Hati-hati spoiler tipis!
Empat tahun lalu, saya menulis ulasan Black Panther dengan embel-embel ‘bagus, cerdas, penting, dan politis’ di judulnya. Pendapat itu belum berubah. Pada masanya, film superhero kulit hitam pertama di jagat Marvel Cinematic Universe (MCU) ini mencetak banyak sejarah.
Ia baru dibikinkan film tunggal, setelah MCU memproduksi 17 film lain yang semua tokoh utamanya adalah pria kulit putih. Iron Man, The Hulk, Thor, Captain America, Star Lord, Ant-Man, Doctor Strange, dan Spiderman.
Baca juga: Superhero Perempuan dan Problematika Representasinya
Secara angka penjualan, ia masuk daftar film MCU dan produksi Hollywood paling laris serta menguntungkan sepanjang sejarah manusia. Sebelum Black Panther, film produksi Hollywood dengan sentral cerita, karakter, dan pemain yang dimainkan semua oleh orang kulit hitam belum pernah sesukses itu. Maka ia jadi politis. Mengingat hak-hak orang kulit hitam di Amerika masih sering dilindas pemerintah dan institusi negara Amerika Serikat.
Black Phanter juga jadi referensi pertama yang mengenalkan istilah Afrofuturism pada saya. Di sepanjang film, kata itu memang tidak disebut. Namun, Wakanda—negara fiktif yang jadi latar utamanya—dibangun dengan konsep Afrofuturism oleh sang sutradara sekaligus penulis naskahnya, Ryan Coogler.
Afrofuturism adalah spekulasi tentang bentuk dunia ini jika Afrika tidak dijajah kolonialisme bangsa-bangsa kulit putih. Sebuah imajinasi yang membayangkan hidup bangsa-bangsa Afrika jika budaya dan tradisi mereka tidak dihancurkan penjajahan dan perbudakan.
Dalam semesta MCU, Wakanda adalah satu-satunya negara di dunia yang tidak pernah tersentuh kolonialisme. Ia dikisahkan sebagai negara dengan perkembangan teknologi paling pesat, paling sejahtera. Namun, fakta itu dirahasiakan dari dunia luar, sebab Wakanda punya Vibranium—metal paling kuat sekaligus sumber mineral yang punya banyak khasiat.
Keputusan politik luar negeri itu yang jadi sumber konflik utama sekaligus kegalauan T’Challa (Chadwick Booseman), sang Black Panther. Killmonger (Michael B. Jordan), antagonis film itu, punya alasan kuat membenci T’Challa dan kebijakan politik luar negeri Wakanda.
Ia ingin Wakanda, yang tak pernah tersentuh kolonialisme kulit putih, untuk membantu perjuangan orang-orang kulit hitam di negara-negara lain. Sementara T’Challa berusaha mempertahankan tradisi Wakanda untuk mengisolasi diri.
Penonton yang mendukung hak politik para pencari suaka pasti akan geram pada T’Challa. Sementara mereka yang cenderung nasionalis dan jauh dari realitas keras yang dihadapi para pengungsi dan imigran, mungkin akan membenci Killmonger. Konflik ini yang bikin Black Panther jadi tontonan berisi dan dekat dengan realitas banyak orang, sesuatu yang beda dari film-film MCU lainnya.
Baca juga: Ms. Marvel: Petualangan Superhero Baru MCU dari Pakistan
Negara Adidaya Baru Bernama Talokan
Black Panther: Wakanda Forever (selanjutnya disebut Wakanda Forever) dibuat dengan semangat serupa. Kali ini ia memperkenalkan Talokan, negara bikinan orang-orang Meso-Amerika yang lari ke laut setelah tanah mereka dijajah bangsa Spanyol.
Jika Wakanda adalah jelmaan Afrofuturism (dan bukti bahwa sebuah negara bisa maju dan adidaya karena tak tersentuh kolonialisme), maka Talokan adalah contoh negara lain yang berhasil adidaya setelah menghindar dari penjajahan.
Ada semangat dekolonisasi yang kentara dari penciptaan dua negara adidaya ini. Meski di sepanjang Wakanda Forever yang bertarung adalah Shuri (Letitia Wright) dan Namor (Tenoch Huerta)—penguasa Talokan—tapi, musuh utama atau antagonis bengis di film ini adalah Amerika Serikat—yang bersama Prancis dan PBB, amat serakah ingin merebut ‘sumber daya alam’ dari negara lain.
Keputusan menjadikan Amerika Serikat sebagai penjahat utama yang bikin pertarungan Black Panther baru dan Namor di ujung film, jadi kuat dan bermakna. Mereka bisa memilih bersatu dan saling menjaga, ketimbang saling menghancurkan. Sesuai dengan semangat dekolonisasi yang jadi pesan utama film ini dan pendahulunya.
Cara Coogler membangun Talokan dan Namor juga patut diapresiasi. Ia masih berpatokan pada semangat dekolonisasi. Namor tidak pernah muncul di film-film MCU lain (selama lebih dari dua dekade terakhir), karena keputusannya mengisolasi Talokan dari dunia lain. Ia baru menampakan diri pada Wakanda, setelah Amerika Serikat berusaha mengambil Vibranium yang ada di area Talokan.
