Dalam tiga tahun terakhir, terjadi serangan bertubi-tubi terhadap feminisme dan feminis di Indonesia. Puncaknya adalah pada Mei-Juni 2020, ketika dua media alternatif yang gencar menyuarakan hak-hak perempuan dan kelompok minoritas, yakni Madgalene.co dan Konde.co, mengalami serangan digital yang disebut Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta sebagai upaya untuk memberangus kemerdekaan pers dan menghalangi peran pers mempromosikan nilai hak-hak asasi manusia dan keberagaman.
Awalnya, saya mencoba untuk mengabaikan apa pun label negatif yang diberikan kepada kami yang menyebut diri feminis. Terutama ketika kelompok anti-feminis semakin aktif membungkam kami. Tulang punggung kelompok ini adalah mereka yang mendapatkan privilese dari perjuangan Feminis Gelombang Pertama yang menuntut kesetaraan pendidikan perempuan. Tanpa Feminis Gelombang Pertama yang memperjuangkan kesetaraan dalam mendapatkan akses ke pendidikan, mereka mungkin harus berasal dari keturunan seorang sultan jika bukan priayi dan kelas pedagang kaya raya untuk dapat mengecap bangku pendidikan.
Namun, privilese yang dimilikinya dengan level pendidikan yang tinggi dan posisi struktural strategis di institusi tertentu (perguruan tinggi, kementerian/lembaga, dan sebagainya) justru digunakan untuk mendomestikasi perempuan: membatasi akses, partisipasi dan kontrol perempuan terhadap ruang publik.
Saya mencoba “berdamai” dengan situasi di luar sana dengan lebih banyak membaca literatur feminis. Di awal Maret 2020, saya membaca tiga buku. Namun, selesai membaca ketiganya, saya semakin marah. Karena tidak satu pun cerita dari buku-buku tersebut relevan dengan perjalanan saya menjadi feminis.
Saya menjadi feminis bukan karena perkenalan saya dengan Barat. Anggapan ini sungguh keliru karena dalam Seratus Tahun Feminisme di Indonesia: Analisis terhadap Para Aktor, Debat, dan Strategi yang ditulis oleh Gadis Arivia dan Nur Iman Subono, kebangkitan feminisme di Indonesia sudah dimulai lebih dari satu abad yang lalu! Tepatnya sejak 1912 dengan berdirinya Putri Mardika sebagai organisasi perempuan pertama yang bergaris nasionalis.
Kekesalan yang muncul karena saya tidak bisa terhubung dengan tulisan-tulisan itu, yang membuat saya berefleksi mengenai dua hal. Pertama, terhadap perjalanan saya menjadi feminis. Proses saya menjadi feminis dimulai sejak berusia 14 tahun dengan mengamati relasi orang tua. Bagaimana mereka sering bertengkar soal kondisi finansial karena Mama sangat bergantung kepada Papa. Saat itu, saya sering mengeluh berbisik di dalam hati, “Seandainya Mama bekerja di luar rumah dan memiliki penghasilan...”
Proses belajar feminisme berikutnya terjadi secara kasual ketika saya menjadi siswi program pertukaran pelajar AFS Intercultural Program ke Swiss. Ibu angkat saya, yang saya panggil Mami, adalah seorang terapis alternatif, dan sempat berkarier di bidang politik dalam salah satu partai di Swiss sebelum memilih berhenti ketika dia merasa saatnya regenerasi. Mami adalah seorang feminis. Saya melihat sendiri bagaimana pengasuhan kelima anaknya dikelola bersama-sama dengan Papa, ayah angkat saya.
Mami hanya bersedia mencuci baju untuk keluarga dan anak-anaknya seminggu sekali. Namun setiap anak, perempuan dan laki-laki, harus menyetrika sendiri pakaian-pakaian yang sudah dicuci dengan mesin tersebut. Selain itu, Mami menggilir secara adil kewajiban-kewajiban melakukan pekerjaan rumah, seperti mencuci piring kotor, memasak makan malam; serta membawa anjing kami jalan-jalan.
Baca juga: Siapakah yang Pantas Disebut Feminis?
Proses saya belajar feminisme yang terstruktur baru terjadi di 2006, setelah lulus kuliah dan memiliki uang untuk memenuhi hal-hal yang dulunya tidak terjangkau. Saya belajar mengenai bentuk-bentuk ketidakadilan gender yaitu marginalisasi, subordinasi, pelabelan negatif, beban ganda dan kekerasan terhadap perempuan.
Feminisme muncul dari keyakinan pada prinsip bahwa hak, privilese, status dan kewajiban seharusnya tidak dibedakan berdasarkan jenis kelamin. Gender menjadi alat analisis yang penting untuk menggugat konstruksi sosial tentang peran perempuan dan laki-laki yang dianggap ajek dan tidak bisa dipertukarkan.
Saya juga belajar mengenai analisis gender untuk mengidentifikasi dan memahami pola pembagian kerja dan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki, ketimpangan dalam pola relasi keduanya, serta dampak yang berbeda dari kegiatan pembangunan terhadap perempuan dan laki-laki.
Baca juga: Apa yang Perlu Diketahui tentang Dasar-Dasar Feminisme
Belajar Feminisme Sebuah Laku Sunyi Lewat Literatur
Sejak 2006, belajar feminisme menjadi laku sunyi untuk saya, utamanya dengan membaca literatur-literatur tentang gender dan feminisme. Hal ini membuat saya ingin berefleksi terhadap model pembelajaran sendiri, yang terkadang menimbulkan kekesalan di beberapa kesempatan, karena sesekali bertemu dengan bacaan yang buruk. Sering saya bergumam, seandainya saja ada kurikulum untuk belajar feminisme secara mandiri!
