Dibesarkan sebagai anak perempuan dalam keluarga Sumatera yang konservatif, saya tumbuh besar dengan pemikiran bahwa perempuan itu ya di rumah saja. Saya juga selalu diajarkan untuk menjadi seorang perempuan baik-baik dan harus secepatnya menikah di umur 20-an.
Pengajaran keluarga yang demikian membuat saya melihat dunia dengan pandangan yang sangat hitam-putih. Namun, pandangan tersebut berubah ketika saya mulai membaca berbagai novel dengan tokoh utama seorang perempuan.
Baca Juga: Kesepian dan Isolasi: Musuh dan Tema Utama Karya Sastra Jepang
Semakin banyak membaca, kian banyak perspektif dan cerita perempuan yang jarang sekali saya lihat di televisi .Novel-novel yang saya baca, umumnya ditulis oleh para penulis perempuan dari berbagai negara. Dari novel-novel itu, saya dapat benang merah yang sama bahwa perempuan selalu berada di posisi subordinat.
Perspektif Lain dari Novel Bertema Feminisme
Saya dan perempuan lainnya terbelenggu dalam sistem patriarki yang sangat merugikan selama ini. Beruntung, para penulis perempuan ini membuka percakapan yang sering kali dianggap tabu, meskipun risikonya adalah dicap sebagai pembangkang.
Para penulis perempuan mencari ruang aman untuk bercerita tentang keresahan mereka di tengah masyarakat. Isunya sangat beragam, mulai dari kewajiban perempuan untuk memiliki anak, sulitnya perempuan mengakses pendidikan layak, dan kesehatan mental. Novel-novel ini saya sebut dengan novel feminisme karena menguraikan berbagai ketimpangan tersebut.
Nah, beberapa novel ini merupakan novel feminisme rekomendasi saya, yang dapat menambah wawasanmu akan isu-isu perempuan di seluruh dunia.
Novel Feminisme “Gadis Mini Market”
Beberapa bulan lalu, saya baru selesai membaca novel Gadis Minimarket karya penulis Jepang, Sayaka Murata. Seperti novel Jepang pada umumnya, novel ini terkesan sunyi dan mungkin beberapa orang merasa alur konfliknya datar-datar saja. Namun, bagi saya, novel ini bisa menjadi bahan refleksi untuk kita semua.
Baca Juga: Feminisme 101 dan Rekomendasi Bacaan untuk Belajar
Novel ini mengisahkan tentang kehidupan perempuan berumur 37 tahun, Keiko Furukura yang belasan tahun bekerja sebagai pegawai minimarket. Di umurnya yang sudah terbilang tua menurut masyarakat, ia belum juga menikah, dan tidak berniat untuk melakukannya. Ia menganggap rutinitas dan suasana di minimarket tempatnya bekerja adalah ruang aman baginya.
Murata sang penulis menggambarkan secara apik tentang bagaimana tantangan yang dihadapi Keiko sebagai perempuan lajang dan hanya ingin hidup biasa-biasa saja. Lalu, dituntut harus mengikuti standar masyarakat untuk menjadi perempuan sempurna. Tak hanya itu, ia pun juga mendeskripsikan fenomena kesepian dan isolasi yang dialami masyarakat Jepang secara gamblang.
Novel Karya Leila S Chudori “Nadira”
Ketika membaca novel ini, kamu akan disuguhkan dalam berbagai macam perspektif dan sudut pandang karakter yang berbeda-beda. Kesan pertama saya dengan Nadira adalah bagaimana cara perempuan berdamai dengan duka yang kita alami.
Nadira bercerita tentang hidup seorang perempuan bernama Nadira Suwandi yang baru saja kehilangan ibunya yang mati bunuh diri. Kematian ibunya sangat berdampak besar terhadap segala aspek kehidupan Nadira, dan semua itu dideskripsikan dalam kumpulan cerita pendek.
Novel Nadira menggambarkan isu kesehatan mental, khususnya pada perempuan, yang seringkali diabaikan.
“Pasung Jiwa” Novel Feminisme dari Okky Madasari
Novel feminisme tentu saja tak hanya membicarakan tentang tantangan yang perempuan saja, feminisme pun ada untuk semua identitas gender termasuk transpuan. Interseksionalitas, itulah yang saya tangkap dalam novel karya Okky Madasari Pasung Jiwa.
