“Wow, this is so dumb. Dumbest thing I’ve ever seen in my life, can’t you understand the difference between man and woman? U can’t change the rules of nature”
“Sick, disgusting, repulsive.”
“The film promotes humiliation and dishonor in society.”
“This series is rubbish and has no value. It is unfortunate.”
Begitulah kira-kira komentar yang akan kamu dapatkan ketika mencari referensi tentang He’s Expecting di IMDB. Dorama Jepang yang baru dirilis Netflix secara global pada (21/4) ini panen makian dan ulasan negatif. Di IMDB, He’s Expecting mendapatkan review bombing (istilah yang digunakan untuk ratusan ulasan negatif) dari mayoritas laki-laki dan hanya memiliki rating 1 dengan total 2.415 votes per 26 April.
Dorama ini memang secara mengejutkan membuat banyak orang (baca: laki-laki) “kepanasan”. Alasannya, itu berusaha menjungkirbalikkan pandangan kita soal pembagian peran tradisional lewat pengalaman kehamilan lelaki cishetero.
Dorama bergenre komedi fantasi yang disutradarai Yuko Hakota tersebut punya premis yang out of the box. Itu diadaptasi dari manga berjudul Hiyama Kentarou no Ninshin (ヒヤマケンタロウの妊娠) besutan Eri Sakai. Dorama ini mengisahkan laki-laki cishetero Kentaro Hiyama (Takumi Saito) yang tiba-tiba mendapati dirinya hamil, anak dari pasangan perempuannya, Aki Seto (Ueno Juri).
Kehamilan yang ia alami (male pregnancy) sendiri diceritakan sebagai kasus unik, karena dalam waktu satu dekade terakhir hanya terdata segelintir orang di dunia yang mengalaminya. Hiyama kaget. Bagaimana tidak, ia takut mendapati stigma dari masyarakat atas kondisi tubuhnya. Belum lagi ia adalah karyawan dengan posisi manajerial di salah satu perusahaan ternama di Jepang. Ini berarti ia harus mengalami berbagai masalah yang tadinya hanya bisa dialami oleh perempuan. Kariernya terancam, hidupnya dipertaruhkan.
Baca juga: Ulasan ‘Georgia’: Jalan Berliku Korban Pemerkosaan Cari Keadilan
Mencicipi Susahnya Jadi Perempuan
Menjadi perempuan itu sulit. Banyak dari mereka tidak memiliki otoritas atas tubuhnya sendiri. Tubuh mereka milik negara, suami atau pasangan, dan milik keluarganya.
Hal inilah yang dialami oleh Hiyama saat pertama kali mengetahui dirinya hamil. Ia paham betul kondisinya akan memengaruhi hidupnya, sehingga ia memutuskan untuk aborsi. Awalnya ia berpikir aborsi itu mudah. Ia hanya harus berkonsultasi dengan dokter kandungan dan menandatangani beberapa dokumen persetujuan. Nyatanya, fakta tidak semanis itu. Ia harus mengalami apa yang dialami oleh banyak perempuan.
Ia tidak boleh mengambil tindakan aborsi jika pasangannya tidak mau meneken dokumen persetujuan aborsi. Hiyama jelas frustrasi bagaimana bisa ia bahkan tidak bisa membuat keputusan atas tubuhnya sendiri?
Keputusasaannya itu kemudian semakin menumpuk saat ia memutuskan untuk mempertahankan bayinya. Sekali lagi, menjadi perempuan itu menyulitkan. Perempuan seringkali merasa tercerabut dari tubuhnya sendiri. Mereka kesulitan memahami apa yang terjadi pada diri dengan segala perubahan yang ada dalam tubuh. Mulai dari menstruasi, kehamilan, hingga kelahiran. Jelas hal ini kerap membuat perempuan frustasi. Apalagi jika perempuan terpaksa harus menjalaninya sendiri.
