Women Lead Pendidikan Seks
July 01, 2022

Review ‘Broker’: Menguliti Label-label Manusia ala Kore-eda

Lagi, Kore-eda melempar banyak pertanyaan pada penontonnya. Tentang apa makna keluarga dan bagaimana dunia ini bekerja memelihara mereka.

by Aulia Adam, Editor
Culture // Screen Raves
Review film Broker
Share:

Broker bukan film internasional pertama yang digarap sutradara Jepang, Hirokazu Kore-eda. Sebelum bikin film Korea Selatan, dia lebih dulu melahirkan The Truth, film Prancis yang premier di Venisia tiga tahun lalu. Dua film ini, sebagaimana kebanyakan film-film Kore-eda lainnya, juga mengupas nilai-nilai keluarga tradisional yang selama ini kita kenal.

Jika dalam The Truth Kore-eda menceritakan gejolak hubungan ibu (Fabienne) dan anak (Lumir) karena otobiografi yang ditulis sang ibu, maka dalam film Broker ia menggali lebih dalam relasi ibu-anak dan makna yang menempelinya.

Cerita dalam film Broker berkutat pada tokoh So-young (IU), perempuan muda yang memilih meletakkan bayinya di dalam Baby Box, sebuah sistem adopsi anonimus di Korea Selatan. Cara ini populer di sana, terutama buat ibu-ibu muda atau orang tua yang  melahirkan bayi-bayi tak diinginkan. Bayi-bayi itu ditaruh dalam kotak yang biasanya ada di luar rumah sakit atau gereja agar bisa diadopsi orang lain.

Dalam skenario Kore-eda, So-young dipertemukan dengan Sang-hyeon (Song Kang-ho) dan Dong-soo (Gang Dong-woo), dua makelar adopsi bayi jalur pasar gelap. Keduanya terbiasa bekerja sama untuk mengambil bayi-bayi yang ditaruh dalam Baby Box, lalu menjualnya pada orang tua-orang tua yang menginginkan anak (tapi, terkendala masalah biologis atau administrasi negara).

Di suatu malam, ketika bimbang ingin mengambil lagi anaknya dari Baby Box, So-young malah ditawari duo makelar itu ikut dalam perjalanan mencari orang tua adopsi buat si bayi. Satu hal yang tak mereka ketahui, So-young ternyata diikuti dua detektif yang ingin meringkus mereka semua dalam kasus perdagangan bayi ilegal ini.

Persimpangan lima karakter tersebut jadi titik-titik kunci Kore-eda melemparkan pertanyaan-pertanyaan eksistensialisme pada kita; misalnya tentang kenapa seorang anak harus dilahirkan jika ingin dibuang? Siapa yang pantas disebut orang tua? Lalu apa sebetulnya keluarga? Siapa yang menentukan apa itu keluarga? Orang tua? Ibu dan ayah? Atau malah negara?

Bukan cuma pertanyaan, tapi ada banyak sekali dilema yang dijejalkan dalam film Broker langsung ke muka kita. Terutama tentang cara manusia memaknai otonomi tubuh. 

Betulkah kita memang punya kuasa atas tubuh sendiri? Betulkah keputusan yang kita buat memang lahir dari pikiran sendiri—sehingga apa pun yang kita putuskan harus kita pertanggungjawabkan sendiri pula?

Baca juga: Menonton Korut dan Korsel Bersatu dalam ‘Money Heist Korea: Joint Economic Area’

Mereka yang Tak Diinginkan

Dari daftar tukang cerita ulung yang pintar menangkap luka dan cerita-cerita menyakitkan, nama Kore-eda selalu masuk paling atas. Ia salah satu yang paling berempati. Film-filmnya banyak bercerita tentang kisah-kisah mereka yang tak diinginkan.

Macam cerita Akira, anak terlantar dalam Nobody Knows (2004); atau Kohichi dan Ryunosuke, dua kakak-adik yang terpisah karena perceraian orang tua mereka dalam I Wish (2011); atau yang paling teranyar di ingatan, kisah “keluarga palsu” dalam Shoplifters (2018) yang terdiri dari orang-orang miskin dengan label kriminal.

Broker juga menangkap nuansa orang-orang yang tak diinginkan itu lewat lima karakter utamanya. Mereka yang tak diinginkan ibunya, tak diinginkan orang tua, tak diinginkan anaknya, tak diinginkan pasangan, tak diinginkan negara.

Ada simpati yang luar biasa untuk keputusan tak termaafkan yang mereka buat, kesabaran untuk semua perjalanan aneh yang harus mereka ambil untuk menghilangkan kebencian yang diturunkan dari generasi ke generasi.

