Menjadi gay di Indonesia bukanlah hal yang mudah. Salah satu gambaran tentang kondisi gay di Indonesia dapat dilihat dari percakapan antara karakter Anggia dan Naomi dalam film “Selamat Pagi, Malam.” Anggia menyatakan bahwa agama mempunyai peranan yang besar di sini dan Naomi merespon dengan mengatakan, makanya tidak ada tempat bagi mereka di Indonesia.
Percakapan tersebut mungkin fiktif karena berasal dari adegan sebuah film. Akan tetapi, kondisi di Indonesia memang benar belum memungkinkan bagi kaum gay dan lesbian untuk hidup secara terbuka. Penolakan terhadap mereka masih terus terjadi. Beberapa orang mungkin dapat menerima kondisi kerabat atau teman mereka yang ternyata gay dan lesbian namun tidak sedikit orang yang menolak kehadiran mereka secara terang-terangan.
Kondisi inilah yang akhirnya membuat sejumlah orang gay dan lesbian berusaha menyembunyikan diri mereka. Bahkan, beberapa dari mereka berusaha untuk menyangkal keadaan dirinya (in denial) dan hidup layaknya kaum heteroseksual. Banyak cara dapat dilakukan demi penyangkalan diri tersebut, salah satunya adalah masuk ke dalam tudung rohani.
Dia adalah pria gay pertama yang saya temui. Gerak-geriknya memang sangat feminin. Dia kerap dihina “banci” oleh teman-temannya di sekolah namun dia tidak pernah membalas ejekan tersebut. Saat menginjak usia remaja, dia mulai mengikuti kegiatan gereja. Dia mengatakan bahwa dia bertobat dan memulai hidupnya yang baru bersama Tuhan.
Perjalanan rohaninya tersebut membuat dia semakin menekan rasa sukanya terhadap sesama jenis. Saya pernah bertanya, apakah dia bisa mengekang hal tersebut dan dia menjawab bisa, jika hanya untuk menjaga agari tidak memiliki hasrat seksual. Dia dapat menahan diri untuk tidak menonton film porno serta melakukan masturbasi. Akan tetapi, dia selalu mengatakan kepada saya bahwa sangat sukar untuk menahan diri agar tidak menyukai sesama lelaki.
Ketaatan tersebut terus dia pertahankan. Saya kadang merasa iba kepadanya karena berusaha mengubah sesuatu yang tidak dapat ia ubah. Meski begitu, saya tidak dapat memaksa dirinya jika kondisi tersebut adalah yang paling ia inginkan. Saya kadang berusaha menjelaskan kepadanya bahwa menjadi gay bukanlah sesuatu yang dapat diubah. Saya memberikannya buku-buku yang dapat ia baca untuk mengedukasi dirinya. Tapi ia tetap berpegang teguh pada kondisi tersebut. Saya pun tidak melakukan apa-apa lagi. Saya hanya berharap ia bahagia dengan keputusan tersebut.
Beberapa tahun berlalu sejak dia memutuskan untuk bertobat dan mulai melakukan pelayanan di sebuah gereja, dan saya mendapatkan undangan pernikahan darinya. Saya sempat tercengang namun saya putuskan untuk datang ke pernikahannya. Pesta berlangsung dengan meriah dan ternyata ia menikah dengan pendeta perempuan.
Sejak dia menikah, saya tidak pernah berkomunikasi lagi dengannya. Saya hanya melihat kondisinya melalui media sosial. Ia kemudian memiliki seorang anak. Saya turut berbahagia atas hal itu, tapi saya kerap bertanya-tanya, apakah dia sendiri bahagia.
Akhirnya, saya menemukan jawaban atas pertanyaan tersebut ketika saya tidak sengaja bertemu lagi dengannya. Setelah sekian lama tidak berjumpa, kami berdua menuangkan semua cerita yang belum pernah terungkap sebelumnya, termasuk tentang pernikahannya.
Ketertarikannya terhadap laki-laki tidak pernah hilang hingga saat ini. Dia sering naksir teman kantornya atau pria-pria lainnya, namun dia tidak pernah memberanikan diri untuk melangkah lebih jauh. Kekuatan yang ia jaga sejak kecil baru runtuh dalam hal masturbasi. Dia tidak tahan dan akhirnya mengeluarkan hasrat seksualnya terhadap sesama jenis dengan membayangkan mereka sambil masturbasi, tapi tidak lebih. Dia sangat takut berhubungan seksual dengan sesama pria.
Namun setiap kali melakukan masturbasi ia selalu merasa bersalah. Ia merasa keinginan tersebut tidak dapat membahagiakan ibunya. Hidup tanpa ayah sejak kecil membuatnya merasa sangat bertanggung jawab akan kebahagiaan ibunya. Setelah pergantian pendeta di gerejanya, ia pun mulai mendekati pendeta barunya yang masih gadis dan berusia beberapa tahun di atasnya.
Saat malam pertama setelah menikah, dia mengaku tidak melakukan hubungan seksual dengan istrinya. Dia memakai hal-hal berbau rohani untuk menghindar. Pada malam itu, dia mengajak istrinya untuk berdoa, bukannya berhubungan seks, dengan alasan bahwa mereka harus meminta pertolongan Tuhan agar rumah tangga yang dijalani tetap langgeng. Sebagai pendeta, sang istri tidak mungkin menolak ajakan suami untuk berdoa.
Dia mengatakan bahwa alasan itu kemudian sering dia gunakan ketika dirasa sang istri akan meminta untuk berhubungan seksual. Namun, dia tidak bisa terus menerus menggunakan alasan itu sehingga ia pun memikirkan cara lain. Akhirnya, dia berhubungan seksual dengan istri pada pagi hari karena saat itu lah pria pada umumnya, baik straight maupun gay, akan mengalami ereksi maksimal. Ia akan membangunkan istrinya dan langsung melakukan penetrasi. Alhasil hanya sekali berhubungan seksual, sang istri pun mengandung.
Kadang ia pun perlu membayangkan berhubungan seksual dengan laki-laki ketika harus mencium bibir sang istri. Lalu ketika saya tanyakan apakah istri mengalami orgasme, ia menjawab, rasanya tidak.
Setelah percakapan dengannya berakhir, saya mulai memikirkan kondisi istrinya. Saya tahu bahwa istrinya juga berhak untuk memperoleh suami yang dapat memuaskannya secara seksual bukan hanya sekadar penetrasi dan ejakulasi saja. Namun, hal inilah yang terjadi apabila kaum gay seperti teman saya takut untuk mengungkapkan diri mereka. Akhirnya, seperti teman saya, mereka akan terus menutup diri di bawah tudung rohani.
Tobias Kawatu adalah ghostwriter profesional. Ia juga menulis untuk konten laman. Saat ini ia menjalani hidup sederhana di Bali.
Comments