Women Lead Pendidikan Seks
June 04, 2020

Saat Pandemi, Apakah Wartawan Boleh Bilang ‘Mana THR-nya, Ndan?’

Gaji sering telat, THR belum masuk juga, wartawan yang satu ini mempertanyakan idealismenya dalam menolak amplop dari narasumber.

by M. Ihsan Yurin
Issues // Politics and Society
Jurnalis_Media_Wartawan_KarinaTungari
Share:

Di malam takbiran, insting jurnalistik saya menggebu-gebu untuk dipuaskan. Di tengah kegagapan pemerintah mengambil kebijakan terkait pandemi COVID-19, saya merasa yakin tingkat ke-“terserah”-an masyarakat akan meningkat drastis di H-1 Lebaran.

Setelah selama puasa diimbau untuk tidak berkerumun, saya merasa momen Lebaran akan jadi tombak permisif paling spiritual yang bisa digunakan menentang segalanya, termasuk untuk berkerumun dan melanggar protokol kesehatan lain yang membahayakan jiwa.

Dugaan saya benar. Di kota kecil tempat saya tinggal, Perawang di Riau, masyarakat tumpah ruah menyambut Idul Fitri. Malam takbiran tahun ini tak ada beda dari tahun-tahun sebelumnya, kecuali kini hampir semua orang memakai masker dan tidak ada "Bedug Band" yang berkeliling menggunakan mobil L300. Saya tidak lihat ada yang secara literal menjalankan "takbiran". Atau barangkali sebab ada imbauan resmi dari pemerintah yang melarang kegiatan "takbiran". Bisa jadi.

Saya berdiri di pinggir jalan. Mencari sudut pandang paling baik mengambil foto pelanggaran protokol pembatasan fisik, pembatasan muatan kendaraan, dan tentu saja, mpet-mpetan. Saat sibuk memotret, ada pengendara berteriak, yang saya sangkakan, ditujukan kepada saya.

"Amplop, amplop!" ujar pengendara yang saya tak tahu di mana batang hidungnya itu.

Dada saya sesak. Saya tersinggung. Kalau saya tahu siapa orangnya, ada kemungkinan saya akan tanya dengan nada ketus, maksud pernyataannya apa. Apa sebab saya memotret-motret jalanan, berlagak seperti wartawan (walau memang benar saya wartawan), ada polisi lalu lintas bertugas, momen lebaran, sulit ekonomi, sehingga bentukan saya disimpulkan tengah mencari “uang tambahan”?

Kalau teriakan itu benar ditujukan ke saya, sebenarnya orang itu tidak benar-benar salah. Hasil penelitian Thomas Hanitzsch, pakar jurnalistik yang meriset karakter wartawan Indonesia dalam karyanya yang berjudul Journalists in Indonesia: Educate but Timid Watchdogs (2006) menemukan, lebih 46,2 persen dari total wartawan yang diwawancarainya membenarkan "uang tambahan" atau "amplop" saat liputan, meski beberapanya dilanda dilema. Di lapangan, di grup-grup humas instansi, teman-teman wartawan juga tidak malu lagi basa-basi, "THR-nya mana, Ndan?"

Teorinya, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) tidak mungkin hampir setiap tahun mengingatkan wartawan agar jangan terima THR dari narasumber, dan narasumber jangan memberi apa pun kepada wartawan di waktu Lebaran, kalau praktiknya di lapangan tidak masif. Dewan Pers bahkan mengeluarkan surat edaran resmi bernomor 264/DP-K/V/2018 tentang pelarangan memberi THR kepada jurnalis, organisasi pers, dan perusahaan media. Pembahasan mengenai THR dan wartawan mudah ditemukan di internet. Coba saja baca-baca hasil pencarian kata kunci "THR wartawan" di Google.

Tidak sulit memahami bahwa pemberian THR, uang tambahan alias amplop, atau hadiah lain yang termasuk dalam definisi gratifikasi akan memengaruhi independensi wartawan. Wartawan dikhawatirkan akan secara psikologis merasa utang budi dan tidak mampu bertindak serta berpikir dengan adil menghadapi permasalahan-permasalahan si pemberi "uang tambahan".

Baca juga: Jurnalis di Tengah Pandemi: Upah Tertunda, PHK, sampai Ancaman Keamanan

Selain itu, seperti dilansir Antara, AJI Jember mengatakan, Dewan Pers meminta seluruh elemen untuk menolak ketika ada jurnalis yang datang meminta THR atau bingkisan hari raya, untuk tetap menjaga moral dan etika profesi dalam menjaga kepercayaan publik dan menjunjung tinggi profesionalisme jurnalis.

"Pemberian THR kepada jurnalis bukan menjadi kewajiban pejabat publik atau narasumber, melainkan kewajiban perusahaan media tempat jurnalis tersebut bekerja. Itu sesuai Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 6 Tahun 2016 tentang THR Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan," ujarnya Ketua AJI Jember, Friska Kalia pada 2018 silam.

Selesai. Hukum menerima THR dan uang tambahan bagi wartawan dalam pendapat paling ideal menurut saya, adalah haram. Apa pun alasannya.