Sebagai seorang cishetero laki-laki yang tumbuh dengan segala privilese di masyarakat patriarkal, Hiyama selama ini cuek pada pengalaman ketubuhan perempuan. Ia menganggap kehamilan dan kelahiran adalah hal biasa. Keduanya bukan suatu hal yang berat dan sudah menjadi tanggung jawab perempuan untuk melewatinya dengan baik.
Namun apa dikata. Ia harus menelan mentah-mentah segala biasnya ini. Selama masa kehamilannya, ia berulang kali dibuat kewalahan. Hampir tiap pagi ia harus mengalami rasa mual yang tak tertahankan. Rasa mual ini jelas menghambat kinerjanya. Ia menjadi kesulitan berkonsentrasi dan berakhir absen karena harus ke kamar mandi untuk memuntahkan apapun yang ada dalam perutnya.
Perubahaan mood yang tidak bisa ditebak juga acap kali ia alami. Ia bisa tiba-tiba merasa sangat kesal dan marah sampai ingin memaki-maki atasannya. Namun, tidak beberapa lama kemudian amarahnya bisa seketika sirna, dan ia menjadi sangat melankolis, menangis, memeluk semua orang di dekatnya.
Perubahan mood ekstrem ini pun diperparah dengan anomal kondisi tubuhnya. Misalnya dalam rapat bersama jajaran atasan dan timnya, ia harus dibuat "malu" dengan tubuhnya sendiri karena putingnya mulai menegang dan asinya tiba-tiba keluar begitu saja hingga merembes menodai baju kantor.
Segala kendala yang ia alami selama kehamilannya ini tentu berdampak kuat pada kariernya. Sebelum hamil ia sempat berada dalam posisi manajerial dengan ranking memuaskan. Ia bahkan ditunjuk sebagai pemimpin proyek besar di perusahaannya. Sayangnya, ia terpaksa merelakan pencapaian kariernya. Tanpa persetujuan dirinya, jabatannya dilucuti. Semua karena kolega laki-laki dan atasannya tak mau memahami kesulitan yang ia hadapi dengan tubuhnya sendiri, apalagi repot-repot membantu meringankan bebannya.
Pengalaman inilah lantas yang membuat Hiyama berefleksi diri tentang masyarakat yang ia tinggali. Bahwasanya selama ini suara dan pengalaman mereka tidak pernah didengar. Hak-hak mereka dilucuti tak bersisa tanpa persetujuan mereka. Pun, mereka dibiarkan berjuang dalam kesendirian tanpa ada orang yang mau berempati apalagi membantu mereka.
Baca juga: Menerima dan Berdamai dengan Duka Lewat ‘Jujutsu Kaisen Vol. 0’
Masyarakat yang Tak Pernah Adil pada Perempuan
Banyak sekali orang yang anti pada gerakan feminisme atau kesetaraan gender mengatakan bahwa kini posisi perempuan sudah setara. Bahwa kita tidak butuh lagi melakukan berbagai usaha untuk menyetarakan hak dan kesempatan bagi perempuan. Karena jika kita terus mendorong kesetaraan, perempuan justru akan menjadi pihak yang dominan dan menindas laki-laki.
Pandangan ini jelas merupakan bentuk dari sesat pikir. Pasalnya, sampai detik ini, perempuan hampir di belahan negara manapun belum mendapatkan keadilan. Melalui berbagai bias dan stigma yang dilekatkan pada perempuan, mereka kerap kali dijauhkan dari pemenuhan hak-haknya dan tidak diberikan kesempatan yang sama dengan laki-laki. Permasalahan ini nyata terjadi hampir pada setiap perempuan dan berusaha diangkat oleh Hakota dalam dorama besutannya.
Jika pengalaman ketubuhan semuanya diserahkan dalam sudut pandang Hiyama, ketidakadilan dan diskriminasi gender yang secara khusus hanya dialami oleh perempuan berusaha disampaikan Hakota melalui karakter Aki.
