Women Lead Pendidikan Seks
August 26, 2022

‘Before, Now & Then (Nana)’: Luka dan Trauma Jadi Perempuan dari Rezim ke Rezim

Before, Now & Then (Nana) mengisahkan perempuan yang membebaskan diri dari rahasia dan trauma, meski dikekang masyarakat

by Theresia Amadea, Reporter
Culture // Screen Raves
Review Before Now and Then
Share:

(Spoiler alert: artikel ini membeberkan sejumlah plot)

Sebelumnya saya tidak tahu tentang keberadaan film Before, Now, & Then (Nana). Saat mencari tahu, yang dikenali hanya sutradaranya, Kamila Andini, pemeran Nana (Happy Salma), dan pemeran Ino (Laura Basuki). Setelah membaca sinopsisnya, ketertarikan akan film yang sudah tayang di Festival Film Internasional Berlin, Februari lalu ini, bertambah.

Ia bercerita tentang Raden Nana, perempuan yang hidup di masa peralihan kekuasaan Sukarno ke Soeharto. Ketidakstabilan kondisi negara jadi latar belakang hidup Nana, yang tanpa ia sadari menanam trauma dan luka sebagai perempuan.

Dari awal film berputar, penonton langsung diperlihatkan pada era konflik ideologi. Ayah Ningsih (Rieke Diah Pitaloka) dan Nana tak ingin putrinya dinikahi “pemenang pemberontakan”. Makanya mereka disuruh kabur lewat hutan. Suasana begitu mencekam, Ningsih terlihat gundah, sementara Nana lebih banyak termenung sambil mendekap putra pertamanya. Di tengah pelarian itu, ia melihat bayangan suaminya yang menghilang. Pria itu berdiri jauh, mukanya samar.

Para pengikut Sukarno dikasak-kusukan akan jadi pemimpin tanah-tanah yang sudah dilepaskan Jepang ke pribumi. Tapi, perempuan cuma jadi pendamping buat para pemenang pemberontakan, kalau tak boleh dibilang cuma jadi “aksesori”.

Penonton diajak memahami bahwa peperangan mengancam keberadaan perempuan. Ditunjukan di film, Nana diminta untuk menikahi pemimpin gerombolan. Nana seorang perempuan dengan gelar Raden dimanfaatkan pemimpin gerombolan untuk menguatkan gerakannya.

Hal ini bisa disebut kaderisasi. Kaderisasi adalah proses menyiapkan sumber daya manusia untuk dijadikan sebagai pewaris ideologi. Proses ini memiliki kemiripan dengan pernikahan politik. Pemimpin gerombolan akan memiliki posisi yang lebih kuat di desa karena menikahi perempuan dengan gelar Raden. Jika tak mau, ia akan dipaksa. Jika bukan Nana, maka Ningsih—yang lebih tua—jadi penggantinya.

Jika mereka tak mau? Kepala sang ayah jadi taruhannya.

Sumber: IMDB

Baca juga: Film Indonesia Calling: Narasi Sejarah Kemerdekaan yang Terlupakan

Rezim Berganti, Perempuan Tetap Direpresi

Latar waktu berganti pada era 1960-an, Nana lagi-lagi menghadapi gejolak politik Indonesia. Saat itu Nana sudah menetap di Bandung. Jika lima belas tahun lalu adalah masa-masa kejayaan Partai Komunis Indonesia (PKI), kini pergantian rezim ke Orde Baru tengah berlangsung.

Kondisi Nana, sekilas terlihat jauh lebih baik, ia menjadi istri Lurah kaya raya, bernama Darga. Keluarga Nana terlihat harmonis, mereka punya empat anak hasil pernikahan dengan Darga. Suaminya sering memanjakan Nana dan memberlakukan Nana dengan baik.

Namun, di balik hidup yang berkecukupan Nana memiliki luka dari trauma yang disimpannya rapat. Setelah meninggalkan desa dan kehilangan anak pertama, Nana sering mimpi buruk. Bayangan mantan suaminya masih menghantui, padahal dia sudah tak ingat wajah laki-laki itu.

