Women Lead Pendidikan Seks
August 13, 2015

Sang Liyan

Sebuah cerita pendek yang menyoroti kekerasan terhadap remaja LGBT.

by Sebastian Partogi
Issues
Share:

Senin, 13 Juli 2003, pukul 6:30 pagi. Hari pertama masuk sekolah. Lorong-lorong serta ruangan kelas SMP Katolik Bunda Maria riuh rendah oleh murid-murid yang bahagia karena dapat berkumpul dengan teman-teman mereka kembali setelah dua minggu penuh menikmati liburan antar semester.
Beberapa gerombolan siswa berbicara diimbuhi ledakan tawa saat membahas liburan mereka. Ada juga beberapa kumpulan bintang kelas yang lebih memilih untuk mengobrol dengan suara yang pelan dan seadanya saja. Sementara itu beberapa pasang sahabat duduk berdua saja di dalam kelas, bertukar curahan hati mengenai cewek atau cowok yang mereka taksir.
Pendek kata, hampir semua orang sedang asyik bergaul dengan teman mereka masing-masing pagi itu. Jarang terlihat ada murid yang duduk atau berjalan sendirian saja.
Sampai Sahat keluar dari mobilnya dan masuk ke dalam gedung sekolah. Saat ia masuk ke area lobi sekolah itu, semua murid yang sedang asik bercengkerama di sana tiba-tiba terdiam sesaat dan menatap ke arahnya dengan wajah terperangah. Selama beberapa detik, lobi tersebut rasanya sunyi senyap.
Tiba-tiba Ping-Ping, seorang murid laki-laki yang lumayan populer baik di kalangan murid maupun guru-guru itu berteriak memecahkan kesunyian.
“Eh, ya ampun!! Si banci masuk sekolah lagi ya!!” teriaknya sambil meliuk-liukkan tangan dan melenggak-lenggokan badannya. “Eh, bencong, mau dong gue disodok sama elu,” ujar Ping-Ping dengan cara berbicara yang kemayu.
Sontak lobi yang sempat sunyi itu penuh dengan ledakan tawa. Semua mata memandang Sahat. Beragam hujatan pun dilemparkan oleh murid-murid itu kepadanya.
“Aiiih si bencong bertitit!”
“Sodok aku dong, ahhh.”
“Eeh banci luh! Bandot! Banci dongdot!! Hahaha.”




