Aku adalah bunglon. Seperti hewan aslinya yang bisa menyesuaikan diri pada tempat yang ia singgahi hingga bisa mengelabui musuh atau mangsanya, aku pun tak jauh berbeda. Aku sangat lihai berkamuflase di tempat-tempat tertentu. Jadi jangan heran jika kamu tak sengaja bertemu denganku di tempat berbeda, aku pasti memiliki penampilan serta pembawaan yang berbeda pula.
Versiku yang lebih bebas dan lebih percaya diri hanya bisa dilihat dalam suatu tempat yang aku anggap rumah sesungguhnya. Tempat ini berisi orang-orang yang aku percaya. Mereka adalah orang yang tak akan pernah menghakimiku dan memaksakan egonya. Menerima dan mencintai diriku apa adanya karena mereka tau, setiap manusia itu memang berbeda.
Sebaliknya, versi diriku yang lebih tertutup dan membatasi diri hanya bisa dilihat dalam tempat yang secara definisi memang rumah, diisi oleh orang-orang yang sedarah, tetapi sayangnya belum bisa menerima diriku apa adanya. Mereka masih jadi orang yang memaksakan apa yang mereka mau, apa yang mereka anggap benar kepadaku.
Kategorisasi tempat ini memudahkanku berkamuflase. Kamuflase yang sengaja kulakukan sebagai satu-satunya cara bertahan hidup tanpa harus banyak melalui konflik besar berkepanjangan. Konflik yang timbul karena dunia kesulitan memahami perbedaan.
Sebagai bunglon, kamuflase sempat aku lakukan di hari pertama konferensi internasional Kongres Ulama Perempuan Indonesia II yang diselenggarakan di UIN Walisongo, Semarang. Jujur saja, kata Ulama Perempuan dalam kongres ini membuat nyaliku cukup ciut.
Dalam benakku ruang perjumpaan ini mungkin akan berisi tokoh-tokoh agama yang cukup konservatif. Tokoh-tokoh yang dalam hidupku mengajarkan agama hanya lewat rasa takut dan perintah saja. Pemikiran inilah yang membuatku memutuskan berkamuflase. Berbekal blazer batik dan rok panjang serta stoking hitam dan pasmina yang disampirkan di atas kepala, aku berangkat ke konferensi Internasional.
Ini semua kupakai karena aku takut terlihat berbeda dan dihakimi. Ini adalah caraku berkamuflase.
Baca Juga: KUPI 2 Diadakan: Ulama Perempuan Internasional Berkumpul di Semarang dan Jepara
Tempat yang Tak Memusingkan Cara Perempuan Berbusana
Pukul 07:25 pagi, aku sudah tiba di auditorium UIN Walisongo Semarang. Tapi, langsung dilanda rasa cemas hebat. Rasanya, seperti sedang salah tempat. Sepanjang mataku memandang area auditorium, yang terlihat hanya ratusan perempuan dengan jilbabnya. Entah itu jilbab syar’i atau jilbab khas anak muda yang ujungnya disampirkan di daerah leher mereka.
Aku lantas semakin mengeratkan pasminaku, berusaha menutupi rambut dan leherku. Tetapi selang 20 menit, seorang perempuan berjilbab yang ternyata adalah panitia dari acara ini menghampiriku dan berkata.
“Mbak, enggak usah pake itu (pasmina). Di lepas aja enggak apa-apa, di sini enggak apa-apa kok.”
Ucapannya sontak membuatku kaget dan lega bukan main. Apalagi tak beberapa lama dari kejadian ini, perempuan dari berbagai daerah bahkan luar Indonesia mulai berdatangan. Mereka datang dengan penampilan begitu beragam.
Ada yang memakai niqab, turban, pasmina yang hanya disampirkan di atas kepala tapi masih memperlihatkan rambut dan leher, dan ada pula yang tak memakai penutup kepala sama sekali. Hal yang bahkan cukup mengejutkan, tak sedikit narasumber utama di berbagai halaqah atau pertemuan tak berjilbab sama sekali. Salah satunya adalah Profesor Fatima Seedat.
Ia adalah kepala departemen African Feminist Studies di Universitas Cape Town dan pendiri Shura Yabafazi, kelompok individu yang berkomitmen untuk mempromosikan kesetaraan gender substantif bagi perempuan.
