Seks, adiksi, dan skandal di suburban Los Angeles, tiga hal itu merangkum Euphoria. Karenanya, serial drama milik HBO itu bisa dibilang memiliki tema lebih gelap dibanding cerita remaja lainnya, seperti Everything Sucks, Never Have I Ever, atau Glee. Sam Levinson, penulis dan sutradaranya pun tidak menunjukkan tanda-tanda cerita berubah lebih ‘ceria’ setelah dua tahun hiatus sejak musim pertamanya.
Si karakter utama Rue (Zendaya) semakin jatuh pada adiksinya dan memutuskan terlibat dengan bos besar pengedar narkotika untuk mendapatkan suplai gratis. Keputusan yang membuat penonton berdebar takut atas keselamatannya. Selain itu, membuat hubungannya dengan sang pacar, Jules (Hunter Schafer), adiknya Gia (Storm Reid), dan ibunya Leslie (Nika King) semakin di ujung tanduk.
Di sisi lain, kehadiran Nate Jacobs (Jacob Elordi), personifikasi dari maskulinitas toksik dan male aggression, semakin mengancam ketentraman hidup Jules. Pada musim sebelumnya, Nate memeras akan menyerahkan foto telanjang Jules atas tuduhan penyebaran konten child pornography ke polisi jika menolak melakukan permintaan Nate.
Dia menyuruh Jules memberikan kesaksian palsu pada polisi. Bahwasanya, alih-alih Nate yang melakukan kekerasan pada kekasihnya Maddy (Alexa Demie), orang lain yang pernah menjalin asmara Maddy lah pelaku kekerasan itu. ‘Masalah’ belum usai yang jauh lebih kompleks itu dilanjutkan di musim kedua, tapi kali ini dibuat semakin intens dan rumit ketika jalan ‘terungkapnya’ kebenaran semakin dekat.
Baca juga: ‘We Are Lady Parts’: Perempuan Muslim ‘Ngepunk’, Kenapa Tidak?
Gambaran Realitas Hidup Remaja
Meski demikian, hal yang membuatnya menarik bukan hanya kompleksitas isu dan drama yang ditawarkan Euphoria. Namun, penggambaran realistis tentang adiksi, seksualitas, dan pergumulan internal yang dialami remaja.
Relasi Rue dengan Jules dan Lexi (Maude Apatow), misalnya, kedua kawan dekat Rue itu memiliki orang tua yang juga kecanduan obat-obatan. Saat Rue overdosis atau relapse, Jules dan Lexi menyalahkan diri karena tidak bisa membantu kawannya. Selain itu, compulsory heterosexality–pemaksaan menjadi heteroseksual akibat budaya patriarki–dinarasikan lewat cerita Jules yang tidak lagi tertarik pada laki-laki dan ‘menutup pintu’ untuk heteronormativitas.
Compulsory heterosexuality itu bisa diasumsikan terjadi pada Nate yang ‘menyukai’ Jules, seorang transpuan, tapi menginternalisasi homofobia dan konsep maskulinitas kaku. Nate pun mengartikan ‘cinta’ sebagai obsesi dan kontrol atas orang lain dan bersikap penuh kekerasan.
Selain itu, Kat (Barbie Ferreira) tertekan dengan budaya influencer yang menyebut toxic positivity cara instan menghilangkan depresi dan isu citra tubuh. Pasalnya, mencintai diri sendiri tidak semudah bangun di pagi hari dan menghancurkan standar kecantikan dan budaya patriarki struktural yang mencekik.
Oleh sebab itu, Euphoria disebut menawarkan permasalahan yang dekat dengan remaja generasi Z, terutama di era digital. Akan tetapi melihat rating-nya untuk dewasa, apakah Euphoria sesungguhnya ditujukan untuk remaja?
Baca juga: Pasangan dalam Film yang Tak Seharusnya Jadi #CoupleGoals
Batasan ‘Coming of Age’ dan Dewasa
Hollywood memiliki ‘kesukaan’ membuat karya sinema tentang remaja yang dibalut cap coming of age. Jika merujuk pada pemahaman sederhana tema itu, peristiwa besar yang mengubah hidup menuju ‘pendewasaan’. Setiap karakter Euphoria yang memiliki porsi peristiwa besarnya masing-masing, terutama Rue.