Dalam bayang-bayang itu, ia punya harap. Dalam senyum teduhnya, Nana selalu menyembunyikan luka dan emosi. Bahkan setelah tahu Darga berselingkuh. Ia memilih diam, tapi diam-diam pula menyelidiki siapa selingkuhan suaminya.

Petunjuk awal adalah daging yang sering dikirimkan ke rumah. Nana mencari penjual daging di pasar, yang akhirnya membawa ke pertemuan dengan Ino. Pedagang pasar mengira Nana hanya khawatir dengan keberadaan Ino karena mata sipit si tukang potong daging. Komunis, paham yang akrab dengan pengikut Sukarno, sering dikaitkan dengan mereka, peranakan Tionghoa Indonesia. Lewat adegan ini diselipkan ketidakadilan pada era pasca-peralihan kekuasaan.

Pada awal rezim Suharto, banyak pelaporan terduga orang komunis. Pelaporan yang sudah bermasalah ini juga digunakan untuk kepentingan pribadi si diktator dan kroni-kroninya. Ketidakadilan juga ditampilkan saat pekerja rumah Darga saling berbincang. Mereka membahas salah satu teman mereka yang ditangkap karena diduga Komunis. Dia dituduh menjadi Komunis, karena pelapor tidak suka dengannya. Pekerja pun tak berani membahas presiden terdahulu, karena takut ada yang melaporkan diri mereka.

Pelaporan bermasalah begitu sering diduga untuk menghilangkan pengaruh Sukarno secara menyeluruh. Banyak orang ditangkap karena diduga orang PKI dan dieksekusi tanpa peradilan.

Baca juga: ‘Sea Beast’: Ketika Sejarah Ditulis Ulang oleh Penguasa

Ino yang Misterius

Tak ada sebatang dialog pun yang membenarkan identitas Ino sebagai simpatisan Sukarno, ataupun seorang komunis atau sosialis. Kecuali, pakaian-pakaian merah yang kelampau sering dipakainya.

Namun, ia memang terlihat lebih mandiri dari perempuan-perempuan lain di sekeliling Nana. Ia setidaknya berdaya secara ekonomi, dengan usaha potong dagingnya di pasar. Sosok Ino ini berlawanan dengan paham ibuisme yang muncul pada era Suharto. Ibuisme sendiri adalah paham yang menempatkan perempuan sebagai pekerja domestik yang tidak diupah untuk mendukung kapitalisme negara.

Era peralihan kekuasaan dari Sukarno ke Soeharto juga memakan korban perempuan. Saat kekuasaan Sukarno terbentuk Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Gerwani adalah organisasi yang berasosiasi dengan PKI untuk memperjuangkan kesetaraan bagi perempuan Indonesia.

Anggota Gerwani tidak luput dari kejahatan peralihan kekuasaan. Dalam sebuah film propaganda Orba, Pengkhianatan G30S/PKI Gerwani digambarkan sebagai 'kelompok perempuan asusila dan kejam'. Baik anggota Gerwani atau hanya diduga disiksa, diperkosa, dan dibunuh.

Meski tak bisa dikonfirmasi secara gamblang lewat eksposisi atau dialog, Ino yang misterius bisa diinterpretasi sebagai representasi perempuan Tionghoa, yang berdaya, sekaligus bersiasat untuk tetap hidup di era peralihan kuasa itu.

Sumber: IMDB

Menjadi “Air” yang bertemu “Angin”

Nana memiliki pemahaman bahwa dirinya sebagai perempuan harus menjadi “air”. Air yang selalu sesuai dengan wadahnya. Nana beranggapan dirinya tidak boleh melawan ekspektasi peran sosial perempuan.

“Hidup harus seperti air, mengadaptasi lingkungan sekitarnya, bukan melawannya,” kata Nana.

