Women Lead Pendidikan Seks
November 17, 2022

Revolusi Islam Iran, Mahsa Amini, dan Pelajaran bagi Indonesia

Apa pelajaran dari revolusi Islam Iran bagi Indonesia? Apa pula pelajaran dari kasus meninggalnya Mahsa Amini bagi perempuan Indonesia?

by Neng Dara Affiah
Issues
Share:

Revolusi Islam Iran yang terjadi pada 1979 berkontribusi pada bangkitnya intelektual Islam di Indonesia.

Buku-buku karya intelektual Iran seperti Dr. Ali Shariati berjudul Man and Islam (diterjemahkan oleh Amin Rais dengan Tugas Cendekiawan Muslim, 1984), Murtadha Mutahhari berjudul Society and History, Allamah M. H. Thabatahaba'i berjudul Shi'te Islam (diterjemahkan Djohan Effendi dengan Islam Syiah: Asal-Usul Islam dan Perkembangannya, 1989) dikaji dan dipelajari oleh para mahasiswa di pelbagai kelompok studi, baik di perguruan tinggi umum maupun perguruan tinggi bercorak Islam seperti IAIN.

Saya yang terlibat dalam salah satu kelompok studi di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta—sekarang namanya berganti UIN—sangat menggandrungi pemikiran para pemikir Iran tersebut. Terutama karena mereka membawa gairah pemikiran baru dalam konteks Islam dan Iran, yang membawa counter argument untuk narasi dominan yang ditulis kebanyakan sarjana barat.

Baca juga: Kematian Mahsa Amini, Pemaksaan Jilbab, dan Protes Massa di Iran

Salah satu kontribusi yang sangat kuat dari karya-karya pemikir di atas adalah adanya argumentasi teologis tentang keharusan perempuan muslim menggunakan jilbab atau kain yang menutup kepala. Buku yang cukup terkenal mengupas hal itu berjudul: The Islamic Modest Dress karya pemikir Iran Murtadha Muthahari.

Tentu, karya-karya dari pemikir Islam Iran ini bukan satu-satunya. Kontribusi lain tentang argumentasi jilbab ini adalah dari para ideolog Ikhwanul Muslimin seperti karya Abul A'la Al-Maududi yang berjudul Purdah And The Status Of Woman in Islam (1984) (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia al-Hijab), Hassan al-Banna, Maryam Jamilah dan pemikir lainnya yang kelak pikiran-pikiran mereka mengilhami terbentuknya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan organisasi-organisasi yang berafiliasi dengannya.

Sebelum terjadi revolusi Islam di Iran dan merambahnya buku-buku produk ideolog Ikhwanul Muslimin ini, belum ada perempuan di Indonesia berjilbab. Tradisi menutup kepala bagi perempuan muslim hanya menggunakan kerudung di mana rambut perempuan bisa terlihat dan menggunakan baju kebaya atau baju kurung. Konsep aurat perempuan hanya dibahas untuk kepentingan salat, tetapi bukan untuk mengatur tubuh perempuan dalam ruang publik.

Dalam perkembangannya, revolusi Islam Iran ini nampak kurang berdampak secara politik di Indonesia, barang kali karena adanya pemahaman teologi yang berbeda antara mayoritas muslim di Indonesia yang menganut paham Sunni, sementara teologi politik Iran adalah Syiah.

Meski ia kurang berdampak secara politik, tetapi ia berpengaruh pada dunia pendidikan.

Adalah KH Jalaluddin Rakhmat—dikenal dengan panggilan Kang Jalal—yang mendirikan Yayasan Pendidikan Mutahhari di Bandung. Sekolah menengah ini melahirkan sejumlah siswa unggul dan berprestasi serta sebagian dari mereka melanjutkan kuliahnya di Iran, juga perguruan-perguruan tinggi di Barat.

Nama yayasan pendidikan tersebut menisbatkan kepada Murtadha Mutahhari, salah seorang pemikir besar Iran yang menguasai filsafat barat dan Filsafat Islam sekaligus yang meninggal pada Mei 1979 oleh berondongan peluru lawan Mutahhari, yakni kelompok Forqan.

Selain itu, paham Syiah juga banyak dianut di Indonesia yang mayoritas Islam berhaluan Sunni. Termasuk Kang Jalal sendiri yang pada awalnya adalah seorang Sunni, tetapi konversi kepada Syiah, dan kemudian menjadi pemuka Syiah yang kelak mendirikan organisasi berhaluan Syiah yang bernama Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI).

