Women Lead Pendidikan Seks
February 10, 2022

Permak Vagina, Keperawanan, dan Dalih Basi Senangkan Suami

Ujung-ujungnya, konsep kesucian atau keperawanan untuk suami ini adalah pengingat bahwa seksualitas perempuan kerap dipandang sebelah mata.

by Purnama Ayu Rizky, Redaktur Pelaksana
Issues // Gender and Sexuality
Share:

Dalam kebanyakan budaya timur, ada pameo umum bahwa keberhasilan pertama seorang istri adalah menjaga keperawanan, sehingga suami puas di malam pertama. Celakanya, indikasi keperawanan sering kali cuma diukur dari keluarnya darah akibat selaput dara yang koyak, alih-alih penetrasi betulan. Padahal, selaput dara bisa robek karena sebab-sebab jamak, seperti berenang, bersepeda, berkuda, cedera, penggunaan tampon, atau masturbasi.

Hal inilah yang bikin Nahid pusing tujuh keliling. Saat usianya 18 tahun, ia mendatangi sahabatnya, Satrapi yang kala itu sudah bercerai dari suami pertama. Di Iran, banyak perempuan yang bercerai muda, sama banyaknya dengan perempuan yang menikah saat usia belia.

Nahid sendiri dijodohkan dengan lelaki pilihan keluarga. Namun, tiga minggu jelang pernikahan, kecemasannya makin menjadi. “Aku enggak perawan. Aku sudah berhubungan seks dengan kekasihku dulu,” katanya pada Satrapi.

Ia takut jika selaput daranya tak bisa mengeluarkan darah, suaminya akan muntap dan melaporkannya pada sang ayah. Jika itu terjadi, sudah barang tentu ayahnya akan mengamuk dan menganggap Nahid telah mencoreng arang di dahi keluarga. 

Kasihan dengan sahabatnya, Satrapi punya ide cemerlang. “Bawalah silet ini di malam pertamamu, lalu sayat perlahan ujung kulitmu agar darah bisa keluar. Darah keperawanan palsu itu nantinya bakal membuat suami merasa jantan dan kamu dianggap masih perawan.”

Sayangnya, misi itu gagal total karena Nahid keburu panik duluan. Bukannya menggores kulit sendiri, Nahid justru menyayat testis suaminya. Lelaki malang itu tak lagi memedulikan keperawanan Nahid, karena kejantanannya sendiri telah hancur akibat goresan silet.

Baca juga: Kenapa Perempuan Ingin Vagina Rapet?

Fragmen kisah Nahid ini tertuang dalam buku favorit saya, Embroideries (2006) karya Marjane Satrapi. Meski latar waktunya di zaman baheula, tapi kisahnya terbilang relevan di era sekarang. Buktinya, dewasa ini, dari orang biasa hingga pesohor sekaliber Nikita Mirzani dan Dewi Perssik sampai repot-repot melakukan operasi permak vagina. Mereka sengaja merogoh kocek ratusan juta agar vagina kembali rapat. Tak ada yang keliru dengan itu, yang salah adalah kebanyakan prosedur tersebut dilakukan bukan untuk diri sendiri, tapi menyenangkan pasangan.

Inilah yang membuat glorifikasi keperawanan tetap langgeng kendati zaman sudah berubah. Ruth Mazo Karras, Profesor Sejarah dari Universitas Minnesota menyebutkan dalam Sex in the Middle Ages (2016), konsep kesucian atau keperawanan yang sudah eksis di Eropa abad pertengahan, berangkat dari anggapan, kepantasan perempuan untuk menikah bergantung dengan kemurnian reproduksi dan seksualitasnya. Karena itulah perempuan berjibaku mati-matian menjaga keperawanannya.

Tak cuma di Iran yang marak dengan embroidery atau membordir ulang vagina, di Tunisia, Turki, hingga Arab Saudi, praktik ini jamak dilakukan. Kebanyakan dilakukan oleh perempuan, mengingat kelompok ini cenderung punya rasa bersalah yang lebih besar ketimbang lelaki ketika ia gagal menjaga keperawanan hingga menikah. Riset Lipman, C. M., & Moore, A. J. bertajuk Virginity and Guilt Differences between Men and Women (2016) mengonfirmasi ini. Bahwa lelaki setelah kehilangan keperawanan akan cenderung lebih cepat mengalihkan rasa bersalah dengan move on ke perempuan lain. Sementara, perempuan lebih lama merenungkannya.