Baca Juga: ‘Kusama’: Novel Grafis Wajib Baca tentang Perempuan Seniman
Cerita berawal dari kisah Sasana atau Sasa, yang masa remajanya ia habiskan untuk memenuhi keinginan dan ekspektasi kedua orangtuanya. Ia anak berprestasi serta berbakat, tapi dalam hati kecil Sasana merasa terjebak dalam tubuh yang salah dan iri dengan tubuh sang adik perempuan.
Ketika menginjak masa perkuliahan, Sasana menemukan kebebasan yang ia idamkan. Ia pun mulai memberanikan diri mengekspresikan dirinya, memanjangkan rambut, serta memakai riasan. Okky tak hanya menceritakan kisah Sasana, ia juga menyelipkan beragam isu sosial dan ekonomi yang terjadi pada era 90-an.
Novel Karya Nawal El Saadawi “Perempuan di Titik Nol”
Kesan pertama saya ketika pertama kali membaca novel legendaris buatan Nawal El Saadawi ini adalah, marah, marah, dan marah. Tidak ada kata selain marah untuk mendeskripsikan perasaan saya saat membaca cerita Firdaus.
Firdaus hanya seorang perempuan biasa yang tumbuh besar di sebuah desa dengan keadaan ekonomi yang memprihatinkan. Sedari kecil ia sudah mengalami berbagai bentuk kekerasan dari orang-orang terdekatnya. Kekerasan demi kekerasan yang ia alami membawanya pada situasi di mana ia harus menjadi seorang pekerja seks untuk bertahan hidup.
El Sadawi menceritakan kisah ini secara apa adanya, seakan-akan kita diajak langsung melihat langkah Firdaus mencari kebebasan yang ia idamkan sebagai seorang perempuan. Namun, pada akhirnya, kebebasan yang ia terima berbentuk hukuman mati di tiang gantung.
Novel Feminisme Bahas Standar Kecantikan “Breast and Eggs”
Novel tentang feminisme yang saya selanjutnya Breast and Eggs yang bercerita tentang gambaran situasi perempuan di Jepang. Kita diajak untuk melihat perjalanan tiga orang perempuan yang konsisten menentang opresi yang dilakukan oleh masyarakat terhadap mereka.
Tiga perempuan itu bernama, Natsu, Makiko, dan anak perempuan Makiko, Midoriko. Makiko sedang mencari klinik untuk membesarkan payudara yang tarifnya terjangkau. Dalam perjalanannya, ia ditemani oleh Midoriko, yang tak pernah berbicara dengan siapapun padahal ia tidak bisu. Ketidakmampuan midoriko mengutarakan perasaan dan pikirannya, menggambarkan bagaimana ia tengah mengalami tekanan dari proses mendewasa.
Novel yang ditulis oleh Mieko Kawakami ini menggambarkan bagaimana perempuan ditekan untuk menjadi perempuan sempurna dengan standar mustahil masyarakat. Mulai dari standar kecantikan hingga kesuburan, Kawakami secara gamblang menggugat hal-hal tersebut.
Baca juga: Standar Kecantikan dan Bahaya ‘Beauty Filter’ di Kamera Ponsel
Novel Feminisme Bertema Fantasi “The Poppy War”
Novel karya R.F Kuang ini adalah novel fantasi favorit saya. Pasalnya, banyak gambaran berbagai isu sosial di sekitar kita, dan Kuang berhasil membungkusnya secara apik serta menarik.
The Poppy War menceritakan kisah remaja perempuan yatim piatu bernama Rin, yang berasal dari provinsi Ayam berhasil lulus dalam Keju -- ujian negara untuk masuk ke akademi militer-- dengan nilai tertinggi di Provinsinya. Karena latar belakang Rin, pihak penyelenggara ujian tidak mempercayai hasil ujian Rin, dan menganggap nilai tersebut hasil dari mencontek.
Baca juga: Anak Miskin Kerja Ekstra Keras, Bayar Ongkos Tak Terlihat untuk Perbaiki Nasib
Akhirnya setelah halangan tersebut diselesaikan oleh Rin dan mentornya, ia pun berhasil masuk ke Sinegard sebuah akademi militer prestisius di Provinsi Nikan. Tantangan pun kembali bermunculan lagi-lagi karena latar belakang Rin. Di balik itu semua, Rin tetap pantang menyerah dan terus berjuang untuk menggapai mimpinya.
Comments