Fenomena salah pilih jurusan kuliah nampaknya sudah menjadi fenomena jamak di Indonesia. Sanking lumrahnya, pasti setiap tahun ajaran baru ada saja mahasiswa yang mengeluh di media sosial soal ini. Fenomena ini dibenarkan penelitian Indonesia Career Center Network (ICCN) pada 2017 yang menyebutkan, 87 persen mahasiswa Indonesia merasa salah pilih jurusan.
Salah pilih jurusan ini pun memengaruhi persentase pekerja yang merasa mereka bekerja sesuai dengan pendidikan dan minat mereka. Setelah dikalkulasi, sebanyak 71,7 persen pekerja ternyata memiliki profesi yang tidak sesuai dengan pendidikannya.
Mereka yang merasa salah pilih jurusan biasanya baru menyadari ketika sudah terlanjur masuk kuliah. Ada yang sudah menyadarinya ketika semester awal perkuliahan tapi ada juga yang baru sadar saat sudah menjalaninya setengah jalan.
Memang, buat sebagian orang, salah jurusan kuliah dipandang biasa-biasa saja. Toh, mereka sudah terlanjur ‘kecemplung’, sehingga pilihannya jalani saja sampai masa studi selesai. Untuk orang tipe-tipe ini biasanya mereka akan menjalani masa perkuliahan dengan lebih santuy (yang penting lulus sajalah buat mereka). Masalahnya, buat sebagian yang lain, salah pilih jurusan ternyata berdampak besar.
Dalam penelitian "Wrong Majors' Phenomenon": A Challenge for Indonesia in Molding Globally Competent Human Resources to Encounter Demographic Dividend (2018), akademisi Rizaldy Ali menuliskan bagaimana salah pilih jurusan dapat memicu gejala tekanan psikologis seperti stres atau bahkan depresi. Dampaknya serius terhadap perkembangan potensi mahasiswa, karena mereka tidak dapat menyesuaikan diri dengan perkuliahan.
Tidak hanya masalah psikologi, salah jurusan pun bisa berdampak pada masalah akademik dan masalah relasional. Masalah akademik ditunjukkan dari mahasiswa yang kehilangan minat menjalani perkuliahan dan berdampak pada kinerja akademisnya. Sedangkan masalah relasional muncul ketika mahasiswa menarik diri dari lingkungannya lantaran tidak nyaman dengan situasi perkuliahan.
Baca Juga: Sekadar Mengingatkan, Pekerjaan Bukan Satu-satunya Identitasmu
Pengalaman Salah Pilih Jurusan
Dilansir dari Medium, seorang remaja dengan pengetahuan minim tentang bagaimana menjalani masa dewasa atau adulthood dan karier masa depan akan sangat wajar mendapati dirinya dalam keputusan yang salah dalam memilih jurusan. Salah memilih jurusan ini biasanya didasarkan harapan yang tidak realistis dari apa yang ditawarkan jurusan tertentu.
Beberapa remaja tidak tahu apa yang mereka inginkan, mereka tidak yakin apa yang mereka sukai atau mereka minati. Pun, remaja belum sepenuhnya mengetahui bakat yang mereka miliki dan bagaimana cara memaksimalkannya.
Hal inilah yang terjadi pada saya tujuh tahun lalu. Saya memang dari kecil sudah tertarik dengan budaya Jepang dan ketertarikan saya ini bertambah besar ketika Sekolah Menengah Atas (SMA) terdapat mata pelajaran wajib Bahasa Jepang. Selama pelajaran Bahasa Jepang saya merasa saya cukup pintar. Baik nilai akademis dan hatsuon (pelafalan bahasa Jepang) saya bagus. Hanya karena dua hal inilah saya mewujudkan impian utopis yang bisa dibilang konyol.
Baca Juga: Capeknya Jadi Anak Sastra, Kuliah Susah tapi Masih Distigma
Bagaimana tidak konyol? Saya bermimpi jika saya masuk Sastra Jepang, saya akan mudah mencari pekerjaan di Jepang, menjalani kehidupan indah bak manga sebagai perempuan karier, dan sering menonton konser idola Jepang saya.
Impian konyol ini sayangnya tidak dibarengi dengan riset terhadap jurusan Sastra Jepang dan apa saja yang harus kita lakukan jika memang ingin bekerja di Jepang dengan karier cemerlang.
Saya pun tanpa babibu menaruh pilihan jurusan Sastra Jepang di nomor urut pertama baik di jalur undangan atau ujian tulis. Walaupun sejujurnya, saya sudah mempunyai rencana masuk Sastra Inggris atau Komunikasi sejak kelas 11.