Agar sesuai dengan “wadahnya” sebagai istri Darga seorang lurah yang terpandang, ia harus tampil layak. Terutama di lingkaran koneksi Darga yang berisi orang penting di masyarakat. Nana mengenakan kebaya yang cantik, membuat rumah terlihat indah, dan memastikan semua dalam kontrol untuk acara rangkai bunga dengan istri pejabat lain. Nana ingin terlihat layak dan pantas bersama mereka, tanpa mempedulikan dirinya.

Namun, pikiran itu mulai berubah setelah ia bertemu Ino. Keberadaan Ino menjadi angin segar bagi Nana. Ino yang memiliki karakter terus terang dan lebih mudah mengekspresikan dirinya, berkebalikan dengan Nana. Hal ini memengaruhi Nana untuk lebih jujur dengan dirinya sendiri.

Pengembangan karakter Nana mencapai puncaknya saat kita melihat ia mengikuti Ino, terjun bebas di sungai. Baru di sini pertama kali Nana bisa tertawa bebas, terlepas dari tuntutan untuk menjadi istri Kang Lurah.

Ino juga menjadi ruang aman untuk Nana. Setelah lebih jujur dengan dirinya sendiri, Nana berani mengutarakan traumanya. Nana dan Ino mengenakan pakaian dalam, rambut terurai, dan merokok, menunjukan diri mereka seutuhnya. Nana akhirnya mengutarakan kegelisahan dirinya kepada Ino. Nana mengutarakan rasa bersalahnya atas kematian ayah dan anaknya serta hilangnya suaminya.

“Kenapa perempuan selalu kalah, lalu dihantui rasa bersalah?” kata Nana saat bersandar di pundak sahabatnya. Pertanyaan Nana ini merupakan jeritan hatinya. Nana akhirnya meluapkan semua setelah bertahun-tahun memendam rahasia dan trauma.

Pertanyaan Nana ini, sayangnya masih relevan dan beresonansi dengan kondisi saat ini. Perempuan masih merasa bersalah akan hal yang tidak ia kehendaki.

Baca juga: 5 Alasan Film ‘Ali & Ratu Ratu Queens’ Layak Ditonton

Memilih Kebahagiaan

Ketika Nana sudah berdamai dengan masa lalu, hal yang tidak ia bayangkan terjadi, ia jadi lebih berani.

Perubahan dalam diri Nana disadari suaminya. Darga, bahkan memberi lampu hijau jika Nana memilih kebahagiaan untuk dirinya sendiri, meski pilihan itu berarti meninggalkan Darga.

Meski keberanian itu susah payah ia kumpulkan dan genggam, bukan berarti keputusan itu tak membawa konsekuensi luka baru. Semua anaknya, kecuali si bayi, memilih tidak ingin tinggal dengan Nana. Termasuk Dais.

Lagi-lagi, kita diperlihatkan bagaimana tiap keputusan perempuan harus diikuti konsekuensi yang tak bisa bikin dirinya betul-betul bahagia paripurna. Berpisah dengan anak-anaknya juga mengingatkan Nana akan trauma ditinggal mati anak pertamanya.

Nana yang masih menangis ditenangkan Ino setelah ia berbisik sesuatu. Bisikan Ino tidak pernah diberitahu hingga film selesai, dan ini menjadi tanda tanya bagi penonton.

Namun, perceraian ini membuat Nana tidak memendam rahasia lagi dalam rambutnya. Saat dia pergi meninggalkan rumah Kang Lurah, Nana membiarkan rambutnya terurai. Nana tak mempunyai rahasia lagi. Hal ini juga dituturkan Nana ketika bertemu Dais remaja. Dais bertanya kenapa rambutnya tidak digelung lagi, dan kenapa dia meninggalkan keluarganya? Nana hanya berbisik di telinga Dais, persis seperti yang dilakukan Ino kepada dirinya.

Theresia Amadea, reporter yang bermimpi hidup dengan tulisannya dan hidup sederhana dengan circle pilihannya. Menyukai budaya Korea dan Jepang dan bermimpi kuliah lanjut ke Eropa.