Baca juga: Kematian Mahsa Amini: Perempuan Iran Makin Solid Tuntut Perubahan Transformatif

Pelajaran dari Meninggalnya Mahsa Amini

Empat puluh tiga tahun sudah revolusi Islam berjalan di Iran. Di antara peraturan dalam penerapan ideologi politik Islam adalah adanya kewajiban jilbab bagi perempuan melalui peraturan yang diputuskan pada 1983 oleh parlemen Iran. Bagi perempuan  yang tidak menutup rambutnya di muka umum akan dihukum dengan 74 cambukan. Sejak tahun 1995, perempuan yang tidak berjilbab juga bisa dipenjara hingga 60 hari.

Karena negara membuat standar bagaimana semestinya warga negara berpakaian, maka aturan tersebut menelan korbannya. Ia seorang perempuan bernama Mahsa Amini, berusia sangat belia, yakni 22 tahun, berasal dari kota Kurdi, Iran.  Ia meninggal pada 16 September 2022 atau tiga hari setelah ditahan polisi moral.

Terlepas dari pro-kontra penyebab kematiannya, hal yang sudah pasti adalah ia ditahan karena jilbab yang dipakainya dianggap terlalu “bebas”. Penahanan dan kematiannya memicu terjadinya protes dan demonstrasi besar-besaran, baik yang terjadi di Iran yang berdampak memakan puluhan korban jiwa maupun di berbagai negara-negara lainnya di dunia.

Dengan kasus meninggalnya Mahsa Amini ini, perempuan yang pro demokrasi di Iran menemukan pemicunya untuk bergerak dan melawan rezim dengan slogan 'perempuan, hidup dan kebebasan’. Dalam demokrasi, memungkinkan terjadinya otonomi individu di mana pakaian warga negara, terutama perempuan tak harus diatur oleh negara. Negara yang tak jauh dari Iran, yakni Saudi Arabia sudah mencabut kewajiban jilbab ini bagi perempuan setelah puluhan tahun mewajibkannya.

Pelajaran apa yang diambil dari kasus meninggalnya Mahsa Amini bagi Indonesia? Meskipun Indonesia bukan negara Islam, melainkan negara demokrasi, tetapi melalui UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah di mana pemerintah daerah mempunyai kewenangan mengelola daerah, sebagian daerah-daerah di Indonesia, terutama yang berpenduduk mayoritas Islam mewajibkan jilbab bagi perempuan.

Menurut catatan pemantauan Komnas Perempuan, dari 421 aturan daerah yang bernuansa syariat Islam, sebagian di antaranya adalah kewajiban jilbab bagi perempuan. Kewajiban ini yang paling ketat pengaturannya adalah provinsi Aceh Darussalam dengan menggunakan aparat polisi syariah dalam pelaksanaannya.

Sementara di daerah-daerah lain, aturan tersebut sesungguhnya ada, tapi tidak ada. Keberadaannya karena aturannya sudah bersifat tertulis, sementara ketiadaannya adalah sebagian besar perempuan dan masyarakat tidak mengetahui adanya peraturan tersebut.

Meskipun begitu, karena aturan tersebut bersifat tertulis, jika ada warga negara perempuan yang tidak menggunakan jilbab, maka kemungkinan akan terjadi  kriminalitas  terhadap perempuan dari pakaian yang dipilihnya.

Baca juga: Tubuhku Bukan Milikku: Perkara Ruwet Dipaksa Berjilbab

Terhadap persoalan ini, sesungguhnya telah ada upaya dari pemerintah Jokowi untuk membatalkan pelbagai peraturan tersebut melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim bersama dua menteri lainnya, yakni Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tentang pakaian sekolah di mana jilbab bukan pakaian yang diwajibkan, melainkan sebuah pilihan. Tapi upaya pencabutan peraturan tersebut ditolak oleh Mahkamah Agung dengan alasan bahwa anak perempuan di bawah usia 18 tahun tak memiliki hak untuk memilih pakaian sendiri di sekolah negeri.

Menurut saya, negara dalam segala tingkatannya, mulai dari pemerintahan provinsi, pemerintahan kabupaten hingga ke bawahnya mencabut aturan berjilbab bagi perempuan ini,  karena yang menjadi pokok kewajiban negara adalah memberikan kesejahteraan, keamanan dan keadilan hakiki bagi warga negaranya.

Biarlah pemakaian jilbab bagi perempuan ini menjadi kultur berpakaian dalam masyarakat dan kehendak kesadaran personal yang dilakukan oleh individu perempuan, dan bukan diwajibkan oleh negara atas pakaian yang hendak dikenakan oleh warga negaranya. Jika negara mewajibkannya, kita bisa belajar dari Iran, ia akan menimbulkan pelbagai masalah dan bahkan menelan korban hingga kematiannya.

Ilustrasi oleh Karina Tungari

Neng Dara Affiah adalah Dosen dan Penulis buku Potret Perempuan Muslim Progresif Indonesia(2017) dan Islam, Kepemimpinan Perempuan, dan Seksualitas (2017).