerja/buruh dengan cara pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat kerja, pengendalian bahaya di tempat kerja, promosi kesehatan, pengobatan, dan rehabilitasi.
Baca juga: Survei 'Never Okay': 81% Responden Alami Pelecehan Seksual di Tempat Kerja
Lebih lanjut, Pasal 87 UU Ketenagakerjaan mempertegas bahwa “Setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan.” Sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang diinginkan oleh regulator adalah suatu bagian dari sistem manajemen perusahaan yang secara komprehensif meliputi struktur organisasi, perencanaan, pelaksanaan, tanggung jawab, prosedur, proses, dan sumber daya yang dibutuhkan bagi pengembangan penerapan, pencapaian, pengkajian, dan pemeliharaan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja dalam rangka pengendalian risiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien, dan produktif.
Perusahaan wajib lakukan pencegahan
Secara spesifik, mengenai upaya preventif terjadinya pelecehan seksual di lingkungan kerja, Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. SE.03/MEN/IV/2011 tentang Pedoman Pencegahan Pelecehan Seksual di Tempat Kerja mengatur bahwa perusahaan harus:
(a) Membuat, mengesahkan dan menginformasikan kepada semua pekerjanya kebijakan tentang pelecehan seksual dalam lingkungan kerja;
(b) Mengambil tindakan perbaikan yang efektif dan wajar bila terjadi pelecehan seksual. Perusahaan wajib untuk merumuskan in-house mechanism sebagai upaya pencegahan di tingkat perusahaan yang meliputi unsur:
(i) Pernyataan kebijakan yang melarang pelecehan seksual;
(ii) Definisi yang jelas mengenai pelecehan seksual;
(iii) Tata cara pengajuan keluhan;
(iv) Aturan disiplin dan hukuman bagi pelaku;
(v) Langkah-langkah perlindungan dan pemulihan bagi korban; dan
(vi) Pemantauan.
Dari aturan di atas terlihat jelas bahwa Negara telah membebankan tanggung jawab besar bagi perusahaan untuk melakukan upaya preventif guna menciptakan lingkungan kerja yang aman dan kondusif bagi keselamatan pekerjanya.
Jika pengaturan sudah dibuat sedemikian rupa, lalu bagaimana implementasinya? Sudahkah perusahaan menerapkan kewajibannya? Apakah benar ada mekanisme pengaduan yang disediakan oleh manajemennya? Sekiranya ada, apakah kemudian pengaduan korban ditangani/ditanggapi dengan serius? Apakah aturan disiplin atau hukuman bagi pelaku telah diterapkan? Apakah langkah-langkah perlindungan dan pemulihan nama baik, kondisi mental dan kejiwaan korban akan menjadi perhatian khusus bagi perusahaan? Adakah keterbukaan dari perusahaan untuk memberikan penjelasan yang memadai mengenai langkah hukum yang dapat ditempuh oleh korban mengingat pelecehan seksual adalah tindakan kriminal yang dilarang oleh undang-undang?
Baca juga: Survei: Pelecehan Seksual di Tempat Kerja Pindah ke Dunia Maya di Tengah Pandemi
Seumpama korban menyadari betul bahwa ia dapat menempuh jalur hukum, akankah hal ini kemudian mendapat dukungan positif dari perusahaan? Entahlah, sering kali hal ini menjadi momok, yang akhirnya mendorong korban untuk bungkam, tidak memproses atau memperkarakannya karena kemungkinan dua kondisi di atas. Pertama, ketika si korban tidak memiliki pemahaman hukum yang memadai, sementara perusahaan pun memilih untuk tidak terlibat lebih jauh. Atau kedua, ketika si korban memahami kemungkinan proses hukum yang dapat ditempuhnya tapi hal ini tidak mendapat dukungan positif dari Perusahaan.
Ketika pelecehan seksual itu terjadi, biasanya akan ada perbedaan perspektif dari pekerja yang menjadi korban dan perusahaan dalam menyikapinya. Si korban akan melihat bahwa kehormatan, harkat dan martabatnya selaku manusia yang seyogianya harus dihormati, dilindungi dan dijunjung tinggi sesuai amanat Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Namun, di sisi lain, perusahaan sebagai pihak yang tidak terimbas langsung, bisa jadi hanya berpandangan bahwa kasus ini semata-mata adalah kasus pribadi antara korban dan pelaku, sehingga perusahaan tidak mempunyai kewajiban moril kepada korban termasuk untuk memberikan pendampingan secara hukum dalam memproses kasus ini atau untuk terlibat aktif membantu pemulihan mental korban.
Pertanggungjawaban perusahaan sering kali hanya diwujudkan dalam penegakan sanksi administrasi atau hukuman disiplin kepada pelaku misalnya melalui tindakan skorsing atau lebih serius berupa pemutusan hubungan kerja. Sisanya, perusahaan cenderung untuk fokus untuk menjaga reputasi agar nama baiknya tidak tercemar karena takut dinilai gagal dalam menciptakan lingkungan kerja yang aman dan kondusif, ataupun takut dinilai mempunyai sistem jaminan keamanan yang tidak mumpuni. Akibatnya, perusahaan akan berupaya maksimal agar kasus ini diredam di internal dan tidak terendus oleh pihak lain.
Memang tidak ada pihak yang mau nama baiknya tercemar. Tapi jika kita lihat dari sisi kemanusiaan, seharusnya perusahaan memberi ruang empati, dengan mempertimbangkan realitas bahwa reputasi/nama baik bahkan sudah tidak bisa diperjuangkan oleh pekerjanya yang menjadi korban, karena harkat dan martabatnya sebagai manusia malah sudah terinjak-injak oleh pelecehan seksual.
Kesimpulannya, apakah perusahaan secara profesional sudah melakukan pencegahan dan proteksi? Atau memang senyatanya tidak peduli, berdiam diri, dan berjibaku dengan upaya menjaga reputasi?
Comments