Tidak berbeda dengan di Indonesia, masyarakat Jepang menganggap pencapaian tertinggi dan esensi dari kehidupan perempuan adalah menikah dan menjadi ibu. Akibatnya, Aki sebagai perempuan karier berusia 35 tahun yang tidak memiliki hasrat untuk menikah hidup harus menjalani kesehariannya penuh stigma. Setiap pertemuan bersama kolega atau temannya ia selalu ditanyai kapan menikah. Ia juga terus diperingatkan untuk tidak gila bekerja dan didorong untuk cepat-cepat mempunyai anak.
Karena alasan ini pula Aki bahkan harus dihakimi habis-habisan oleh ayahnya. Ayahnya tanpa memedulikan perasaan Aki, melontarkan kalimat hinaan dari ayahnya sendiri yang menggapnya sebagai aib karena belum kunjung menikah dan mempunyai anak. Bahkan ketika Aki sudah memiliki calon anak dari kehamilan Hiyama, ia harus mendapatkan stigma tambahan. Hal ini tidak lain karena sebagai perempuan ia tidak bisa memenuhi peran dan kodratnya untuk hamil, melahirkan, dan menyusui.
Aki lalu semakin terpuruk dan merasa bagaimana dunia tidak pernah adil pada perempuan ketika ia berbincang dengan Hiyama tentang rencana pengasuhan anak mereka kelak. Ia tidak menyangka Hiyama yang telah mengalami beratnya mengandung nyatanya masih tidak bisa lepas dari bias.
Baca juga: ‘Maid’: Cerita Jatuh Bangun Ibu Lepas dari KDRT
Dalam hal ini, Hiyama mengatakan tentang intensinya untuk menyerahkan tugas membesarkan dan mengerjakan tugas domestik pada Aki. Ia berpendapat sebagai laki-laki ia tetap memiliki peran sebagai pencari nafkah utama, apalagi ia memiliki pekerjaan yang lebih stabil dengan pendapatan yang cukup besar.
Pandangan ini jelas tertanam jauh dalam dirinya lewat didikan dan “nasihat” dari sesama laki-laki. Misalnya dalam sebuah adegan di sauna bersama atasannya, atasannya menyarankan Hiyama cepat-cepat menikah dan memiliki istri agar ia bisa fokus bekerja dan segala tugas domestik bisa diserahkan pada istrinya kelak.
Intensi Hiyami ini tentunya membuat Aki kecewa dan hanya semakin besar ketika ia mendapatkan kesempatan untuk bekerja di luar negeri. Saat ia memberikan berita baik ini pada Hiyama, Hiyama terlihat sekali sangat menentang intensinya ini. Menurut hematnya, Aki sebagai perempuan tidak sungguh-sungguh menjalankan perannya sebagai ibu.
Aki pun kemudian berkata mengapa harus selalu perempuan yang berkompromi dalam sebuah hubungan? Mengapa mereka yang harus selalu mengorbankan segala mimpi mereka, menguburnya jauh-jauh? Mengapa mereka dibentuk untuk menjadi individu yang hanya mampu mendukung pasangannya tanpa berhak memilih jalan hidupnya sendiri?
Segala kemarahan dan kekecewaan yang dilontarkan Aki inilah kemudian membuat Hiyama terdiam seribu bahasa. Ia baru menyadari bagaimana selama ini telah bersikap tidak adil dan egois. Ia adalah manifestasi dari dunia yang tidak pernah menganggap perempuan berhak mendapatkan kesempatan serta hak yang sama. Dunia yang memenjarakan perempuan dalam batasan-batasan tak kasat mata dan membuat mereka tak pernah bisa mencapai potensi terbesarnya.
Pendek kata, He’s Expecting adalah tontonan wajib yang penuh sentilan mengena penuh pembelajaran. Melalui pengalaman kehamilan Hiyama dan pengalaman Aki yang mendampinginya, He’s Expecting mampu mendobrak bias-bias yang selama ini berakar di tengah masyarakat.
Comments