Diskusi mengenai kesehatan jiwa, terutama untuk perempuan, tidak banyak ditemui karena stigma terhadapnya. Itu sebabnya Magdalene dan Ke:kini working space mengangkatnya menjadi tema untuk Ruang (Ny)aman, acara bulanan yang dimaksudkan untuk menjadi tempat yang aman bagi perempuan untuk berbagi tanpa digurui atau dihakimi. Sesi yang berlangsung 23 Agustus itu mendapat animo yang besar, dengan pendaftar lebih dari 50 orang, padahal sesi Ruang (Ny)aman biasanya dibatasi untuk 15 peserta saja agar suasananya intim.
Animo yang besar tersebut membuktikan bagaimana isu kesehatan jiwa masih menjadi isu yang jarang dibahas dalam kehidupan sosial masyarakat kita, padahal perempuan rentan gangguan kesehatan mental karena banyaknya peran yang dipikul dan tekanan yang mereka hadapi setiap hari. Banyak perempuan-perempuan yang akhirnya diam dan abai terhadap kesehatan mental mereka karena terlalu banyak stigma yang mengikuti isu kesehatan mental, dan tidak sedikit juga orang-orang terdekat yang mengungkit-ngungkit bahwa ini akibat kurangnya mereka mendekatkan diri pada Tuhan. Bukannya membaik, hal itu malah memperburuk situasi dan mendorong sebagian orang ingin mengakhiri hidup mereka, seperti diungkapkan para peserta yang hadir.
I G. A. A. Jackie Viemilawati, psikolog klinis dan antropolog medis dari Yayasan Pulih yang menjadi narasumber sesi minggu lalu, mengatakan bahwa ada beberapa tanda ketika kesehatan mental seseorang terganggu, seperti perubahan yang signifikan dalam diri dan kesulitan berfungsi sosial seperti dalam keluarga atau dalam pekerjaan. Dalam berkehidupan sosial, banyak hal yang menjadi faktor risiko seorang perempuan menghadapi kesehatan mental, mulai dari diri mereka sendiri, keluarga dan relasi, dan lingkungan sekitar mereka.
Ketidaksetaraan gender adalah juga salah satu faktor risiko yang membuat perempuan mengalami gangguan kesehatan mental, menurut Jackie. Ekspektasi gender banyak menekan perempuan untuk menjadi orang lain dan bahkan tidak mengenali diri mereka sendiri, ujarnya.
“Sistem patriarki dan konstruksi gender ini merugikan laki-laki juga, tapi lebih banyak perempuan yang dirugikan. Bahkan dalam relasi kelompok perempuan, yang seharusnya menjadi support system sesama perempuan, malah seperti pedang bermata dua juga, karena dalam hubungannya pun perempuan juga sering menjadi pelaku bullying secara psikologis,” tambahnya.
Jackie mengatakan secara biologis perempuan memang akan terpapar pada perubahan karena mengalami menstruasi dan menopause, tapi faktor biologis ini juga menimbulkan ketimpangan gender.
“Apalagi ketika menopause dikaitkan dengan nilai-nilai sosial bahwa ‘Oh, berarti dia sudah tidak subur lagi’. Ketika fungsi itu tidak ada, nilai dia berkurang. Itu yang menambahkan faktor risiko kesehatan mental bagi perempuan,” ujarnya.
Gangguan kesehatan mental yang sering dialami perempuan di antaranya adalah Gangguan Stres Pasca-Trauma (PTSD), kecemasan dan gangguan pola makan. Yang terakhir terjadi karena perempuan dibombardir media dengan citra tubuh dan standar kecantikan seperti harus berkulit putih, berambut lurus panjang dan langsing.
Dalam menangani kesehatan mental, Jackie menuturkan, tidak hanya individunya yang diobati namun faktor-faktor yang mengelilingi individu tersebut juga harus diperbaiki dan diperhatikan, salah satunya adalah mengurangi pemberian stigma pada penderita kesehatan mental.
“Entah dengan policy yang membaik, akses kesehatan yang lebih baik, norma yang tidak memojokkan, mencoba mengubah mindset. Kesehatan mental adalah tanggung jawab semua orang,” kata Jackie.
Di paruh terakhir, Jackie menjelaskan mengenai Window of Tolerance yaitu salah satu cara untuk meregulasi emosi agar individu dapat berfungsi secara efektif. Ada tiga bagian dalam Window of Tolerance ini: hyperaroused, comfort zone atau regulated emotion, dan hypoaroused. Pada bagian pertama individu mengalami kondisi peningkatan ketegangan psikologis dan fisiologis, seperti kemarahan dan panik ekstrem ketika menghadapi suatu pemicu, sedangkan hypoaroused kebalikannya, dimana individu hanya terdiam dan tidak merespon atau merasakan apa-apa ketika menghadapi masalah.
Seseorang dikatakan emotionally regulated atau teregulasi emosinya dan berfungsi dengan baik ketika mereka dapat menyeimbangkan emosi di antara kedua bagian tersebut. Window of tolerance ini, menurut Jackie, dapat dicapai lewat beberapa tahapan. Tahap pertama disebut dengan mindfulness yaitu dengan tahu mereka ada di mana dan menjalani aktivitasnya dengan penuh kesadaran. Tahap kedua adalah dengan melakukan self- soothing, atau menenangkan diri dan emosi. Tahap ketiga dengan mengambil nafas perlahan dan dalam. Tahap selanjutnya, menyadari bahwa ada gangguan dalam diri kita dan menangkis hal-hal negatif yang muncul dengan pernyataan positif mengenai diri dan pilihan baru. Tahapan-tahapan ini dapat membantu seseorang untuk tetap berada dalam window of tolerance mereka.
Cara-cara ini, menurut Jackie, akan membantu individu untuk dapat memproses dan memecahkan masalah sehari-hari, dan jika hal ini dilatih ini akan memperbesar kesempatan kita untuk menghadapi masalah kesehatan jiwa dengan baik.
Sesi Ruang (Ny)aman kali itu merupakan sesi paling ramai pesertanya, berjalan dengan cair, dengan antusiasme tinggi dari para peserta, terlihat dari keaktifan dalam berdiskusi. ini menandakan bahwa banyak perempuan yang mencari tempat yang nyaman dan aman untuk membicarakan isu kesehatan mental ini, dan perlu lebih banyak diskusi-diskusi tanpa penghakiman mengenai isu kesehatan mental.
Baca juga mengenai maraknya KDRT dalam pernikahan muda.
Ilustrasi oleh Florinda Pamungkasputri.
Comments