Women Lead Pendidikan Seks
June 04, 2022

‘RRR’: Sebuah Perayaan Sinema dari Tollywood

Pernyataan yang bilang ‘RRR’ adalah salah satu tontonan terbaik tahun ini, rasanya tak berlebihan.

by Candra Aditya
Culture // Screen Raves
Review RRR
Share:

Suatu hari setelah menonton RRR di bioskop, teman saya membuat tulisan panjang di Whatsapp-nya. Singkat cerita, dia bilang baru saja menyaksikan masterpiece. “Gue belum pernah nonton film kayak gini. Ini film terbaik tahun ini.”

Impresi itu diunggahnya April lalu. Tentu saja ini adalah statement yang luar biasa. Tahun 2022 masih menyisakan delapan bulan, tapi dia dengan percaya diri menahbiskan film garapan sutradara S.S. Rajamouli itu jadi film terbaik tahun ini.

Kalau dia bukan teman yang seleranya cukup bisa dipertanggungjawabkan, saya mungkin skeptis dengan statement tersebut. Tapi, teman saya bukan satu-satunya orang yang mengaku bahwa RRR adalah film terbaik tahun ini. Hampir semua orang yang menyaksikan RRR mengatakan hal yang sama.

Di Letterboxd, sosial media yang digunakan pecinta film untuk memberi rating dan impresi film yang baru saja mereka tonton, kamu akan melihat taburan bintang buat RRR. Bahkan saya sempat baca tweet yang bilang, “Semua film rasanya seperti hambar setelah RRR.”

Netflix baru-baru ini merilis RRR, bikin orang seperti saya dan kalian yang belum sempat menontonnya di bioskop, bisa menyaksikan sendiri film ini di rumah.

Setelah menontonnya, saya tidak bisa menyangkal statement itu: RRR adalah salah satu yang terbaik tahun ini.

Baca juga: ‘Stranger Things 4 Vol. 1’: Eksplorasi ‘Satanic Panic’ dan Trauma Amerika 80-an

Diangkat dari Dua Tokoh Revolusionaris di India

RRR—singkatan dari Rise Roar Revolt—adalah film India berbahasa Telugu (di Netflix rilis dalam bahasa Hindi), yang menceritakan tentang kisah persahabatan fiktif dua tokoh asli yang legendaris di India:  Komaram Bheem dan Alluri Sitarama Raju. Mereka berdua adalah tokoh revolusioner dalam perang melawan pemerintahan kolonial Inggris di Hyderabad, pada 1920-an.

Meski begitu, kisah Bheem (N.T Rama Rao, Jr) dan Raju (Ram Charan) dalam film buatan Rajamouli ini bukan bentuk adaptasi kisah nyata hidup dua tokoh perjuangan tersebut. Di sejumlah interview, ia menegaskan berkali-kali kalau Bheem dan Raju dalam RRR adalah versi fiksionalisasi berlebihannya.

Pernyataan itu tak berlebihan sama sekali, dan kamu bisa membuktikannya langsung di menit-menit pertama film dimulai. Gubernur tirani dan istrinya, Catherine (Alison Doody), sedang mengunjungi sebuah desa di tengah hutan. Terkesima pada bakat melukis dan menyanyi seorang gadis kecil bernama Malli (Twinkle Sharma), Catherine ingin membawanya pulang sebagai oleh-oleh. Ia “membeli” Malli, seolah-olah gadis itu adalah binatang ternak.

Ibu Malli menangis-nangis, memohon, dan berusaha meminta kembali anaknya. Dalam adegan begitu dramatis, kepalanya nyaris didor peluru oleh salah satu prajurit penjajah itu. Namun, si gubernur sempat-sempatnya berhitung harga sebutir peluru yang hampir terbuang buat kepala Ibu Malli, yang disebutnya sebagai “brown rubbish”. Alhasil, Malli harus menyaksikan kepala ibunya dihantam kayu besar oleh si prajurit Inggris.

Pembukaan spektakuler itu dilanjutkan adegan pengenalan dua karakter utama kita: Bheem dan Raju.

Di pinggiran Delhi, sebuah kantor polisi sedang didemo ribuan masa. Pagar kawat berdurinya hampir jebol, sang kepala polisi yang adalah orang Inggris sudah keringat dingin dan meminta bantuan ke pusat pemerintahan. Para demonstran itu meminta pemimpin mereka, Lala Lajpat Rai, dibebaskan.

Di dalam pagar, di depan kerumunan itu, berdiri tegap Raju, seorang polisi keturunan India yang lebih sakti dari Captain America. Cuma mendengar satu perintah dari si kepala polisi, Raju dalam adegan ultradramatis, amat tidak masuk akal, sekaligus bikin si kepala polisi mengingat Tuhan, langsung loncat ke dalam kerumunan massa untuk menangkap satu orang perusuh. Meski berdarah-darah, ia berhasil dan kembali tegak berdiri dalam barisan setelah melempar sang perusuh ke depan kaki bosnya.

Bheem, yang adalah pelindung suku Gond (suku yang didatangi Catherine di tengah hutan), memutuskan ke Delhi untuk mencari Malli. Sebelumnya, kita disuguhkan adegan Bheem beradu cerkas dengan serigala dan harimau hutan yang tak kalah dramatis. Ia lalu menyamar jadi Akhtar.

Dalam kecelakaan kereta paling spektakuler, paling bombastis, paling sinematik yang pernah saya tonton, Raju dan Akhtar kemudian bertemu. Mereka berdua, tanpa sepatah kata pun, bekerja sama untuk menyelamatkan seorang bocah laki-laki dari kecelakaan itu.

