Dampak trauma dan gangguan stres pascatrauma (post-traumatic stress disorder/PTSD) merupakan masalah kesehatan mental serius di tempat kerja. Sebuah survei terhadap 8,5 juta orang dewasa di Inggris pada 2016 menemukan bahwa satu dari lima orang berusia antara 18 dan 74 tahun pernah mengalami paling tidak satu bentuk dari penyiksaan anak, baik dalam bentuk emosional, fisik, maupun seksual – atau menjadi saksi dari kasus kekerasan domestik sebelum mereka mencapai usia 16 tahun.
Pengalaman-pengalaman tersebut menghantui banyak dari mereka dalam bentuk trauma hingga usia dewasa. Mereka mengalami serangan panik, kilas balik, atau gangguan emosional intens yang berlarut akibat apa yang pernah mereka alami sebelumnya.
Isu kesehatan mental ini dapat mempengaruhi berbagai aspek dari para penyintas trauma ini, dan memiliki dampak buruk terutama di tempat kerja. Masalah konsentrasi, kesulitan untuk mempercayai orang lain, hingga perasaan tidak terhubung atau terisolasi secara sosial merupakan gejala-gejala yang dialami para penyintas saat bekerja.
Pandemi memudahkan kita untuk membicarakan masalah kesejahteraan dan keamanan psikologis di tempat kerja. Akan tetapi, mendapatkan dukungan yang diperlukan untuk trauma dan PTSD di tempat kerja tidaklah sesederhana itu.
Bagi penyintas, mendiskusikan trauma mereka secara terbuka menjadi kesulitan tersendiri. Hal ini dapat membuat trauma mereka justru kambuh karena terpapar manusia lain, insiden, atau lingkungan yang membuat mereka teringat kembali pada pengalaman traumatisnya.
Namun, tidak mengungkapkan kondisi kesehatan mental juga bisa jadi berbahaya. Kurangnya kesadaran tentang trauma dapat menciptakan lingkungan yang membuat para penyintas merasa tidak aman, rentan, atau terisolasi.
Dalam kebanyakan kasus, dukungan tidak selalu melibatkan solusi yang rumit dan memakan waktu, melainkan ekspresi pemahaman, kepercayaan, dan keadilan dari atasan. Mengungkapkan trauma dapat membantu para penyintas untuk mendapatkan kehormatan dan fleksibilitas dalam mengelola trauma mereka di tempat kerja dan menjadikan mereka karyawan yang lebih baik.
Ini adalah empat hal yang perlu dipertimbangkan saat mencari dukungan di tempat kerja:
Baca juga: Ketika Kita Diwariskan Trauma dan Bagaimana Mengatasinya
Apa dan Bagaimana Caranya Mengungkapkan Trauma?
Pemberi kerja mungkin menawarkan beberapa informasi dasar tentang proses pengungkapan isu mental dalam dokumen internal terkait sumber daya manusia atau materi online. Tinjau dan cari jaminan bahwa tempat kerjamu dapat menjaga kepercayaan dan kerahasiaan.
Organisasi harus menjelaskan bagaimana mengungkapkan trauma secara formal, menjelaskan langkah-langkah kunci, dan siapa yang harus diajak bicara (biasanya, manajer langsung).
Jika organisasi tempatmu bekerja tidak menawarkan proses formal, kamu dapat menceritakan traumamu ke kolega yang kamu percaya. Langkah ini berisiko membuat kamu tidak mendapat dukungan formal, dan karenanya banyak penyintas trauma memutuskan untuk tidak mengungkapkan masalahnya dalam kondisi ini.
Ingat – kamu tidak perlu menceritakan penyebab traumamu. Kamu hanya perlu mengungkapkan dampak emosional dan efek trauma pada pekerjaanmu, sekaligus akomodasi dan penyesuaian apa yang kamu harapkan dari tempat kerjamu.