Kore-eda selalu menemukan cara untuk melihat cahaya di dalam masing-masing karakter ini.

Mereka bisa jadi dilabeli pelacur, pembunuh, ibu jahat, penculik, tukang jual bayi, penipu, anak yatim, atau cap-cap lain di dunia ini yang punya muatan berat dan negatif. Tapi, di mata Kore-eda, tokoh-tokoh ini dibikin humanis. Di balik keputusan-keputusan yang mereka bikin, ada luka dan narasi yang dikupas sensitif oleh Kore-eda. Bisa lewat dialog melankolis, celetukan humor, atau kepolosan anak-anak yang kadang bikin orang dewasa gondok, tertawa, atau malah berefleksi.

Baca juga: ‘Ngeri-ngeri Sedap’ dan Film Batak yang Berusaha Lepas dari Jakartasentris

Hebatnya, bukan cuma sensitif menangkap lapisan-lapisan emosi karakter-karakter yang dia tulis, Kore-eda juga membuat kita—penonton—bersimpati dan mempertanyakan nilai yang dijejalkan pada kita selama ini. Menggugah kita untuk melihat lebih dalam lagi tentang ketidakadilan yang ternyata dekat dan langgeng di depan mata.

Di satu titik, tema dan nuansa yang ditanam film Broker terasa tak jauh berbeda dari yang ditawarkan Kore-eda dalam Shoplifters. Terutama tema chosen family dan konsep keluarga nuklir khas keluarga tradisional heteronormatif, yang dibongkar sekaligus dikritiknya.

Dalam interview dengan Patrick Brzeski dari Hollywood Reporter, Kore-eda bahkan menyebut film Broker sebagai “saudara” Shoplifters karena ditulis dalam waktu berdekatan. Kemiripan nuansa itu memang sulit terhindarkan.

Namun, tema tentang “betapa tidak adilnya” dunia ini dalam Shoplifters tidak diberi jawaban tegas dalam Broker. Sepanjang menonton, kepala kita mungkin akan sibuk karena aneka pertanyaan moral dan eksistensial yang bermunculan. Akan tetapi, makin ke belakang, sampai akhirnya film memutar kredit penutup, kita akan sadar bahwa Kore-eda tidak sedang menyiapkan jawaban. Ia cuma melempar pertanyaan-pertanyaan itu agar kita berefleksi dan mencari jawabannya sendiri.

Buat saya pribadi, pertanyaan paling membekas yang muncul adalah tentang bagaimana Kore-eda menulis nasib perempuan muda yang memutuskan membuang bayinya, perempuan yang membunuh ayah anaknya. Lalu diikuti polisi—lambang campur tangan negara (yang diputuskan Kore-eda juga perempuan).

Seiring waktu, kita memang diperlihatkan dan dirasionalisasikan dengan keputusan-keputusan sang perempuan muda. Sampai sulit untuk tidak berempati padanya. Tapi, makin ke ujung, kita akan sadar pula bahwa riwayat hidup So-young juga tak sesederhana premis yang disajikan di awal film. Ia tipe karakter yang memang tidak akan berakhir hidup bahagia. Rantai di kaki dan lehernya termasuk jenis yang nyaris mustahil diputus.

Sambil kita bersimpati pada So-young—atau malah ikut menghakiminya—si polisi (Donna Bae) ternyata turut bersimpati juga. Meski hasratnya untuk menghukum orang lain sama sekali tidak hilang. Sebagaimana kewenangan yang dimilikinya lewat kuasa negara, si polisi jadi penentu ujung cerita So-young dan keluarga kriminal yang baru ditemukannya.

Baca juga: Janji Surga Lewat Poligami dalam ‘Keep Sweet: Pray and Obey’

Ujung cerita mereka masuk akal belaka, tapi bikin dahi mengernyit. Kenapa harus begitu?

Mungkin Kore-eda ingin kita sadar kalau orang-orang macam So-young itu kompleks, serumit masalah yang menjepitnya. Di saat bersamaan, Kore-eda juga seperti sedang bilang, kalau otoritas negara lebih kuat untuk melanggengkan label-label yang coba dia uraikan sepanjang film.

Daripada melempar jawaban yang mungkin dianggapnya—atau banyak orang—utopis, Kore-eda lebih senang menjejakkan kita pada bumi: bahwa otoritas itu jauh lebih kuat dan tak mungkin kalah, meski punya banyak cela (flaws).

Tapi, sekali lagi, kenapa harus begitu?

Aulia Adam adalah penulis, editor, produser yang terlibat jurnalisme sejak 2013. Ia menggemari pemikiran Ursula Kroeber Le Guin, Angela Davis, Zoe Baker, dan Intan Paramadhita.