Dari Husband Stitch hingga Operasi Permak Vagina


Prosedur untuk menyenangkan suami dengan kembali jadi “perawan” disebut-sebut bisa ditempuh dengan berbagai cara. Dr. V. Leroy Young dari American Society of Plastic Surgeons kepada The New York Times berujar, prosedur genital berkembang pesat. Yang paling populer
adalah pengencangan otot-otot vagina (vaginoplasty), sedot lemak di sekitar genital, dan pengurangan labia minora (labiaplasty). Dokter yang melakukan operasi, biasanya pada pasien rawat jalan dalam waktu kurang dari dua jam mematok biaya dari US$3.500 sampai 8.000.

Meski terbilang mahal, animo perempuan untuk melakukan permak vagina lumayan besar. Dr. Bernard H. Stern, ginekolog di Fort Lauderdale, Florida yang fokus pada bedah kosmetik genital empat tahun lalu bilang, jumlah pasiennya meningkat empat kali lipat. Sehingga, dalam sehari, ia bisa melakukan empat hingga lima operasi.

Lantas apa yang mendorong prosedur ini menjadi marak?

"Para perempuan merasa tidak diinginkan atau tidak cantik," kata Dr. Stern.

Baca juga: Tidak Perawan Lagi Berarti Rusak?

Ini tak bisa dilepaskan dari faktor industri yang mendikte definisi cantik di mana perempuan harus memakai baju renang tipis, mencukur bulu kemaluannya, dan makin banyak imej ketelanjangan di majalah, film, dan di internet.

Seorang instruktur yoga dari Boston, Amerika Serikat yang melakukan operasi permak vagina mengeluhkan, bentuk kemaluannya tak seindah yang diperlihatkan di film-film porno. 

“Kemaluan saya berbentuk asimetris, bagian dari bibir vagina bagian dalam memanjang sekitar setengah inci di luar labia luar,” katanya saat diwawancara The New York Times.

Senada, ibu rumah tangga berusia 34 tahun dari Long Island mengatakan, meski suami tidak terganggu dengan bentuk vaginanya pasca-melahirkan, ia merasa kurang percaya diri. Sehingga, ia memilih melakukan prosedur tersebut. Pun, agar suami juga merasa lebih puas.

Yang problematis dari upaya memuaskan suami ini nyatanya tak hanya dijumpai pada prosedur medis vaginoplasty, labiaplasty, dan sejenisnya. Adalah husband stitch, upaya menjahit lubang vagina usai-melahirkan yang juga diarahkan agar suami merasa senang dan kenikmatan seksual bisa diperoleh. Anehnya, ini kerap kali dilakukan oleh tenaga medis tanpa memerhatikan consent dari para perempuan tersebut.

Kisah Carmen Maria Machado berjudul Husband Stitch (2014) yang dipublikasikan di Granta mungkin jadi salah satu yang populer. Tak tanggung-tanggung, tulisan ini membuat banyak perempuan melek bahwa mereka telah dirugikan akibat prosedur ini. Namun jika dirunut lagi, jahitan suami itu tak bermula di sana. Mengutip Vice, jahitan tak perlu itu pertama kali didefinisikan di media cetak oleh advokat persalinan alami Sheila Kitzinger dalam bukunya The Year After Childbirth (1994). Seiring berjalannya waktu, sebagian besar jahitan itu dilakukan atas permintaan suami, alih-alih kehendak sadar sang istri.

“Kinasih”, ibu muda dari Yogyakarta yang melahirkan pada April 2021 lalu menceritakan pengalamannya dijahit di bagian genital.

“Saya terlalu sibuk dengan rasa sakit dan trauma pasca-melahirkan, sehingga tak sadar kalau dokter tanpa izin telah mengecilkan lubang kemaluan saya dengan sejumlah jahitan,” katanya pada Magdalene, (9/2).