Ketika kedua tangan mereka menyatu, kamu akan melihat tulisan “RRR” besar di layar. Di saat itu juga, kamu akan tahu bahwa adegan itu adalah awal dari 3 jam penuh kekerenan tiada tara.

Baca juga: 4 Rekomendasi Film India yang Urai Patriarki dengan Gamblang

Bujet Gak Bohong!

Menurut Sakshi, surat kabar Telugu, RRR adalah salah satu film India termahal yang pernah ada. Bujet produksinya mencapai lebih dari 75 juta dollar Amerika. Di Indonesia saja, salah satu film termahalnya, Foxtrot Six, cuma menelan biaya 5 juta dollar Amerika.

Seringnya, bujet bombastis adalah gimik promosi yang diumumkan sebelum film tayang untuk menarik perhatian penonton. Seolah-olah bisa jadi jaminan pengalaman sinematik yang juga bombastis. Padahal, kenyataannya belum tentu. Namun, jaminan palsu itu tak berlaku buat RRR.

Kamu bisa melihat uang tersebut habis untuk menciptakan sebuah spektakel yang dahsyat, sejak awal sekali film diputar. Adegan dramatis kepala ibu Malli yang dipukul dengan kayu besar, koreografi dari banyak angle kamera dalam pertarungan Raju melawan massa demonstrasi, pertarungan Bheem dengan harimau CGI yang pergerakannya amat halus dan presisi—adalah sebagian kecil bukti betapa mahal dan seriusnya film ini dibuat.

Seperti kebanyakan film laga blockbuster, RRR bercerita menggunakan adegan-adegan dahsyat. Adegan-adegan itu (misalnya adegan kejar-kejaran di jalanan khas-khas film Hollywood) dibikin dengan perhitungan tertentu. Biasanya tak akan lebih dari tiga sampai empat kali dalam satu film aksi atau laga. Gunanya untuk menjaga alur cerita, dinamika ketegangan penonton, dan menghemat bujet.

Sementara dalam RRR, adegan-adegan bombastis dan over-the-top itu muncul sejak awal film, tanpa putus. Semuanya, dibuat dengan begitu berlebihan. Kadang-kadang, rasanya seperti menonton anime. Energi dan gaya yang berlebihan itu ternyata cara efektif untuk menceritakan kisah ini. Sebagai penonton, saya merasa terjebak dalam ceritanya secara instan.

Banyak sekali adegan, yang saking tidak masuk akalnya, membuat saya melongo. Namun, tetap peduli pada ceritanya, dan melupakan dunia nyata.

RRR terasa seperti tiga jam penuh klimaks yang tak berkesudahan. Bahkan, ketika alur filmnya melambat, dan agak mellow, RRR tidak pernah kendur. Unsur sensasionalnya selalu muncul.

Bahkan dalam adegan-adegan musikal, yang jadi ciri khas film-film Bollywood.

Sebagai, film keluaran Tollywood, RRR juga punya adegan musikal yang tentu saja diatur seratus kali lebih heboh dari adegan “nyanyi-nyanyi” yang biasa kamu lihat di film-film Hollywood. Salah satunya dipakai setelah pertemuan pertama Bheem dan Raju, situasi haru yang menyulut kerusuhan.

Baca juga: 7 Film Bollywood Terlaris yang Membicarakan Isu Sosial

Belum lagi adegan tari-tarian di acara kumpul-kumpul sosialita Inggris menyebalkan, yang akan bikin waralaba Step Up seperti sebuah lelucon.

Meski fokus menghibur penonton dengan adegan-adegan hiperbola, RRR tidak pernah lupa untuk melaksanakan tugasnya menyampaikan pesan sosial tentang jahatnya imperialisme Inggris pada tanah India. Para karakter Inggris tampil licik, jahat, sadis, berdarah dingin dengan sangat gamblang.

Menurut saya, ini adalah cara yang sangat efektif untuk menggambarkan betapa kejam dan rasisnya penjajahan Inggris selama berkuasa di India. Cara mereka memperlakukan warga asli, mengadu domba sesama warga, dan memperlakukan orang India seperti warga kelas dua adalah detail-detail yang ditanam rapi sepanjang film.

RRR juga tidak segan-segan untuk menampilkan kekerasan, termasuk melibatkan kucuran darah segar. Pukulan demi pukulan terasa 3D di depan mata. Setiap tendangan sengaja dibuat slow-motion. Bahkan, salah satu adegan musikalnya melibatkan pecut yang berduri.

Buat saya, RRR adalah salah satu film dengan statement politik paling keras yang bisa kamu tonton tahun ini.

Menyaksikan adegan-adegan bombastis ini malah terlihat sebagai penghormatan buat dua tokoh legendaris yang dijadikan Rajamouli inspirasinya membuat RRR. Satu-satunya penyesalan yang mungkin tidak bisa terjadi adalah melewatkan kesempatan menonton masterpice ini di layar bioskop. Pengalaman komunal menonton di ruang gelap dengan perangkat audio-visual canggih rasanya bikin penasaran.

Kalau ada yang bilang RRR adalah action film like you’ve never seen before, percayalah. Film ini akan membuat Anda bahagia.

Candra Aditya adalah penulis, pembuat film, dan bapaknya Rico. Novelnya ‘When Everything Feels Like Romcoms’ dapat dibeli di toko-toko buku.