Posisinya ini tentu membuatnya jadi tokoh penting, sehingga ia tak hanya jadi narasumber penting dalam pleno utama, tetapi juga hadir sebagai narasumber bersama tokoh lainnya, seperti Nyai Badriyah Fayumi dan Ruby Kholifah.
Kehadiran Muslim seperti dirinya di KUPI adalah angin segar buatku pribadi, sekaligus membuatku merasa berada di rumah yang sudah lama aku dambakan sejak sekian lama. Aku lahir dan tumbuh besar di keluarga yang cukup konservatif. Sedari kecil aku sudah dibekali dengan berbagai ilmu agama.
Sedari TK aku sudah dimasukkan ke dalam Taman Pendidikan Al-Qur'an (TPA). Lalu, dari Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA), aku belajar di sekolah Islam yang jelas punya bobot pelajaran agama lebih banyak dari sekolah negeri dan mewajibkan tiap anak perempuan memakai jilbab.
Cara kedua orang tuaku mendidikku sedari kecil ini tentu tak terlepas dari harapan mereka bahwa mereka ingin anak perempuan jadi perempuan solehah. Taat beragama sesuai dengan koridor-koridor yang mereka amini bersama. Dan jika aku melenceng dari koridor-koridor ini, mereka akan menceramahiku tujuh hari tujuh malam.
Berkata aku telah mengecewakan mereka karena telah beragama sesuka hatiku saja tanpa paham esensi dan segala kewajibannya. Padahal jika saja mereka mau membuka mata, tafsir soal batasan aurat saja misalnya ternyata tak pernah tunggal. Para ulama memahami batasan-batasan aurat dengan ketentuan yang berbeda-beda.
Kiai Husein Muhammad bahkan pada 2020 saat membahas bukunya Jilbab & Aurat dalam Wamimma TV, kanal YouTube milik K.H. Buya Syakur Yasin mengatakan bahkan tak ada satu pun ayat Al-Quran yang mencantumkan kata aurat. Sebaliknya perlu, dipahami secara lebih detail bahwa kata dalam Al-Qur’an bukan aurat, tapi zina (perhiasan).
Karena itu, berada dalam ruang perjumpaan besar para ulama perempuan dengan ribuan peserta bahkan para santrinya membuatku ingin menangis sejadi-jadinya. Aku tak pernah diterima sebegini hebatnya oleh banyak orang di sebuah perhelatan serius berlatar agama.
Selama empat hari perhelatannya, KUPI jadi tempat aman buatku. Tempat ini menawarkan kehangatan yang tak pernah aku dapatkan di rumahku sendiri. Caraku memaknai agama dihargai secara setara tanpa penghakiman sama sekali. Aku bahkan sempat bertemu seorang ibu dengan jilbab dan gamis panjang dalam focus group discussion yang memujiku cantik dan rambut keritingku yang berwarna rose gold.
Penghargaan terhadap pilihanku ini tentu memberikan hasil yang konkret. Setiap pertemuan dan perbincangan antar manusia di perhelatan ini selalu didasari rasa hormat dan cinta kasih. Bukan didasari oleh egoisme, penghakiman, dan kebencian.
Sehingga, tidak mengherankan, daripada sibuk membahas bagaimana cara berjilbab yang benar, di sini semua orang lebih fokus berbincang soal substansi. Fokus membicarakan hal yang lebih penting seperti pemenuhan hak-hak perempuan. Perempuan yang disebut Nyai Nur Rofiah sebagai makhluk yang memiliki intelektual dan spiritual yang punya derajat yang sama di mata Allah SWT.
Baca Juga: Diskusi KUPI 2: PRT juga Manusia, Islam Larang Kita Semena-mena
Pengalaman dan Pengetahuan Perempuan Jadi Landasan Utama
Tak hanya berhasil membuatku menemukan rumah baru. KUPI bisa dibilang sangat berjasa dalam mengembalikan kembali rasa percaya pada agamaku sendiri yang mulai luntur. Buat seseorang yang tumbuh besar di lingkungan sekolah Islam dengan keluarga yang cukup konservatif, tentu satu-satunya sumber agama yang aku dapatkan adalah dari ulama laki-laki.
Semua ilmu fiqh yang aku pelajari semua bersumber pada ulama laki-laki. Bahkan untuk hal-hal mendasar yang hanya dialami perempuan seperti haid, nifas, dan melahirkan. Ulama perempuan tak pernah mendapat tempat sama sekali dalam kajian-kajian keagamaan di sekolah atau luar sekolah.
