Saya dilahirkan dalam keluarga kecil yang sederhana. Karena kecil dan sederhana, kami tidak pernah merayakan kumpul-kumpul, entah itu arisan atau sekedar bercengkerama.
Bersama kakak perempuan saya satu-satunya, kami dibesarkan tanpa ada tekanan untuk dalam memilih jalan hidup kami. Setelah lulus SMA, kakak enggan kuliah dan saya enggan bekerja. Semua itu diterima lapang dada oleh Ayah dan Ibu. Mereka menganggap bahwa kami harus melakukan apa pun yang kami senangi selama masih muda.
Ibu saya terang-terangan tidak menyarankan menikah muda, terlalu menyulitkan katanya. Dia menikah terlalu muda, dan hanya berpendidikan sampai kelas 6 SD. Hal itu menjadi penyesalan terbesar baginya. Cukup Ibu saja yang merasakan, kalian jangan, ujarnya.
Untuk masalah kuliah saya, Ibu pun tidak mau ikut campur. Beliau yakin apa yang saya pilih adalah apa yang saya yakini. Karenanya, saya terkadang sangat kebingungan melihat nasib beberapa teman saya yang kuliah berdasarkan tuntutan orang tuanya. Apakah benar ini jalan terbaik, begitu pikir saya. Alasannya pun bervariasi, jika tidak memilih kuliah sesuai keinginan orang tuanya, nanti mau jadi apa?
Nanti kerja apa?
Nanti yang teruskan cita-cita Bapak dan Ibu siapa?
Para anak pun juga terjebak dengan ide-ide “tidak menuruti orang tua, akan durhaka”
atau mereka terperangkap dalam budaya balas jasa yang harus mereka patuhi karena orang tualah yang membesarkan mereka.
Tidak salah berpikir seperti itu. Namun jika pemikiran-pemikiran tersebut membuatmu merasa bersalah, tertekan, kesal atau depresi, bukankah hal itu menjadi beban bagimu? Bayangkan jika kamu ingin sekali masuk jurusan Seni, keahlian menggambarmu tidak diragukan lagi. Dirimu sudah membayangkan betapa bergairahnya atau senangnya berada di lingkungan kampus yang berkutat dengan kesenian. Namun semua angan itu pupus hanya dengan satu kalimat, “Buat apa kuliah itu, nanti susah kerja dan dapat duit”.
Orang tua memang segalanya, tapi apakah mereka perlu menyakiti demi kesuksesan kelak? Apakah perlu membatasi kebebasan berekspresi demi pencapaian posisi?
Baca juga: Warisan Ayah: Memutus Rantai KDRT
Selama semuanya bersifat positif, bukankah tidak perlu terlalu khawatir, atau membombardir dengan skenario-skenario buruk yang akan terjadi di masa depan. Haruskah menjadi posesif dan keras demi masa depan, bukankah itu hanya ego semata?
Saya pernah berbincang dengan seorang kenalan, bahwa dirinya sangat tidak menyukai ibunya dan enggan merawatnya di kala sakit. “Jika ibuku meninggal, ya tidak apa-apa. Toh mungkin memang saatnya, lagi pula kan lebih baik jadi dirinya tidak perlu lagi merasakan sakit di dunia,” ujarnya.
Mendengar kata-kata serta melihat ekspresi wajahnya ketika bercerita, terlihat ada kebencian yang mendalam. Saya tidak tahu pastinya, namun saya mengerti. Dia tidak memiliki hak istimewa yang saya punya. Dia mungkin tidak berada di keluarga yang suportif seperti saya. Sehingga hal tersebut menciptakan rentetan kebencian yang ada dalam dirinya.
Mungkin ibunya suka memukulnya.
Mungkin ibunya selalu memakinya sewaktu kecil.
Mungkin ibunya tidak pernah mau mengurusnya.
Mungkin ibunya berselingkuh.
Hal-hal seperti itulah yang saya pikirkan dan saya menghargai sikapnya. Tidak menghujat, mengkritik, hanya mendengarkan saja. Tetapi tentu saja kontra pasti akan selalu ada di setiap individu. Kenalan saya itu dinasihati habis-habisan oleh yang lainnya, kebetulan waktu itu kami sedang berkumpul bersama yang lainnya.
“Jangan seperti itu, bagaimanapun juga mereka yang membesarkan kita. Terutama Ibu yang melahirkan kita. Kita harus berbakti kepada orang tua kita,” ujar mereka.
Saat itu saya berpikir, yah, tidak semua orang memiliki orang tua yang baik atau mengayomi. Menurut saya sangat tidak bisa diaplikasikan wejangan tersebut kepada anak-anak yang memiliki hubungan tidak baik atau trauma dengan orang tuanya.
Jika saja kalian mau melihat di luar sana, lihat saja berapa banyak kekerasan pada anak. Ada pemerkosaan anak kandung, penjualan anak, perselingkuhan, simpanan, pembuangan bayi. Sekian banyak kasus, dan kalian masih berharap mereka akan menerima wejangan tersebut dan berkata, “Benar juga, bagaimanapun mereka orang tuaku”?
Mereka tidak memiliki privilese yang kalian punya. Jika mereka memiliki orang tua yang benar-benar melindungi, mendukung, mengasihi, mereka tidak perlu repot-repot memikirkan kebencian.
Baca juga: Perisakan Anak Betul-betul Merusak
Saya menulis ini bukan untuk mengajak para anak untuk membangkang orang tua, mendoktrin bahwasanya tidak perlu terlalu hormat dengan mereka. Tidak, tidak seperti itu. Saya hanya ingin membuka mata kepada orang tua dan calon orang tua yang mengekang kebebasan anaknya, menolak pendapat mereka, mengabaikan kemampuan mereka. Atau bahkan mencaci maki dan tak jarang memukuli.
Sampai kapan kalian akan melanjutkan tradisi primitif bahwa anak akan kuat mentalnya jika melalui kekerasan? Sampai kapan orang tua akan menganggap jurusan A tidak akan menghasilkan, lebih baik kuliah saja jurusan yang berbuah dari ego kalian. Mengapa harus penuh kekerasan jika kalian bisa jadi suportif?
Tulisan ini juga berlaku kepada orang-orang yang masih melanggengkan rantai kekerasan fisik dan mental kepada anak-anak.
“Ah, begini saja sudah main lapor, dulu saya dipukul pakai sapu dan ikat pinggang biasa aja, tuh.”
“Lemah banget sih mentalnya, baru dikata-katai tolol aja udah bunuh diri. Dulu saya dimaki-maki bodoh, diberi kata-kata kasar buktinya kuat aja, tuh.”
Dulu, dulu, dulu. Ini zaman sekarang, bukan zaman dulu. Sampai kapan mau melanjutkan rantai primitif ini? Apakah orang-orang ini salah menafsirkan kekerasan menjadi sebuah ketegasan? Apakah semua orang memiliki kekuatan mental dan fisik seperti yang diri kalian punya?
Pun jika kalian sebagai anak sudah memiliki orang tua yang sangat mengasihi, sangat mengerti tanpa tuntutan pasti, selipkanlah mereka di setiap doamu. Karena tidak semua anak memiliki privilese dan kenyamanan yang kalian dapatkan. Dengarkanlah mereka-mereka yang tidak berada di satu nasib, jangan menasihati. Mulailah dari kamu, hentikan rantai kekerasan dalam membesarkan sebuah keluarga.
Comments