Awalnya saya memang menikmati belajar di Sastra Jepang apalagi lingkaran pertemanan saya sangat asyik. Namun, hal ini mulai berubah ketika menginjak semester 5. Saya menyadari jurusan yang saya pilih tidak semudah yang saya bayangkan dengan mata kuliah yang bikin pusing.
Bahasa Jepang yang saya pelajari di SMA tidak ada apa-apanya dibandingkan ketika saya menjadi mahasiswa Sastra Jepang. Bayangkan saja, saya harus menghafal ribuan kanji, belum lagi grammar Bahasa Jepang ternyata susahnya nauzubillah melebihi bahasa Inggris. Ini baru Bahasa Jepang. Saya juga dibuat kewalahan dengan dengan mata kuliah linguistik, seperti sintaksis, semantik, dan morfologi yang baru saya ketahui ketika masuk ke jurusan ini.
Keteledoran saya dalam memilih jurusan ini akhirnya membuat saya sempat muak dengan segala sesuatu yang berbau Jepang. Saya pun merutuki diri sendiri betapa bodoh dan naifnya saya dahulu memilih jurusan tapi sama sekali tidak tahu apa yang akan saya lalui selama empat tahun.
Baca Juga: 5 Tips Mencari Tahu Potensi Diri
Salah Pilih Jurusan yang Membawa Hikmah
Walaupun saya memang sempat muak dengan segala hal yang berbau Jepang, salah pilih jurusan ternyata membukakan pintu baru bagi saya. Pintu baru ini saya temukan ketika saya berusaha untuk mencari minat atau ketertarikan di tengah rasa frustasi menjalani sisa waktu saya menempuh pendidikan S1.
Saya sebenarnya cukup beruntung. Sebagai mahasiswa Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) yang memiliki 15 jurusan, jenis mata kuliah pilihan atau mata kuliah wajib fakultas sangat beragam. Keberagaman mata kuliah di FIB inilah yang membantu saya dalam mencari minat atau ketertarikan saya.
Saya dalam hal ini diperkenalkan dengan Ilmu Filsafat dan saya tidak menyangka mata kuliah ini membangunkan api dalam diri saya yang sempat pudar karena frustasi salah pilih jurusan. Di kelas Pengantar Filsafat dan Pemikiran Modern, untuk pertama kalinya saya menemukan diri saya dan di sinilah pertemuan saya dengan feminisme dimulai.
Sungguh, saya masih ingat betapa senangnya saya belajar di kelas tersebut. Dengan dosen yang asyik dan kondisi kelas yang kondusif untuk berdiskusi, saya tidak hanya mendapatkan pengetahuan baru yang menarik. Kelas ini juga membantu saya “menemukan” diri yang baru.
Rasa senang saya ini lalu membuat saya memutuskan untuk memilih mata kuliah pilihan lain yang berkaitan dengan Filsafat. Walau saya waktu itu gagal memilih kelas Teori Feminisme karena kuotanya sudah penuh, saya sebanyak dua kali memilih mata kuliah pilihan Filsafat: Filsafat Agama Islam dan Filsafat Seni.
Kedua mata kuliah ini masih beririsan dengan teori feminisme dan membuat saya semakin menyadari, menaruh minat mendalam padanya. Minat ini membuat saya lebih menikmati mata kuliah lain seperti Film dan Drama dan Prosa Jepang, karena saya bisa mengaplikasikan teori feminisme yang saya pelajari dalam paper atau kerja kelompok saya.
Tidak hanya membuat mata kuliah lain lebih menyenangkan, minat saya terhadap feminisme juga membantu saya dalam menentukan topik skripsi dan membantu mengarahkan masa depan saya. Keberhasilan saya lulus dengan predikat cum laude dengan skripsi yang mengenai ekofeminisme dan memutuskan untuk melanjutkan studi S2 dengan jurusan Kajian Gender semuanya terjadi karena saya merasa salah memilih jurusan.
Begitu pula dengan bagaimana saya akhirnya secara utuh menerima identitas saya sebagai feminis dan membuat saya lebih banyak bersuara serta mengedukasi teman-teman lain mengenai isu-isu gender lewat tulisan atau utas saya di media sosial.
Dari pengalaman ini saya pun menyadari, salah pilih jurusan bukanlah akhir dari segalanya. Mulai dari memilih mata kuliah pilihan seperti saya, mengikuti organisasi kampus, hingga melakukan internship atau pertukaran pelajaran. Semua hal ini bisa kamu lakukan untuk membantumu “menemukan” dirimu sendiri beserta masa depan yang ingin kamu raih selama sisi perjalanan studimu.
Comments