Bagaimanapun, bacaan-bacaan baik cukup banyak. Saya mengamati bahwa beberapa penerbit bahkan secara masif menerjemahkan karya-karya Julia Kristeva, Virginia Woolf, Naomi Wolf, Chimamanda Ngozi Adichie, serta beberapa tokoh feminis lain ke bahasa Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir.
Muncul keinginan untuk menuliskan rekomendasi bacaan sebagai upaya berbagi informasi dan mendorong calon-calon feminis di luar sana kepada proses belajar yang bisa dikelola sendiri, sebelum memantapkan diri untuk mencari mentor atau bergabung dengan organisasi perempuan.
Selain itu, saya juga berharap agar rekomendasi bacaan ini bisa menghindari kita semua yang sedang belajar feminisme dari information laundering (informasi yang bersifat permukaan dari sumber-sumber tidak terpercaya).
Ada banyak buku yang belum saya baca, sehingga tidak munculnya mereka dalam rekomendasi ini bukan berarti karena buku-buku tersebut bukan bacaan yang baik. Namun, saya bisa menjamin satu hal, yakni bahwa buku-buku berikut adalah sedikit dari sangat banyak buku tentang feminisme yang bisa menyuplai pembacanya dengan pengetahuan soal gender.
Harap diingat bahwa pengetahuan gender penting untuk menyeimbangkan informasi dari media massa yang sangat kuat dan berkuasa dalam menyebarkan bias dan pandangan yang diskriminatif tentang perempuan.
Baca juga: Menjadi Feminis yang Tak Sempurna
Berikut daftar rekomendasi bacaannya:
- A Brief History of Misogyny: The World’s Oldest Prejudice (Jack Holland, 2006)
- Ada Serigala Betina dalam Diri Setiap Perempuan: Psikologi Feminis untuk Meretas Patriarki (Ester Lianawati, 2020)
- Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Mansour Fakih, 1996)
- Do It Like A Woman...and Change the World (Caroline Criado-Perez, 2015)
- Feminisme: Sebuah Kata Hati (Gadis Arivia, 2006)
- Feminist Fight Club: A Survival Manual for a Sexist Workplace (Jessica Bennett, 2016)
- Feminists Don’t Wear Pink and Other Lies: Amazing Women on What the F-Word Means to Them (Scarlett Curtis, 2018)
- Good and Mad: The Revolutionary Power of Women’s Anger (Rebecca Traister, 2018)
- Good Boy Doing Feminism: Maskulinitas dan Masa Depan Laki-laki Baru (Nur Hasyim, 2020)
- Here We Are: Feminism for the Real World (Kelly Jensen (ed.), 2017)
- Ibuisme Negara: Konstruksi Sosial Keperempuanan Orde Baru (Julia Suryakusuma, 2011)
- Introducing Feminism (Susan Alice Watkins, Marisa Rueda and Martha Rodriguez, 1999). Untuk versi Bahasa Indonesia lihat Feminisme untuk Pemula (2007)
- Invisible Women: Data Bias in A World Designed for Men (Caroline Criado-Perez, 2019)
- Jihad Julia: Pemikiran Kritis dan Jenaka Feminis Pertama di Indonesia (Julia Suryakusuma, 2010)
- Keep Marching: How Every Woman Can Take Action and Change Our World (Kristin Rowe-Finkbeiner, 2018)
- Bukan Perawan Maria (Feby Indirani, 2017)
- Period Power: A Manifesto for the Menstrual Movement (Nadya Okamoto, 2018)
- Sambal dan Ranjang (Tenni Purwanti, 2020)
- Santeut: Kumpulan Khotbah Jender Pelajar Aceh (Mifta Sugesty dkk., 2007)
- Si Parasit Lajang (Ayu Utami, 2003)
- The Feminine Mystique (50th Anniversary Edition) (Betty Friedan, 2013)
- The Feminist Promise: 1792 to Present (Christine Stansell, 2011)
- The Moment of Lift: How Empowering Women Changes the World (Melinda Gates, 2019)
- The War Against Women (Marilyn French, 1992)
- We Should All Be Feminists (Chimamanda Ngozi Adichie, 2014). Untuk versi Bahasa Indonesia lihat A Feminist Manifesto: Kita Semua Harus Menjadi Feminis (Yogyakarta: Odyssee, 2019)
- Women Ways of Knowing: The Development of Self, Voice and Mind, 10th Anniversary Edition (Mary Field Belenky, Blythe McVicker Clinchy, Nancy Rule Goldberger, Jill Mattuck Tarule, 2008
- Women, Sex, Power and How to Stop Letting the System Screw Us All (Jaclyn Friedman, 2017)
- Wonder Women: Sex, Power, and The Quest for Perfection (Debora L. Spar, 2013)
Saya berbagi daftar bacaan ini untuk mengumpulkan kekuatan dari teman-teman yang mungkin memiliki kegelisahan serupa. Mari bergabung dalam barisan pejuang kesetaraan dan keadilan gender agar suara kita bergema lebih kencang. Agar kekuatan kita untuk mengadvokasi perubahan menjadi lebih strategis. Menuntut kesetaraan gender dalam hak dan kesempatan tidak lah melanggar HAM.
Last but not least, ingatlah bahwa elemen paling bengis dalam masyarakat adalah ketidaktahuan. Dan membaca bisa sangat merusak ketidaktahuan Anda!
Comments