Women Lead Pendidikan Seks
September 23, 2022

Saat Feminis Terbelah dalam Isu Pekerja Seks

Para feminis jarang satu suara jika membahas pekerja seks. Sebab, isu ini memang lebih kompleks dari kelihatannya.

by Jasmine Floretta V.D., Reporter
Issues // Gender and Sexuality
Lokalisasi_Prostitusi_SexWorker_PekerjaSeks_SarahArifin
Share:

Pada (12/9), akun @NatNatalie bikin heboh Twitter. Semua berawal dari spill the tea akun @ciaobellee, yang mengunggah tangkapan layar chat pribadi Natalie dan kliennya di Tinder. Dari kehebohan ini, mencuat satu diskusi panas warganet: Lonte atau pekerja seks. 

Natalie memang secara terang-terangan mengakui profesinya sebagai pekerja seks. Dalam cuitannya, ia bahkan bilang, tak apa jika perempuan “ngelonte”. Pasalnya, lonte adalah salah satu profesi tertua di peradaban dunia, sehingga kita tak perlu menghinanya. Ia bangga dengan pekerjaannya, dan menyebut semua orang yang mengkonfrontasinya sebagai “lonte”. 

Elu bilang bahwa elu beda, elu gak "jualan tubuh". Padahal tiap hari elu kerja 10 jam, sampe mata pedes, punggung sakit, tubuh dan mental mau remuk rasanya, dengan bayaran 3 juta per bulan itu apa? Itu bukan "jualan tubuh" juga? Semua org adalah "lonte". Cuma yg "dijual" beda,” kata Natalie dalam salah satu cuitannya.

Baca Juga: Tubuhku Bukan Milikku: Perkara Ruwet Dipaksa Berjilbab

Perdebatan yang Tak Pernah Usai

Perbincangan terkait pekerja seks yang ramai berhari-hari di Twitter itu mengingatkan saya pada rekan-rekan feminis. Buat para feminis, isu mengenai pekerja seks akan selalu jadi

medan “baku hantam”. Opini mereka terbelah, bahkan polarisasi besar-besaran, feminist sex wars pernah terjadi sebelumnya.                                                                                  

Ann Ferguson, filsuf Amerika dan Profesor Emerita Filsafat dan Studi Perempuan di Universitas Massachusetts Amherst dalam Sex War: The Debate between Radical and Libertarian Feminists menjelaskan soal ini. Menurutnya, pada akhir 1970-an hingga 1980-an, terdapat ketidaksepakatan pandangan antara para feminis soal seksualitas perempuan, salah satu isu utama dalam gelombang feminisme kedua (1960-an awal sampai 1980-an akhir).

Kendati semua feminis dalam feminist sex war setuju seksualitas adalah bentukan, dan seksualitas penting dalam pengembangan diri perempuan, ternyata masih ada beda pandangan lain. Carisa R. Showden dalam Feminist Sex Wars menuturkan, para feminis memperdebatkan apakah prostitusi, pekerja seks, serta pornografi merupakan kekerasan terhadap perempuan. Pun, apakah perempuan yang berada di dalamnya bisa terbebas dari harapan patriarki yang membatasi identitas serta praktik seksual mereka.

Baca Juga: Prostitusi Bukanlah Pilihan

Kubu Kontra, Para Feminis Radikal

Sebagai kubu kontra, para feminis radikal menekankan, dalam masyarakat patriarki seksualitas menjadi alat dominasi laki-laki. Buat mereka, ini sangat bermasalah karena relasi antara perempuan pekerja seks dengan mayoritas klien laki-laki tak setara. Laki-laki sebagai subjek atau tuan dan perempuan sebagai objek atau budak. Pola relasi inilah yang dinilai melanggengkan kekerasan terhadap perempuan.

Catharine MacKinnon, feminis radikal dalam tulisannya Trafficking, Prostitution, and Inequality (2009, 2010, 2011) menuturkan, prostitusi mempromosikan hak laki-laki dengan memberikan akses komersial ke tubuh perempuan.

Maksudnya, prostitusi memastikan hak laki-laki untuk mengakses kesenangan seksual melalui tubuh para perempuan pekerja seks sesuai permintaan mereka. Ini adalah institusi yang membuat perempuan tetap berada dalam kemiskinan.

