Women Lead Pendidikan Seks
May 31, 2019

Ramping, Keren, dan Murah: Bagaimana Industri Rokok Sasar Perempuan dan Anak

Industri rokok dengan agresif menyasar pangsa pasar perempuan dan anak terutama karena pasar laki-laki dewasa menjadi stagnan.

by Elma Adisya, Reporter
Issues // Politics and Society
Image Generasi Anti Rokok CFTK
Share:

Di pinggiran jalan di seluruh Indonesia, akan dengan mudah kita temukan anak-anak usia sekolah merokok dengan bebas. Hanya dengan menyisihkan Rp1.000 dari uang jajan mereka, satu batang rokok sudah dapat mereka nikmati. Kemudahan dalam menjangkau rokok ini merupakan faktor penyumbang angka perokok pemula pada anak meningkat.

Riset Kesehatan Dasar 2018 (Riskesdas) dari Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa jumlah perokok anak mencapai 7,8 juta orang atau 9,1 persen dari anak berusia 10-18 tahun di negara ini, naik dari 8,8 persen pada 2016 dan 7,2 persen pada 2013.

Jika dilihat antara 1995-2013, perokok berusia 10-14 tahun meningkat 0,5 persen menjadi 4,8 persen, sementara perokok berusia 15-19 tahun meningkat dari 13,17 persen menjadi 37,3 persen. Dilihat dari wilayah, prevalensi perokok aktif di perdesaan dua kali lipat dari perkotaan.

Jumlah ini sangat signifikan, dan kenaikannya lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam 20 tahun terakhir. Bila dianalogikan, perlu 101 Gelora Bung Karno (GBK) untuk menampung 7,8 juta perokok anak tersebut. Jika dari semua siswa SMA dalam satu sekolah, angka 37,3 persen berarti lebih dari sepertiganya murid nya perokok. Dan kalau dalam 18 tahun terakhir ada kenaikan perokok remaja hampir tiga kali lipat, semua anak SMA kemungkinan bisa jadi perokok dalam 10 tahun lagi. Tidak heran jika industri rokok kemudian menyasar pangsa perokok anak dan remaja ini.

Program Officer Jaringan Perempuan Peduli Pengendalian Tembakau (JP3T), Gatari Dwi Hapsari, mengatakan saat ini industri rokok tengah menyasar anak dan perempuan sebagai pasar yang menjanjikan karena pasar laki-laki dewasa stagnan.

“Untuk menjangkau target anak, industri rokok mulai masuk memberikan sponsor-sponsor ke acara yang berbau seni dan olahraga. Pokoknya hal-hal yang berhubungan dengan anak dan remaja,” ujar Gatari kepada Magdalene.

Aktivis Margianta Surahman mengatakan kepada Magdalene bahwa industri rokok memperdaya kelompok masyarakat anak-anak dengan cara yang sangat subliminal atau lewat bawah sadar, melalui pesan-pesan tersembunyi yang disisipkan pada objek-objek atau media tertentu, biasanya iklan. 

“Industri rokok itu sangat rewel, terkait dengan penempatan produk mereka. Di tempat penjualan, itu kan biasanya ada display yang menarik, itu dibuat menarik perhatian anak-anak dan ditaruh di dekat jajanan anak-anak,” ujar juru bicara Gerakan Muda FCTC, inisiatif sekumpulan anak muda untuk mendorong pemerintah Indonesia segera menandatangani Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) dari Badan Kesehatan Sedunia (WHO) itu.

Margianta mengatakan industri rokok juga menyasar pasar perempuan, memanfaatkan peningkatan jumlah perokok perempuan dari tahun ke tahun. Data Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa jumlah perokok perempuan saat ini mencapai 6,3 juta perempuan atau sekitar 4,8 persen, naik dari 2 persen pada 2016.

Industri rokok menyasar perempuan dengan membuat strategi iklan-iklan dengan tokoh dan model perempuan, serta kemasan rokok yang lebih feminin, ujar Margianta.

“Kemasan rokoknya dibuat mirip dengan kotak lipstik, rokoknya dibuat ramping. Kalau rokok kretek kesannya lebih kuat, lebih kasar, dan lebih maskulin, sementara rokok perempuan lebih feminin, lebih ringan,” katanya.

Selain itu, industri rokok memanipulasi narasi gerakan kesetaraan gender dengan mengubah citra rokok yang sangat maskulin sebelumnya, ujar Margianta.

“Industri rokok tidak peduli dengan agenda kesetaraan gender, mereka hanya menumpang agenda tersebut untuk mendapatkan keuntungan, yaitu target pasar perempuan,” ujarnya.

Mengalihkan kecanduan

Penelitian Kementerian Kesehatan menunjukkan kerugian makro ekonomi akibat konsumsi rokok di Indonesia pada 2015 mencapai hampir Rp600 triliun atau empat kali lipat lebih dari jumlah cukai rokok pada tahun yang sama. Kerugian ini meningkat 63 persen dibandingkan dengan dua tahun sebelumnya.