Formula coming of age tersebut pun semakin menggugah karena masa SMA sering dilabeli sebagai masa paling indah dan berkesan. Meski demikian, tidak semua orang memiliki masa SMA yang naik turun, cerita coming of age menjadi semacam wadah untuk menyalurkan dan menawarkan cerita masa remaja yang penuh lika-liku.
Namun, ketika cerita mengarah pada tema yang dewasa, seperti terlibatnya sindikat pengedar narkotika, Euphoria bukan serial drama remaja. Selain itu, Euphoria juga dikenal dengan adegan tanpa busana yang ditampilkan setiap episodenya. Namun, mayoritas karakternya remaja 17 tahun dengan adegan seksualnya digambarkan secara eksplisit.
Jika dibandingkan dengan serial Sex Education, penggambaran remaja yang aktif secara seksual dilakukan dengan komikal. Selain itu, memang ditujukan membahas serba-serbi seputar seksualitas. Sedangkan Euphoria, hubungan seksual remaja menjadi salah satu bagian dari cerita yang character driven tersebut.
Walaupun aktornya, seperti Sydney Sweeney yang memerankan Cassie Howard mengatakan adegan tersebut dilakukan dengan consent dan Levinson setuju jika dia menolak beberapa adegan, dengan karakter remaja apa lasan menggambarkan adegan seksualnya secara eksplisit?
Satu jawaban yang bisa ditarik, meski tidak memuaskan karena ‘nyawa’ Euphoria berpusat pada hal-hal yang mengejutkan dan provokatif, adegan seksualnya pun dibuat eksplisit layaknya serial dewasa HBO lainnya, Game of Thrones.
Baca juga: 5 Rekomendasi Film Lesbian Korea Terbaik yang Patut Ditonton
Butuh Penulis Perempuan
Hal lain yang menonjol tentang Euphoria, minimnya girl on girl crime di antara karakter utama perempuan menjadi sesuatu yang menarik. Setiap karakternya berada dalam lingkar pertemanan dengan permasalahan berbeda, tetapi saling berkelindan dengan interaksi yang manis. Walaupun mereka bukan protagonis yang baik karena memiliki sisi gelap dengan nilai moral yang abu-abu.
Cassie yang tipikal anak populer dan Rue, misalnya, memiliki lingkar teman yang berbeda, tapi dalam satu dan dua hal mereka adalah kawan. Pertemanan itu menjadi semacam antitesisnya film Mean Girls, setiap siswa SMA memiliki geng dengan posisi hierarkinya masing-masing. Akan tetapi, ‘kedamaian’ itu terancam hancur karena muncul ‘cinta segitiga’ yang toksik di antara Nate, Maddy, dan sahabatnya Cassie di musim kedua.
Namun, jika menyorot isu yang dihadapi karakter perempuan, seperti kekerasan serta manipulasi dalam pacaran, hubungan lesbian, dan kesehatan mental, dibutuhkan peran perempuan dalam proses kreatif penulisan Euphoria.
Euphoria sering menawarkan monolog emosional tentang kehidupan, tetapi kedalaman pesan itu semakin mencerminkan pengalaman perempuan jika penulisnya tidak hanya Levinson. Episode spesial Jules rilis Januari tahun lalu, misalnya, ditulis Levinson dan Hunter Schafer pemeran Jules. Monolognya tentang feminitas, transisi, dan trauma dari ibunya memberi pemahaman tentang perspektif Jules dan alasannya mengambil pilihan tertentu.
Saat Jules meninggalkan Rue di akhir musim pertama, adiksi Rue mengingatkan pada ibunya. Hal itu menjadi beban pribadi dan salah satu penyebab Jules pergi. Ketika mayoritas pemeran utama Euphoria adalah perempuan, dibutuhkan perempuan dalam penulisan naskah untuk memberikan perspektif khasnya. Tanpa peran perempuan, Euphoria hanya berpusat pada dandanan estetis yang tidak menggambarkan remaja perempuan secara realistis.
Comments