Memasuki tahun ke-17 sejak Rancangan Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 2004, RUU tersebut masuk ke dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021.
Para pendorong RUU Perlindungan PRT ini berharap DPR akan mengesahkan aturan ini, terutama karena kerentanan PRT dalam dan luar negeri semakin meningkat selama masa pandemi COVID-19. Terlebih mengingat adanya waktu sidang paripurna DPR yang sangat singkat berlangsung sejak 11 Januari hingga 11 Februari 2021 mendatang.
Oom Umiyati, perwakilan dari Jaringan Nasional untuk Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT), menyatakan banyak PRT yang menghadapi pemotongan upah, pemutusan hubungan kerja (PHK), dan tidak menerima pesangon.
“Selain itu, selalu ada ancaman bagi PRT karena sering disebut sebagai pembawa penyakit oleh pemberi kerja,” ujarnya dalam konferensi pers berjudul “Mendesak Penetapan RUU PPRT sebagai Prioritas Prolegnas 2021 dan sebagai RUU Inisiatif DPR” (13/1).
Konferensi tersebut diinisiasi Komnas Perempuan dan Aliansi Peduli Pekerja Rumah Tangga, termasuk Maju Perempuan Indonesia (MPI) dan Persatuan Pekerja Rumah Tangga Indonesia Migran (Pertimig) Malaysia.
PRT Rentan Terpapar COVID-19
Data dari Organisasi Buruh Internasional (ILO) dan Universitas Indonesia pada 2015 menunjukkan jumlah PRT di Indonesia mencapai 4,2 juta orang, dan terus meningkat.
Survei internal terhadap 539 responden anggota JALA PRT selama pandemi, antara April sampai Agustus 2020, menunjukkan bahwa 151 PRT telah dirumahkan dan menerima pemotongan upah sampai 50 persen; 164 PRT purnawaktu menghadapi PHK tanpa pesangon; dan 120 PRT paruh waktu kehilangan sebagian pekerjaannya.
Baca juga: Magdalene Primer: RUU Perlindungan PRT yang Sudah 16 Tahun Mangkrak
Laporan Kajian Dampak Kebijakan Penanganan COVID-19 (2020) dari Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menunjukkan kerentanan PRT akibat lingkup kerjanya yang dekat dengan keluarga.
Akibatnya, PRT sulit melakukan protokol untuk menjaga jarak, terutama jika pemberi kerja jatuh sakit dan harus merawat mereka, maka kerentanan PRT terpapar virus semakin tinggi. Situasi tersebut menjadi ironis karena banyak PRT yang tidak memiliki jaminan kesehatan.
Oom mengatakan PRT sangat memerlukan jaminan sebagai pekerja dan jaminan kesehatan karena semua orang berhak mendapatkan pekerjaan yang layak.
“Kami berharap pemerintah dan tidak menganggap PRT seperti budak. Pemberi kerja memberi kontrak kerja, jaminan sosial, ikut BPJS Ketenagakerjaan, menerima bantuan, dan tidak didiskriminasi. Untuk kesehatan memberikan obat bagi pekerja agar PRT bisa sehat seperti yang lainnya,” ujarnya.
RUU PPRT Lindungi PRT
Ninik Rahayu dari MPI, sebuah organisasi yang bergerak dalam perlindungan hak perempuan, mengatakan mayoritas PRT adalah perempuan yang rentan kekerasan.
“Kurang lebih 84 persen perempuan, bahkan ada PRT anak 14 persen. Lingkup kerjanya juga sangat privat, maka mereka rentan sekali mengalami eksploitasi dan penyiksaan,” ujarnya.
Baca juga: Komnas Perempuan: Pengakuan dan Perlindungan Hukum Bagi PRT
Binti Rosidah, Wakil Ketua Pertimig Malaysia, mengatakan situasi pandemi untuk PRT migran tidak jauh berbeda dengan PRT dalam negeri. Mereka mengalami peningkatan kekerasan, pelecehan, PHK sepihak, pemulangan mendadak, wajib mengikuti tes swab, dan isu kebencian.
“Pekerja migran Indonesia punya peran signifikan untuk pengisian devisa negara melalui remitansi. Sementara negara tujuan tidak memberi perlindungan melalui kebijakan aturan dan undang-undang, seperti Malaysia,” ujarnya.
Binti berharap agar seluruh lapisan masyarakat mendorong agar RUU PPRT bisa segera disahkan untuk memberi pelindungan pada PRT dalam maupun luar negeri. Selain itu, ia menganggap aturan hukum tersebut akan menentukan posisi tawar Indonesia dan mendorong negara tujuan untuk memiliki keinginan yang sama melindungi PRT migran.
Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani mengatakan, RUU Perlindungan PRT sangat komprehensif, memberi penguatan dan penanganan kasus bagi PRT, dan melindungi semua pihak yang terlibat. Negara memiliki tanggung jawab untuk memberi jaminan keamanan dan upaya itu juga harus didukung dengan penyaluran pendidikan, seperti yang diusahakan JALA PRT untuk membuat sekolah khusus PRT, ujarnya.
Untuk itu, ia menekankan pentingnya kerja sama untuk menghadirkan proses legislasi yang adil dan berperikemanusiaan.
“Jangan sampai upaya mendorong PPRT ini dihalangi karena adanya kepentingan yang bisa menunjukkan perbedaan kelas sosial,” ujar Andy.
Ilustrasi oleh Karina Tungari.
Comments