Jika masalah ini tidak ditindaklanjuti, Gatari mengatakan hal ini jelas akan memengaruhi perkembangan generasi masa depan negara ini.

“Bonus demografi yang digadang-gadang pemerintah akan membuat Indonesia semakin maju dan didominasi oleh masyarakat usia produktif, tidak akan terwujud. Malah sebaliknya, Indonesia akan didominasi oleh masyarakat yang tidak sehat dan tidak produktif,” ujarnya.

Hingga saat ini, pemerintah masih belum terlalu berkomitmen untuk meregulasi pengendalian tembakau dengan bergabung dengan FCTC. Pemerintah masih bergantung pada  regulasi  kenaikan harga cukai rokok yang tiap tahun naik, namun hal ini pun tidak terimplementasi dengan baik dan berujung harga cukai tidak jadi dinaikkan.

“Iya, cukai itu merupakan salah satu pendapatan negara, tapi pada dasarnya cukai ada untuk mengendalikan suatu komoditas yang peredarannya perlu diawasi, konsumsinya perlu dikendalikan,” ujar Margianta.

Ia menambahkan bahwa ada intervensi industri rokok terhadap kebijakan kenaikan cukai rokok dan mereka menggunakan segala cara dan celah untuk membuat pemangku kepentingan ragu dalam keputusan-keputusan yang mereka ambil.

“Contoh lain dari bentuk intervensi rokok adalah adanya smoking area di ruang bebas rokok, misalnya di beberapa mal, yang kalau kita telusuri jejak kepemilikannya, ya yang punya pengusaha rokok juga,” kata Margianta.   

Isu lain adalah industri rokok yang terus mengubah dan memperbaiki produk mereka, salah satunya lewat rokok elektronik. Di beberapa negara rokok ini sudah diproduksi disertai pernyataan bahwa produk ini akan menjadi solusi dari kecanduan rokok. Namun para ahli medis mengatakan bahwa hal ini hanya akan mengalihkan satu kecanduan ke kecanduan yang lain, terutama untuk rokok elektrik yang mengandung nikotin.

Hal ini perlu menjadi perhatian masyarakat, bahwa aktivitas industry rokoklah yang menyuburkan jumlah perokok dan melemahkan generasi muda Indonesia di masa depan.

“Indonesia memiliki visi di tahun 2040, bahwa mereka akan mendapatkan bonus demografi dengan angka masyarakat usia produktif yang tinggi, namun jika isu regulasi tembakau tidak ditangani secara serius, visi Indonesia emas, ya hanya menjadi angan-angan saja,” tutur Margianta.

Untuk mendorong pemerintah agar segera mengambil tindakan yang konkret dalam meregulasi pengendalian tembakau, Gerakan Muda FCTC dan JP3T telah melakukan berbagai macam advokasi skala nasional dan internasional.

Gerakan Muda FCTC lebih banyak melakukan advokasi dalam lingkup anak muda, dengan salah satu pencapaian pada 2016, di mana mereka berhasil membuat Presiden Joko Widodo memanggil menteri-menteri untuk mengadakan rapat terbatas terkait FCTC. Di lingkup daerah, Gerakan Muda FCTC juga ikut membantu terbentuknya Peraturan Walikota terkait regulasi pengendalian tembakau di Kota Padang.

“Yang paling baru di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Bupati Banggai  berkomitmen untuk ikut meregulasi pengendalian tembakau di daerahnya, mau melarang iklan rokok, sampai bikin tim khusus. Jadi, ini juga didorong oleh perwakilan anak muda yang pernah kami latih sebelumnya,” ujar Margianta.

Dari organisasi JP3T, Gatari mengatakan fokus advokasi mereka lebih banyak kepada kelompok ibu-ibu dan perempuan muda. Salah satu inisiatifnya adalah membuat sebuah komunitas akar rumput bernama Emak-Emak Geruduk Kementerian.

“Mereka kita ajak ke Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak untuk mengadvokasi isu ini. intinya kami ingin mereka bisa berani untuk berbicara mengenai isu ini, dengan cara kita sosialisasikan ke mereka bahaya rokok itu seperti apa dan memberitahu bahwa, mereka adalah target pasar industri rokok juga,” ujarnya.

Selain itu, JP3T baru-baru ini juga membuat inisiatif Puan Muda yang terdiri dari perempuan-perempuan muda usia 17 hingga 23 tahun yang bersinergi untuk menolak menjadi target industri rokok.

“Di Hari Perempuan Internasional tanggal 8 Maret, Puan Muda diundang ke Istana Presiden, dan kami berbicara kepada Presiden untuk menaikkan harga rokok, agar tidak terjangkau oleh anak-anak dan uangnya dapat digunakan untuk kebutuhan lain,” ujarnya.   

Artikel ini merupakan hasil kerja sama Magdalene dan komunitas Generasi Anti Rokok.

Elma Adisya adalah reporter Magdalene, lebih sering dipanggil Elam dan Kentang. Hobi baca tulis fanfiction dan mendengarkan musik  genre surf rock.