Sifat tak ingin menyenggol-kalau-tak-disenggol Namor ini yang bikin karakternya jadi musuh kuat sekaligus ‘yang diperlukan’ Shuri, untuk bangkit dari duka ditinggal mati T’Challa.
Kehebatan lain naskah Wakanda Forever adalah keputusan Coogler dan MCU untuk berkaca (mirroring) dari dunia nyata. Separuh awal film ini adalah tentang duka Shuri, Ramonda (Angella Basset), dan Wakanda setelah ditinggal wafat raja mereka secara tiba-tiba—persis kematian sang aktor yang memerankannya di dunia nyata.
Cara ini berhasil menghindarkan MCU dari para haters misoginis—yang biasanya akan mengkritik superhero perempuan lebih keras—karena memutuskan Shuri jadi Black Panther pengganti T’Challa. Di separuh film ini, bukan cuma Shuri yang dibikin berduka. Tapi, kita semua. Hingga, di satu titik di tengah film, kita sadar kenapa Shuri adalah satu-satunya yang pantas menggantikan sang abang.
Cara duka Shuri dikupas juga jadi tontonan manis—kalau tidak bikin meringis. Karakternya yang superpintar dan tech savy dibikin kebingungan menghadapi kehilangan dan duka ditinggal orang terdekat. Sains, yang selama ini dijadikannya tumpuan, masih tak bisa mengisi kekosongan yang muncul setelah T’Challa hilang. Kebingungan itu berubah jadi murka yang ia sendiri susah kontrol di sepanjang film.
Proses berduka yang berbeda ditunjukkan Ramonda, ibu mereka. Ia menghadapi kehilangan T’Challa dengan luka yang tak kalah dalam dari Shuri, tapi melewatinya dengan fase-fase yang lebih spiritual—sesuatu yang bertentangan dengan keyakinan Shuri. Ramonda sebetulnya beberapa kali mengajarkan cara itu pada anaknya, tapi Shuri menolak dengan lembut.
Percakapan antara Ramonda dan Shuri tentang proyeksi pikiran mereka atas duka jadi salah satu momen menggugah di film ini.
Baca juga: Review ‘She-Hulk: Attorney at Law’: Narasi Perempuan yang Menemukan Rumahnya
Berpusat dan Dipandu Karakter-karakter Perempuan Hebat
Menonton film-film MCU adalah pengalaman sinematik yang belum pernah dirasakan generasi sebelum kita. Produk mereka sebetulnya lebih mirip serial ketimbang film, karena dibangun dengan cerita bersambung. Semua superhero ini ditulis dalam sebuah semesta yang di fase ini sudah beranak-pinak jadi multi-semesta. Sebagai konsekuensi karena dibangun dalam jagat yang sama, Wakanda Forever juga punya beban menyisipkan subplot-subplot yang akan mengarahkan kita pada produk-produk MCU berikutnya.
Beban ini tentu tidak mudah. Menyambungkan puluhan film sebelumnya, dan mengaitkan naskahnya dengan calon serial dan film-film berikutnya tentu bukan pekerjaan gampang.
Ini yang bikin Coogler (dan segenap tim MCU) memutuskan memasukkan Iron Heart dan Midnight Angle dalam Wakanda Forever. Dua superhero baru ini kabarnya akan muncul dalam serial terbaru Disney+ Iron Heart dan Dora Milaje. Itu pula yang bikin porsi Okoye (Denai Gureira) dan Riri Williams (Dominique Thorne) lumayan besar dalam plot Wakanda.
Sebagian kritik menyebut plot dua karakter ini bahkan terlalu besar karena mengalihkan fokus kita dari Shuri-Namor dan Wakanda-Talokan. Namun, selain jadi jembatan untuk cerita lainnya, Riri yang merupakan warga negara Amerika Serikat, sebetulnya punya peran penting buat Shuri dan kita penonton. Karakternya yang lebih ‘polos’ dan ceroboh dari Shuri kadang-kadang berguna sebagai yang-meringankan-situasi. Ia juga jadi satu-satunya karakter di Wakanda yang tak terdampak langsung duka atas kehilangan T’Challa—sosok yang bisa mengingatkan Shuri (dan kita) tentang bagaimana dirinya sebelum duka itu datang.
Riri juga menambah jumlah karakter-karakter perempuan hebat di Wakanda Forever.
Bahkan, tanpa mengiklankan dirinya sebagai film superhero perempuan, Wakanda Forever jadi salah satu film MCU paling feminis yang pernah ada. Selain dapat Black Panther baru yang adalah perempuan, kita juga disuguhkan cerita-cerita yang berpusat pada para tokoh perempuan pemimpin. Ada Ramonda yang jadi Ratu Wakanda dan punya adegan dahsyat di PBB; Okoye, sang jenderal militer yang kepercayaan dan batinnya dihantam hebat; serta Nakia (Lupita Nyong’o) yang harus mengabdi panggilan Sang Ratu saat dukanya belum pulih.
Cara mereka menyelesaikan masalah dengan kasih, memvalidasi marah tanpa melampiaskannya lewat kekerasan, menjaga dan melindungi miliknya dengan memutus siklus kekejaman adalah benang merah kuat yang menonjol dalam Wakanda Forever. Praktik politik kasih (the politics of care) yang jadi tontonan hangat.
Comments