Dengan demikian, perempuan pekerja seks tidak dapat benar-benar memiliki konsen atas tubuhnya sendiri karena prostitusi jadi praktik dari kurangnya pilihan perempuan di dunia yang mengopresi mereka. Seksualitas dijual oleh perempuan karena perempuan tak punya hal lain yang bisa ditawarkan.

“Jika prostitusi adalah pilihan, kamu akan berpikir akan ada lebih banyak laki-laki yang terlibat di dalamnya. Namun pada kenyataannya, “manusia” berarti “laki-laki” dalam prostitusi. Kebanyakan pembeli adalah laki-laki dan orang yang dibeli adalah perempuan.”

Selain itu, pekerja seks juga rentan menghadapi kekerasan tiap harinya. Melissa Farley dalam penelitiannya, Prostitution, Violence, and Posttraumatic Stress Disorder sepakat soal ini. Dalam hematnya, kekerasan adalah fondasi dari seks komersial karena kemungkinan pekerja seks mengalami kekerasan saat terlibat dalam model bisnis ini.

Farley menambahkan, prostitusi dapat menghasilkan sederet trauma dalam segala bentuk. Ia mencontoh legalisasi pekerja seks di Belanda yang justru membuat kekerasan yang memicu trauma meningkat. Lebih dari 90 persen pekerja seks cenderung menunjukkan gejala Gangguan Stres Pascatrauma sebagai akibat dari kekerasan interpersonal dari pekerjaan mereka.

Baca Juga: Prostitusi dan Hak Seksual

Kubu Pro, Feminis Libertarian atau Sex Positive Feminist

Berbeda dengan pandangan kelompok feminis radikal, feminis libertarian atau sex positive feminist memadang, prostitusi adalah salah satu cara perempuan mengklaim kembali seksualitas mereka. Mereka mengritik pedas para feminis radikal yang memandang perempuan pekerja seks adalah korban yang perlu dikasihani.

Seakan-akan para perempuan ini sepenuhnya adalah korban tak berdaya yang tak punya agensi diri, bahkan untuk menentukan nasib hidupnya sendiri. Dalam hemat feminis libertarian, feminis radikal secara tak sadar mengadopsi pendekatan "paternalistik" terhadap pekerja seks sebagai individu yang membutuhkan penyelamatan

Dalam The Implications of our Lives: Choice, Agency, and Intersectionality in Prostitution (2020) dijelaskan bagaimana para feminis libertarian memahami pekerja seks dan prostitusi tak bisa dilihat lewat hitam putihnya saja. Mereka mengakui ada banyak perempuan yang dipaksa atau terpaksa menjadi pekerja seks. Namun, banyak juga perempuan yang memutuskan jadi pekerja seks secara sukarela karena memang itu adalah pilihan mereka.

Karena itu, menurut para feminis libertarian, kita perlu membedakan antara prostitusi yang memang hadir untuk memperdagangkan perempuan dengan prostitusi yang membebaskan perempuan.

Buat mereka, feminis radikal gagal melihat hal ini karena mereka hanya terfokus pada perdagangan perempuan melalui prostitusi. Sementara, prostitusi yang membebaskan perempuan menurut feminis libertarian bisa bisa jadi tempat "aktualisasi diri" untuk para pekerja seks, "ruang untuk kecerdasan dan kreativitas yang memberdayakan mereka sebagai agen seksual. Bahkan selain pemberdayaan seksual, prostitusi memberi perempuan mobilitas ekonomi.

Hal ini misalnya disampaikan oleh pekerja seks bernama Shabana yang diwawancarai oleh The New York Times pada 2016. Ia berhasil keluar dari lingkaran kekerasan yang membuat salah satu adik perempuannya dibakar hidup-hidup justru setelah menjadi pekerja seks. Ia tak lagi harus bergantung pada orang lain untuk bertahan hidup dan ia tak perlu terikat lagi dengan laki-laki yang mungkin akan melukainya.

Karena itu, alih -alih percaya prostitusi menandai hilangnya hak-haknya perempuan, feminis libertarian melihatnya sebagai cara untuk mengurangi ketidaksetaraan relasi perempuan dan lelaki di pasar kerja. Perempuan juga bisa berdaya, menentukan keputusan dalam tubuhnya, juga menentukan sumber ekonominya.

Artikel ini tak dimaksudkan untuk memihak satu kubu. Sebab, terlepas dari dua pendapat kubu itu, kita mesti sepakati, pekerja seks adalah isu penting yang punya banyak lapis permasalahan.

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.