Bahkan ustadzah yang di dalamnya budeku sendiri—atau guru agama perempuanku—selalu menyampaikan dakwahnya lewat narasi-narasi ulama laki-laki. Mereka selalu mengacu pada ilmu fiqh, tafsir Al-Quran, dan hadits dari ulama laki-laki.
Tidak mengherankan kemudian, ilmu agama yang aku pelajari pun hampir selalu bias gender atau tak punya keberpihakan pada perempuan. Misalnya saja, bagaimana sunat atau khitan perempuan masih kerap dilakukan karena dianggap sebagai sunnah walau dalam prosesnya menimbulkan trauma pada perempuan atau membahayakan kesehatan reproduksi mereka.
Begitu pula dengan kasus pemerkosaan yang mengakibatkan Kehamilan Tidak Direncanakan (KTD). Perempuan jadi satu-satunya pihak yang harus berkorban. Mereka dinikahkan dengan pelaku dan harus melanjutkan kehamilannya karena aborsi secara umum dipandang tindakan yang dilarang agama.
Hal ini tentu buatku jadi bertanya-tanya tentang agamaku sendiri. Apakah benar agama Islam itu rahmatan lil alamin? Apakah benar agama Islam memosisikan perempuan sebagai manusia mulia? Kalau memang iya, tetapi kenapa semakin lama semakin aku lihat agama ini justru mendiskriminasi perempuan. Kerap kali membahayakan nyawa dan kesehatan jiwa mereka.
Di sinilah kemudian KUPI hadir. Dalam perhelatannya, ada lima isu utama yang berusaha dibahas. Tiga diantara lainnya sangat berhubungan dengan diskriminasi dan peminggiran perempuan, yaitu perlindungan perempuan dari bahaya pemaksaan perkawinan, perlindungan jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat perkosaan, dan perlindungan perempuan dari bahaya tindak pemotongan dan pelukaan genetalia perempuan (P2GP).
Isu yang begitu khas dialami oleh perempuan inilah dikuliti melalui tiga pendekatan KUPI, mubadalah (kesalingan), ma’ruf (kebaikan/kebajikan), dan pendekatan keadilan hakiki perempuan. Ketiga pendekatan ini tentu menghadirkan diskusi dan sikap keagamaan yang lebih adil gender. Pengalaman dan pengetahuan perempuan yang telah lama dikubur di dalam paradigma keilmuan Islam kembali diangkat dan justru dijadikan landasan utama.
Setiap perempuan didorong untuk lebih aktif bersuara mengemukakan pengalaman, opini, dan pengetahuan mereka yang tentu berbeda satu sama lain. Mereka dianggap setara dan layak didengarkan pendapat, pengalaman, serta pengetahuannya. Pada gilirannya ini berdampak pada peleburan batas status sosial. Tak lain karena semua orang yang hadir dianggap sebagai pejuang kemanusian yang meyakini agama hadir dalam nafas kesetaraan.
Baca juga: From Mothers to Bombers: Women's Role in Religious Radicalism
Hal ini terlihat sekali dalam berbagai halaqah yang aku hadiri. Begitu pun saat pra musyawarah dan musyawarah keagamaan. Dalam pra musyawarah dan musyawarah keagamaan perlindungan perempuan dari bahaya P2GP yang aku hadiri misalnya, para narasumber yang terdiri dari para Nyai dan komisioner Komnas Perempuan tidak mendominasi ruang diskusi. Sebaliknya, hampir 90 persen waktu digunakan untuk sharing pengalaman dan pengetahuan peserta yang didominasi oleh perempuan.
Di sana aku mendengar langsung bagaimana para penyintas dari praktik P2GP dengan berani berbagi pengalaman mereka. Trauma dan kegundahan mereka menyeruak begitu kuat dalam musyawarah itu, memantik berbagai peserta yang terdiri dari akademisi dan perempuan di gerakan akar rumput juga tak sabar berbagi pengetahuan dan pendapat mereka.
Inilah yang kemudian jadi bekal berharga bagi para Nyai dan Kiai dalam merumuskan lima fatwa. Fatwa yang pada gilirannya bersifat membebaskan karena punya keberpihakan kuat pada perempuan dan tak meliyankan mereka lagi. Fatwa yang juga akhirnya juga dibarengi dengan rekomendasi aksi, bukan hanya sebatas kata-kata di atas kertas yang tak punya daya untuk ciptakan perubahan bagi perempuan.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
Comments