Baca juga: Kerja, Kerja, ‘Burnout’: Dilema Perempuan Karier
Bagaimana Atasanmu Dapat Menyediakan Akomodasi?
Sebelum memberitahukan persoalan traumamu, kamu mungkin perlu mencari tahu bagaimana tempat kerjamu memandang kesejahteraan karyawan dan mengakomodasi kebutuhan individu.
Periksalah website perusahaan, dokumen rekrutmen dan profil media sosial mereka. Carilah bukti bahwa perusahaanmu mengakui pentingnya kesejahteraan dan fleksibilitas, tidak hanya sebagai filosofi perusahaan namun juga dalam lingkungan kerja sehari-hari.
Bahasa adalah alat yang ampuh – dokumen kebijakan apa pun harus menghindari penggunaan label, frasa yang menghakimi, jargon, dan bahasa yang agresif atau yang merendahkan. Jika kamu mendapati hal ini, ada baiknya berhati-hati dan mempertimbangkan untuk mencari dukungan dari sumber alternatif seperti organisasi amal tepercaya.
Baca juga: 4 Hal yang Tidak Kita Bicarakan saat Membicarakan Penyakit Mental
Bicara ke Manajermu
Manajer yang baik harus dapat mengidentifikasi tanda dan gejala trauma dan menciptakan ruang aman dan dialog terbuka. Akan tetapi, waktu yang tepat untuk mengungkapkan persoalanmu ada di tanganmu sendiri dan bukan pada atasanmu.
Kebijakan kantormu mungkin saja mendukung karyawan untuk berbagi mengenai trauma mereka – namun mengingat hal ini adalah keputusan personal, lakukan proses pengungkapan hanya ketika kamu merasa saat itu adalah waktu yang tepat untuk melakukannya.
Konsultasikan dengan mentor atau konselormu, atau jika memungkinkan, bicarakan dengan anggota keluarga atau teman yang mengetahui traumamu. Tergantung pada situasimu, tulis rancangan singkat tentang apa yang ingin kamu sampaikan kepada manajermu sebelum bertemu.
Tulis apa yang kamu rasakan dan mintalah pertemuan empat mata singkat di tempat yang aman. Jika kamu merasa tempat yang tersedia tidak membuatmu nyaman, tawarkan alternatif atau cobalah mengobrol sambil berjalan-jalan.
Jelaskan singkat masalah yang kamu hadapi: seberapa banyak detail atau konteks yang ingin kamu ungkapkan bergantung kepada keputusanmu. Fokus pada pengalaman kerjamu dan apa yang kamu perlukan untuk mengelola trauma dan menjadi pegawai yang efektif.
Baca juga: Ini Alasan Kenapa Karyawan Bisa Alami ‘Burnout’ dan Cara Atasinya
Dukungan Seperti Apa yang Bisa Kamu Dapat?
Fleksibilitas kerja atau kerja jarak jauh dapat membantu penyintas yang membutuhkan waktu dan ruang untuk menghadapi serangan panik atau kilas balik. Jika belum jelas, cobalah tanyakan kebijakan kerja perusahaanmu.
Kamu juga dapat meminta untuk menyesuaikan beban kerja atau tenggat waktu, atau untuk mengakses dukungan konseling jika tersedia.
Tempat kerjamu mungkin saja bisa menyediakan peralatan khusus untuk membantu mengatasi masalah konsentrasi, kelelahan atau ingatanmu. Jika meja berdiri, perangkat lunak pengenal suara (untuk membantu mengurangi masalah ingatan dan konsentrasi) atau peralatan komputer lainnya dapat membantumu, tanyakan bagaimana kamu dapat memperolehnya.
Organisasi mungkin tidak diwajibkan secara hukum untuk menyediakan peralatan penanganan trauma. Namun, mereka memiliki tanggung jawab moral untuk mengakomodasi kebutuhan individu dan menciptakan lingkungan yang aman secara psikologis.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.
Comments