Sudah beberapa hari ini putra saya yang baru menginjak usia satu tahun mengalami demam nyaris 40 derajat Celcius. Sebagai ibu baru, rasa panik tidak terhindarkan meskipun saya telah membaca berulang kali anjuran agar tetap tenang bila anak demam, dan menunggu sampai hari ketiga. Baru 48 jam sejak demam, kepanikan mendorong saya memeriksakan putra saya ke dokter, apalagi sekarang masih dalam masa pandemi.
Pada saat-saat seperti ini, rasa bersalah menjadi kawan dekat saya. Misalnya, setelah membahas soal demam putra saya dan konseling dengan dokter anak seputar pemberian makanan, saya diberi pesan, “Ibu banyak baca lagi, ya”. Ini dikatakannya setelah saya ternyata salah karena masih memberikan bubur atau nasi superlembek dengan lauk dicacah, padahal dia seharusnya sudah bisa menyantap makanan yang sama dengan orang dewasa. Kata sang dokter, pemberian tekstur makanan keliru bisa memengaruhi kemampuan anak untuk mulai berbicara.
Dokter itu berkata dengan nada netral, malah suportif sebenarnya. Tetapi saat itu di telinga saya, rasanya bak petir di tengah hari bolong. Adalah hal memalukan menurut saya, jika seorang penulis yang seyogianya sering membaca, seorang ibu yang sedang mendampingi anak bertumbuh kembang, diberi pesan demikian.
Saya ingat semasa hamil, saya lebih rajin membaca buku soal pengasuhan, artikel soal tumbuh kembang janin dan proses melahirkan, menyusui, dan bertanya kepada macam-macam ibu senior. Ucapan dokter tadi mengingatkan saya bahwa sudah cukup lama saya berjalan di tempat, atau bahkan mundur, dalam hal mencari pengetahuan soal pengasuhan anak. Saya kurang menggali lagi hal-hal seputar tumbuh kembang anak.
Kali lain rasa bersalah berkunjung ketika saya baru saja berteriak-teriak kepada pasangan karena panik, burn-out, atau monster depresi saya sedang bangun cukup lama, dan putra kami ada di dekat kami. Tidak hanya kepada pasangan tentunya, rasa bersalah itu juga muncul karena memperlihatkan sisi diri saya yang seburuk-buruknya kepada anak. Dari banyak referensi, saya sadar bahwa kondisi ibu yang seperti saya ini akan sangat berdampak pada tumbuh kembang dan sisi psikis anak, terlebih pada masa emas 1.000 hari pertama kehidupan dan sampai balita.
Baca juga: Matrescence: Apa yang Saya Pelajari Saat Bertransisi Jadi Ibu
Sebenarnya sejak pertama hamil pun, saya masih menimbang-nimbang, tidakkah saya bersalah melahirkan anak sementara saya tahu, saya “cacat” dengan depresi yang masih mengungkung saya? Saya akhirnya memutuskan menambah kehadiran manusia baru dalam hidup saya yang sangat mungkin merasakan efek negatif ketika saya kelepasan menahan gejala-gejala penyakit itu. Paling nyata adalah ketika saya merasa kesulitan betul untuk menyusui anak di tengah kondisi stres, lelah, dan minim support system, hanya ada pasangan saya pada empat bulan pertama pascamelahirkan.
Di tengah pengagungan ASI, terjeblos dalam lingkaran setan rasa bersalah pun tidak terhindarkan saat saya akhirnya memberikan susu formula saja kepada putra saya sejak bulan kelima. Saya percaya bahwa ibu yang memberikan ASI sama baiknya dengan ibu (dengan segala kondisi yang melatarinya) yang memberikan susu formula. Tetapi tak pelak, waktu putra saya mulai sering sakit, muncul satu dua kali di kepala saya, “Apa ini karena saya gagal memberikan ASI eksklusif, ya?”
Lagi-lagi, saya sudah sering mendengar tidak ada ibu atau orang tua yang sempurna, dan bahwa depresi prenatal dan pascamelahirkan itu juga jamak. Tetapi, masih saja ada momen-momen ketika saya susah sekali memberi pemakluman dan pemaafan pada diri, malah bergumul dengan rasa bersalah tadi.
Dengan kaki bak dirantai saya berproses menjadi ibu, terutama dalam menghadapi rasa bersalah ini. Lambat dan susah, tetapi setidaknya ada beberapa hal yang telah saya pelajari dalam proses ini.
Kita cuma punya kendali atas diri sendiri
Menjalani sejumlah sesi dengan psikolog membantu saya untuk menghadapi rasa bersalah saat menjadi ibu. Ketika penyesalan dan rasa bersalah itu mulai hinggap, kini saya membaca “mantra” yang saya dapat dari psikolog dulu: Kita tidak dapat mengontrol apa pun di luar diri kita. Mengakui hal ini dan menghayatinya setiap kali kita gagal atau membuat kesalahan akan sangat jauh meringankan beban di benak kita.
Apa pun yang terjadi selama kita menjadi ibu, entah anak bertingkah tidak sesuai harapan, pasangan mengecewakan, banyak kejadian tidak terduga yang menguras isi dompet, keluarga yang tidak berhenti mengkritik, kita hanya bisa mengontrol tindakan, ucapan, serta bagaimana kita berpikir terhadapnya.
Ketika hal berjalan di luar rencana atau harapan kita, saya belajar (dengan susah payah) untuk melepaskannya pelan-pelan. Toh dunia juga tidak berhenti bila suatu hal berjalan dengan cara yang berbeda dari pikiran kita, kan? Hanya kita saja yang perlu beradaptasi menghadapinya.
