Perpanjangan masa cuti melahirkan bagi ibu (maternal leave) menjadi 6 bulan dalam pembahasan draft Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) masih menjadi polemik. Dalam UU Ketenagakerjaan, durasi cuti melahirkan ditetapkan hanya sepanjang 3 bulan.
Banyak yang menilai bahwa perpanjangan masa cuti ibu tersebut merupakan angin segar bagi para ibu yang bekerja, serta memberikan peluang kepada para ibu untuk dapat memberikan ASI eksklusif pada anak.
Di sisi lain, kebijakan tersebut dikhawatirkan akan semakin menjerumuskan perempuan ke ranah domestik dan membuat perempuan kehilangan akses terhadap pekerjaan, karena akan banyak perusahaan yang memilih mempekerjakan laki-laki agar perusahaan tetap bisa produktif.
Menariknya, RUU KIA juga memberikan perpanjangan cuti ayah (paternal leave) menjadi 40 hari, dari yang sebelumnya hanya 2 hari.
Tujuannya: agar laki-laki punya lebih banyak waktu untuk mendampingi istrinya sebelum dan setelah persalinan.
Baca juga: 4 Catatan Penting RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak yang Harus Kamu Tahu
Cuti Ayah: Kesetaraan dalam Urusan Domestik
Durasi cuti ayah yang lebih lama dapat memberikan laki-laki kesempatan yang lebih luas untuk semakin terlibat, atau mulai terlibat, dalam urusan domestik dan reproduksi sosial.
Misalnya, suami punya waktu lebih lama untuk mendampingi istrinya di rumah melewati masa-masa awal pasca melahirkan, yang kerap dianggap sebagai masa-masa paling rawan bagi psikologis ibu.
Sudah banyak jurnal ilmiah kesehatan yang membuktikan bahwa masa nifas atau masa pascamelahirkan (postpartum) merupakan masa yang penuh tekanan dibandingkan masa kehamilan bagi seorang ibu. Hal ini karena secara psikologis, ibu yang baru melahirkan cenderung mengalami emosi yang labil, utamanya mudah sedih dan tersinggung, akibat ketidakstabilan hormon.
Di fase itu, ibu sangat rentan mengalami postpartum depression (depresi setelah melahirkan) dan baby blues syndrome (gangguan suasana hati setelah melahirkan).
Baca juga: Perlindungan Makin Minim, UU Cipta Kerja Perburuk Nasib Pekerja
Peran dan dukungan ayah dapat berkontribusi amat besar bagi kondisi fisik maupun mental ibu dalam melewati fase tersebut. Semakin panjang masa cuti, akan semakin lama juga waktu yang dimiliki ayah untuk terlibat merawat dan memastikan tumbuh kembang anak, memastikan asupan nutrisi, serta memperkuat kedekatan (bonding) antara ayah dan anak.
Meskipun durasi cuti ayah belum sebanding dengan cuti ibu, namun perpanjangan masa cuti ayah menjadi isyarat untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya pembagian tugas domestik yang lebih seimbang antara laki-laki dan perempuan.
Kebijakan tersebut diharapkan dapat membantu memutus rantai budaya patriarki di Indonesia, yang selama ini masih lebih membebankan urusan domestik pengasuhan anak kepada perempuan.
Ketika perempuan dan laki-laki sama-sama bekerja, perempuan kerap menjadi pihak yang diharapkan lebih mampu menegosiasikan waktu kerjanya demi memenuhi kebutuhan anak.
Beban ganda yang dipikul perempuan—mengerjakan urusan domestik sekaligus bekerja di ranah publik—tidak jarang menjadi penghalang bagi perempuan untuk memaksimalkan peluang yang dimilikinya ketika ingin berkarir di luar rumah.
Konstruksi bahwa tempat laki-laki adalah di ranah publik dan perempuan di ranah domestik sebenarnya sudah mengakar sejak lama. Laki-laki sudah sekian lama menikmati keuntungan berkat privilese yang muncul akibat budaya patriarki.
Kini, saatnya laki-laki ‘meruntuhkan ego’, memutus rantai patriarki dengan membagi privilese itu dengan perempuan.
Cuti ayah, dalam hal ini, bisa bermanfaat dalam membangun pembagian kerja domestik yang lebih seimbang, sekaligus membantu pasangan suami istri mencari formula yang tepat dalam pembagian tugas domestik dan pengasuhan ketika nanti keduanya sudah kembali bekerja.
Laki-laki semakin, atau mulai, memahami bahwa mengerjakan pekerjaan domestik, termasuk mengurus anak, adalah pekerjaan berat yang membutuhkan waktu dan energi yang besar. Karenanya, laki-laki akan lebih mudah mengapresiasi pekerjaan perempuan.
Kondisi tersebut pada akhirnya juga akan meningkatkan kualitas hubungan di antara keduanya (ayah dan ibu).
Baca juga: Cuti Melahirkan 6 Bulan, Hati-hati 'Feminisasi' Kemiskinan dan Ibuisasi
Tantangan Implementasi Cuti Ayah
Walaupun perpanjangan cuti ayah menjadi suatu langkah maju bagi perjuangan kesetaraan gender dan membawa manfaat bagi kesejahteraan dan keharmonisan keluarga, wacana tersebut memiliki potensi menghadapi tantangan sosial budaya dalam implementasinya nanti ketika sudah disahkan.
Bahkan, di media sosial sudah banyak beredar komentar bernada meragukan dari warganet—kebanyakan laki-laki—terkait kebijakan cuti ayah selama 40 hari itu. Mereka mempertanyakan mengapa laki-laki diberi cuti selama itu padahal mereka tidak mengalami nifas dan tidak memiliki tanggung jawab menyusui. Ada pula yang mengkhawatirkan kejenuhan akibat terlalu lama di rumah.
Komentar-komentar tersebut muncul akibat masih kuatnya konstruksi menjadi ayah dan ibu yang ideal dalam konsep patriarki: peran ayah adalah sebagai pencari nafkah, sedangkan perempuan bertanggung jawab atas urusan domestik.
Maka, ketika kebijakan cuti ayah mendorong laki-laki untuk terlibat dalam urusan rumah tangga, hal tersebut masih dianggap tabu dan mengherankan.
Bukan tidak mungkin, alih-alih membantu dan berbagi tugas domestik dengan istri, suami justru akan menganggap masa panjang cuti ayah sebagai liburan sehingga kehadirannya di rumah akan menambah beban istri.
Tantangan lain yakni dukungan dari tempat kerja para laki-laki sendiri. Struktur perusahaan tempat mereka bekerja belum tentu ramah terhadap pilihan untuk mengambil cuti ayah selama 40 hari. Harus diakui bahwa masih banyak perusahaan maupun lembaga yang belum memiliki perspektif gender yang baik.
Tantangan sosio-kultural yang bersifat struktural semacam itu perlu diperhatikan secara khusus, sekalipun RUU KIA telah mengakomodasi untuk kebijakan cuti ayah.
Pada akhirnya, sebenarnya upaya mendorong cuti ayah yang optimal dan pelibatan laki-laki dalam pekerjaan domestik tidak perlu diglorifikasi, melainkan dinormalisasi saja.
Bahwa laki-laki terlibat dalam urusan domestik adalah hal yang normal, tidak spesial, dan memang sudah seharusnya dilakukan dalam rangka membangun relasi gender yang setara.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.
Comments