Sampai di sini, saat ini, saya masih bisa bilang kalau kalian tidak mampu menerima kenyataan ini, silakan berhenti jadi wartawan daripada menambah rusak citra wartawan di mata umum.

Tapi ...

Saya selalu berpikir, sampai kapan bisa selalu begini. Media tempat saya kerja beberapa bulan terakhir selalu telat memberi gaji. Tentu saja, gara-gara imbas COVID-19. Kalau gaji saja telat, apalagi THR. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan yang mewajibkan perusahaan memberi THR maksimal H-7 lebaran, dilanggar sampai jadi H-3.

Saya sudah ketar-ketir sejak dua minggu sebelum Lebaran. Takut di hari nan fitri tak memegang uang sama sekali. Kalau perusahaan bilang keadaan memang serba sulit, saya bisa apa selain sabar dan berusaha memahami?

Dengan keadaan miskin, kondisi ketar-ketir, gaji bulan lalu sudah habis, gaji bulan ini telat, THR belum pasti kapan waktunya, sedang ibu mulai sibuk membuat kue, adik mulai minta dibelikan hadiah karena sanggup puasa tanpa cacat, tiba-tiba narasumber saya, anggota legislatif mengirim pesan.

"Assalamualaikum, Mas Ihsan, sekadar berbagi di hari lebaran. Izinkan saya minta nomor rekeningnya, ya."

Pesan via WhatsApp itu tidak buru-buru saya jawab. Saya belum menemukan keputusan tepat. Diterima atau ditolak. Kalau diterima, saya telah mengkhianati quote-nya Tan Malaka: Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda. Kalau ditolak, saya rugi besar. Sebab selain kondisi saya yang bisa dijadikan pembenaran, saya yakin 70 persen niat baik anggota Dewan itu tidak mungkin di angka Rp100.000. Pasti lebih.

Saya telepon teman saya. Minta pendapat. Meyakinkan hati yang sudah di simpang keputusan.

"Gimana ya? Kalau kau rasa bertentangan sama idealmu, jelaskan saja baik-baik ke Bapak itu. Kalau ditanya ke pakar-pakar jurnalisme, ya pasti enggak akan boleh. THR masuk gratifikasi itu," jelas teman saya.

Baca juga: Sialnya Lulus Kuliah Saat Pandemi, Nantikan Pekerjaan yang Tak Pasti

"Tapi, kalau kondisi sulit gini, sebenarnya ada banyak pembenaran untuk menerima uang kayak gitu. Ya gimana menurutmu baik aja," tambahnya yang bikin saya jadi bingung.

"Kita di daerah ini susah mau ngikutin standar idealnya orang nasional. Apalagi standar idealnya Amerika. Gaji kita di sini tahu sendirilah. Tapi aku enggak nyuruh kau terima uang itu ya, itu terserahmu. Kalau memang enggak sesuai samamu, ya tolak saja. Cuma memang menurutku momennya pas. Partai mereka memang sering bagi-bagi rezeki pas mau Lebaran gini," ujarnya lagi.

Saya akhiri percakapan itu. Saya memutuskan menerima THR dari bapak anggota Dewan tadi setelah ada begitu banyak pembenaran yang saya siapkan apabila terjadi masalah di kemudian hari.

Saya buka pesan WhatsApp dia. Saat saya ketik pesan ucapan terima kasih, seperti adegan anime Jepang, tiba-tiba semuanya terbayang: Saya masih punya orang tua, kalau pun tidak ada gaji masih bisa nebeng makan, masih punya banyak teman, masih bisa pinjam duit barang sekadar beli kopi, tidak ada hutang, bayar kos masih bulan depan, bayar kuliah belum jatuh tempo, badan masih sehat untuk kerja serabutan, dan kemewahan-kemewahan lainnya.

Akhirnya, entah bisikan setan atau malaikat, "rezeki" itu resmi saya tolak.

"Waalaikumsalam. Mohon maaf, Mas, demi kelegaan hubungan kita ke depannya, izinkan saya tidak menerimanya. Terima kasih banyak atas niat baiknya."

Dia paham dan mengirimi saya emotikon senyum. Hati saya tenteram mengambil keputusan itu. Tapi otak saya tidak. Apalagi THR dari media saya bekerja belum juga turun.

Selama menunggu THR dua hari kemudian, saya berusaha menghilangkan pikiran menyesal telah menolak "rezeki" itu. Dalam hati saya mengumpat, "Brengsek. Memang sudah seharusnya media mempertahankan orang kayak aku. Walaupun enggak begitu pintar, tapi kan lumayan idealis. Harusnya orang kayak aku digaji besar ini. Dibantu agar prinsipku tidak mudah goyah."

Dua hari kemudian, THR saya cair. Pemred mengucapkan salam lebaran dan permintaan maaf sebab perusahaan belum bisa memenuhi kewajiban tepat waktu. Saya memahaminya. Hati saya telah ikhlas, tapi otak saya belum juga puas.

Apa mendingan saya jadi penjaga konter pulsa saja, ya?

Ilustrasi oleh Karina Tungari

M. Ihsan Yurin adalah mahasiswa semester akhir. Nyambi jadi wartawan lepas supaya bisa hedon meski nyatanya tetap saja miskin.