Baca juga: Ibu Selalu (Tidak) Sempurna, Sama Seperti Ayah
It’s not always about you
Sewaktu putra saya mengeluarkan “gerakan tutup mulut” (GTM) alias menolak makanan yang saya masak atau melepehnya, sesekali saya menjadi baper. Saya pikir, makanan saya tidak enak, saya kurang kreatif memasak, dan sebagainya. Lalu, pasangan saya bilang, “Ya memang lagi fasenya aja kali, atau lagi enggak enak badan.”
Sering kali, kita berpikir kitalah sumber segala “bencana” di rumah waktu satu hal simpel saja terjadi di luar harapan. Kata-kata pasangan saya jadi semacam bunyi gong nyaring yang mengingatkan, “Hei, pengasuhan ini bukan tentang kamu doang”. Lebih penting bagi para orang tua untuk melihat macam-macam faktor di luar dirinya mengapa suatu hal gagal dilakukan kepada atau oleh anak. Akan lebih enak bila anak sudah bisa berbicara dan menyatakan keluhannya ketika kita menerapkan suatu pola asuh. Tetapi dalam kasus saya tadi, yang bisa saya lakukan hanya latihan membuat what if-what if yang lebih positif dalam artian tidak menyalahkan diri melulu.
Rasa bersalah adalah godaan
Saat kita sedang merasa gagal dan bersalah, rasanya dunia runtuh seketika dan butuh waktu lama sekali untuk membangunnya kembali. Ngambek, merasa malas melakukan hal yang biasa, dan hilang motivasi untuk mencoba cara-cara baru dalam mengasuh anak biasanya menjadi satu paket dengan rasa bersalah ini. Satu lagi tak ketinggalan, overgeneralisasi bahwa tiap hal yang kita kerjakan itu buruk, tidak mampu memuaskan atau menyenangkan anak, kita adalah ibu yang gagal.
Dibanding melihatnya hanya sebagai suatu keadaan yang muncul serta merta setelah melakukan kekeliruan dan mewajarkannya, saya belajar melihat rasa bersalah pada ibu juga sebagai suatu godaan. Akan lebih gampang rasanya berlama-lama berkubang dengan perasaan down dan tidak termotivasi saat sesuatu berjalan di luar ekspektasi dibandingkan lekas “cuci muka” dan cari solusi.
Seperti halnya peran-peran lain, peran ibu punya semacam standardisasi tersendiri di tiap konteks masyarakat. Mulai dari bagaimana cara menyusui, memberi makan, mengajari jalan atau bicara, menghadapi penyakit, menyekolahkan, perihal gadget, sampai cara berinteraksi dengan anak pun ada semacam panduannya yang bervariasi. Jika kita salah melakukan satu hal saat berperan sebagai ibu, sekelompok ibu lain di dunia offline dan rombongan warganet pun siaga menghakimi dan menghujat kita dengan standarnya masing-masing. Rasanya, pengadilan dan derita dibui lama-lama bisa dibalap oleh penghakiman berjubah “momshaming” pada masa kini.
Baca juga: Masuki ‘New Normal’, Siapa yang Temani Anak Belajar Virtual?
Belum lagi jika kita bekerja di luar rumah. Ada saja hal-hal yang membuat kita merasa bersalah: Tidak melihat perkembangan dan pencapaian anaklah, susah sepenuhnya fokus memperhatikan anak karena ada tuntutan kerjalah, kurang waktu berinteraksi dengan anak dan pasanganlah, dan masih banyak lainnya.
Sebagian besar dari penyebab rasa bersalah ini adalah ekspektasi masyarakat (yang masih sering mengharapkan perempuan lebih banyak mengurus rumah dan mengerti soal anak daripada berkarier) yang pada akhirnya mendarah daging dalam diri banyak perempuan.
Sepertinya kita perlu melakukan definisi ulang hal-hal yang kita anggap terbaik. Kita pun perlu mendefinisikan kembali “yang maksimal atau cukup” dalam takaran pribadi. Jika dulu saya menganggap performa terbaik itu bisa menuntaskan 10 hal secara optimal dalam sehari, sekarang saya belajar untuk mengurangi takaran yang terbaik itu setelah menjadi ibu dan istri. Bila dulu merasa yang terbaik adalah semua hal yang dihasilkan dari kerja sendiri tanpa intervensi orang lain, sekarang saya tidak mau tergiur untuk terus menerapkannya sekarang kalau tidak mau meledak di kemudian hari.
Barangkali, yang terbaik itu kalau kita telah memberi dan menerima yang cukup. Tak perlu muluk mengharap yang pernah kita dapatkan atau alami dulu. Kecukupan adalah kemewahan bagi seorang ibu, apalagi ibu baru.
Yang terakhir, saya belajar bahwa memenuhi kebutuhan sendiri dan keluarga bisa dijalankan sekaligus dengan menciptakan ritme tertentu. Pikiran bahwa ibu baru baiknya habis-habisan berkorban demi kebutuhan anak dan pasangannya itu sudah mesti dimuseumkan. Yang butuh diterapkan adalah kita menyediakan ruang dan waktu bagi diri sendiri, sedapat mungkin terencana, dan selebihnya untuk keluarga kita.
Dalam hal ruang dan waktu, ini berarti pula ruang untuk mengaktualisasikan diri. Dulu saya berpikir, apa saya salah ya, tidak mendedikasikan lebih banyak waktu dengan anak saya selama dua tahun pertama? Tapi saya sadar, kalaupun saya menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya, saya sendiri yang jadinya tidak “penuh”. Saya akan selalu merindukan saat-saat berdiskusi dengan kolega dan berbicara dengan narasumber, menulis secara rutin, dan berhadapan dengan deadline. Selama rindu itu tidak terbayarkan, saya tidak yakin saya bisa lebih optimal mengasuh anak.
Comments