Tak ada izin, tak ada persetujuan, dan dia juga tak bisa menuntut apa pun. Pasalnya, sang suami juga tak merasa keberatan saat Kinasih melakukan prosedur tersebut. Namun, dampak untuk perempuan 24 tahun itu tak main-main. Selang beberapa waktu, jaringan parut yang menyakitkan muncul, sehingga membuat ia merasa kesakitan tiap kali buang air. Tak hanya itu, ia juga menduga ada kerusakan saraf dari bekas jahitannya lantaran tiap berhubungan seks, ia tak merasakan adanya sensasi atau kesenangan.

Baca juga: Menjadi Seorang Perawan

Efek samping yang menyakitkan ini nyatanya juga terjadi pada prosedur medis, seperti vaginoplasty. Si pasien diminta tak beraktivitas berat hingga pernikahan tiba, dan disarankan untuk menjalani operasi dalam beberapa minggu sebelum ke pelaminan. Hal ini karena prosedur ini biasanya meninggalkan efek samping yang lumayan dan bervariasi pada tiap-tiap orang.

Dr Laura Berman, direktur klinik pengobatan untuk disfungsi seksual perempuan di Chicago, Berman Center, mengatakan pada The New York Times, beberapa pasiennya mengeluh sakit atau tidak bisa lagi terangsang secara seksual setelah menjalani beberapa prosedur. Tidak seperti kebanyakan prosedur kosmetik lainnya, katanya, operasi plastik genital berpotensi merusak fungsi organ kelamin.

"Setiap kali kamu menjalani operasi yang melibatkan segala jenis intervensi pada alat kelamin, biasanya konsekuensi yang muncul selalu terkait dengan fungsi seksual di masa depan," katanya.

Karena itulah, ia justru merekomendasikan tindakan yang tidak terlalu drastis, seperti latihan kegel untuk memperkuat otot panggul. Toh, pada dasarnya, otot vagina sudah didesain sedemikian rupa agar tetap elastis, sehingga hanya perlu dilatih untuk membuatmu merasa lebih nyaman.

Konstruksi Absurd yang Rugikan Perempuan

Ujung-ujungnya, konsep kesucian atau keperawanan untuk suami ini adalah pengingat bahwa seksualitas perempuan kerap dipandang sebelah mata. Perempuan dalam hal ini pun tak dilihat sebagai individu yang punya kompleksitas dan karakter yang punya nilai. Buat banyak orang, kamu cuma bisa diakui sebagai perempuan sejati ketika mampu menjaga kehormatan diri. Padahal kita sama-sama tahu, kehormatan tak terletak di selangkangan.

Sama seperti lelaki yang tak dibebankan tugas untuk menjaga keperawanan mereka. Bahkan, sebanyak apapun mereka melakukan masturbasi, hubungan seks, konstruksi yang terbentuk di masyarakat, mereka dianggap sosok yang jantan. Sebaliknya, perempuan yang blak-blakan bicara seksualitas dianggap sebagai perempuan “nakal”.

Standar ganda ini sayangnya terus dirawat dalam kebudayaan dan agama-agama kita. Riset yang dilakukan Lipman di atas juga menjelaskan betapa agama telah menyandera perempuan untuk patuh pada konsep yang absurd soal keperawanan ini. Mungkin karena itu pula, tes keperawanan untuk masuk TNI/ Polri/ dan institusi lainnya masih hanya diperuntukkan untuk perempuan. 

Buat kamu yang ingin melakukan prosedur apapun untuk meremajakan vagina, tulisan ini tak dimaksudkan untuk menghakimi pilihan tersebut. Namun, sebagai sesama perempuan yang pernah merasakan tak enaknya dihakimi karena persoalan kesucian, dianggap binal hanya karena memilih untuk tak peduli dengan tuntutan menjaga keperawanan hingga kawin, dan juga merasakan prosedur jahitan suami (husband stitch) yang tak mengenakkan, saya menyarankan agar kamu melakukan ini semua dengan kesadaran penuh. Sadar bahwa itu semata-mata untuk diri sendiri, kesenanganmu, seksualitasmu, kebahagiaanmu. Bukan kebahagiaan suami, mertua, apalagi industri yang mendikte kita soal imej vagina ideal.

Jadi wartawan dari 2010, tertarik dengan isu gender dan kelompok minoritas. Di waktu senggangnya, ia biasa berkebun atau main dengan anjing kesayangan.