Dengan tabah, Sahat tetap berjalan menuju ruang kelasnya sambil menundukkan kepala, berupaya untuk mengabaikan segala macam hinaan yang dilontarkan kepadanya.
***
Sahat menghela napas dengan lega. Ia telah berhasil melewati lobi sekolah yang penuh dengan murid-murid yang menghujatnya tersebut. Namun bukan berarti medan perang telah dilewatinya.
Medan perang kedua: lorong lantai dasar sekolah. Ia menahan napas sambil berjalan melewati murid-murid yang sedang bergerombol di situ. Lagi-lagi ia mendegar serangkaian cemoohan.
“Eh, ada banci!”
“Eh, Hat, kok elu bisa jadi banci sih? Pasti karena nyokap lu perek ya? Terus bokap lu mucikarinya? Hahahaha!”
Sahat tetap berjalan dengan kepala tertunduk. Ia mendengar suara nyanyian rohani mengalun dari sekelompok anak yang sedang duduk di depan ruang musik sekolah tersebut.
Bapak Abraham memiliki banyak sekali anak-anak... Aku anaknya, kamu juga, mari bergembira!”
Melihat Sahat, gerombolan murid yang sedang bernyanyi tersebut menghentikan ensembel mereka. Wajah mereka berubah menjadi usil. Mereka pun mengulangi nyanyian mereka dari bait awal, dengan lirik yang sedikit diubah:
“Bapak Abraham memiliki banyak sekali anak-anak... Aku anaknya, Sahat bukan, karena dia banci! Glori Haleluya!”
Lalu mereka tertawa terbahak-bahak.
Sahat tetap berjalan tanpa berkomentar apapun. Ia merasa lega karena telah melewati medan perang kedua. Sekarang ia berjalan pelan mendaki tangga untuk meraih ruang kelasnya di lantai dua sekolah tersebut.
***
Sahat tiba di lorong ruang kelas. Medan perang terakhir sebelum ia masuk kelas.
Sayangnya, di medan perang ini ia tidak seberuntung saat ia melewati medan perang sebelumnya.
“Haii banci!”
“Iiih jijayy banget deh!”
Tanpa dinyana, ternyata penghinaan yang ia alami di lorong tersebut lebih dari sekadar hinaan yang dilontarkan dari murid rekan-rekan satu sekolahnya. Tiba-tiba beberapa pasang tangan menyergap dan mencengkeram tubuhnya. Ia meronta-ronta namun cengkeraman tersebut terlalu kuat untuk dapat dilepaskan.
Terdengar suara langkah kaki berderap-derap. Murid laki-laki pemilik langkah kaki tersebut kemudian berjalan ke depan Sahat.
“Woyyyyy lu banciiiii!!!!” teriak Ucok sambil menampar pipi Sahat yang sedang dicengkeram teman-temannya itu dengan Sahat. Darah muncrat dari mulut Sahat.
“Lu punya titit kagak?!!!!” gertak Ucok.
Murid-murid yang lain hanya berdiri diam di lorong sekolah tersebut. Ada yang masuk ke dalam ruang kelas karena tidak tahan melihat penganiayaan yang dilakukan pada Sahat namun tidak berani membelanya, apalagi mengadu pada guru. Karena murid-murid ini tahu, mengadukan Ucok pada guru berarti leher mereka akan putus.
Ucok adalah jagoan di sekolah ini dan orangtuanya kaya raya, sehingga ia bebas melakukan apa saja di sekolah tanpa menerima sanksi apapun. Tahun lalu, Ucok menggebuki seorang murid yang bernama Abel hingga ia koma selama tiga bulan.
Saat Suster Mariana hendak mengeluarkan Ucok dari sekolah, orangtua Ucok mengancam akan menyewa pengacara untuk memperkarakan si kepala sekolah tersebut dan mengirimnya ke penjara. Berbagai ancaman pembunuhan apabila ia berani menindak Ucok pun diterima sang suster lewat telepon. Akhirnya sang suster gentar. Ia membiarkan Ucok tetap menjadi murid di sekolahnya.
Orangtua Ucok membayar perawatan Abel dan uang damai pada kedua orangtua murid malang tersebut. Nahas, berapapun jumlah uang mereka keluarkan tidak akan mampu menggantikan kerusakan yang telah terjadi: Abel menjadi cacat seumur hidup akibat penganiayaan yang dilakukan Ucok. Kedua orangtua Abel hanya dapat meratapi nasib yang menimpa anak satu-satunya itu, namun tidak berani menuntut karena telah berkali-kali diancam akan dibunuh oleh preman sewaan keluarga Ucok.
Namun, kembali ke Sahat: Ia hanya terdiam dan tidak menjawab sama sekali. Ia tahu, tidak ada gunanya merespon orang-orang ini.
“Woooanjiiiiinggggggg!!! Kalau gue tanya ya jawab lu, bodat (monyet dalam bahasa Batak)! Lu punya titit nggakkk???”
teriak Ucok bagaikan anjing sambil menampar pipi Sahat sekali lagi. Darah kembali muncrat. Kali ini darah tersebut mengenai seragam yang dikenakan Sardono, lelaki yang mencengkeram Sahat.
“Iiiih najis! Baju gue kena darah bencong! Haram jadah!” erang Sardono.
“Woy, cok! Udah! Daripada lu tanyain si tolol ini, mending kita periksa aja sekalian dia punya titit apa enggak!” teriak Halim, lelaki lain yang mencengkeram Sahat.
Seketika Ucok melepaskan ikat pinggang Sahat dan memeloroti celana pendeknya. Wajah Sahat memerah. Namun ia tidak berdaya untuk mengatakan apapun karena menahan sakit akibat dua kali ditampar oleh Ucok.
“Waaah terang aja dia jadi banci! Kontolnya kecil gini!” teriak Ucok. Tanpa dinyana, Ucok melemparkan tendangan yang sangat keras pada alat kelamin Sahat tersebut. Saking kuatnya tendangan tersebut, Sahat dan dua lelaki yang memeganginya sampai terhempas ke lantai.
“Banci! Najis!” Ucok meludahi wajah Sahat lalu kembali ke kelasnya. Sardono dan Halim melepaskan cengkeraman mereka.
“Ih, gue harus buru-buru ke toilet sekarang! Gue mesti cuci tangan! Megang si banci itu lebih najis daripada megang anjing kurap!” ujar Sardono pada Halim sambil menunjukkan ekspresi jijik.
Sahat hanya terdiam di lantai sambil menahan rasa sakit yang amat sangat di selangkangan dan pipinya dan secara perlahan memasang kembali celananya yang telah dipeloroti tersebut. Tidak seorangpun beranjak untuk menolong dirinya. Pelan-pelan ia berpegangan pada tong sampah, berdiri dan dengan tertatih-tatih berjalan masuk ke dalam ruang kelas 2E.
***
Bagi Sahat, pergi ke sekolah adalah peperangan yang harus ia jalani setiap hari.
Beruntung ia berhasil naik ke kelas dua. Nyaris ia tidak naik kelas karena nilai-nilainya anjlok. Konsentrasi belajarnya memang selalu buyar akibat selalu dirisak (di-bully) oleh teman-teman sekolahnya.
Namanya Sahat. Namun teman-teman sekolahnya selalu memanggilnya dengan sebutan banci karena mereka menganggap Sahat lelaki yang kemayu. Di televisi, lelaki yang kemayu selalu disebut bencong. Dari sanalah mereka mempelajari kosa kata yang penuh penghinaan tersebut.
Bagi Sahat, tiada hari yang ia habiskan tanpa hinaan. Tidak hanya murid, guru-guru juga tidak mau kalah dalam melontarkan hujatan padanya.
“Halo, jeng,” ujar Bu Santi suatu hari.
“Eh, ada putri Solo lewat,” ujar Pak Albert kemudian harinya.
Itulah Sahat. Seorang lelaki berusia 14 tahun yang telah didefinisikan lingkungannya sebelum ia mampu mendefinisikan dirinya sendiri.
***
Lantas, bagaimanakah orangtua Sahat mendefinisikan anak mereka?
“Gak usah sekali-kali ngadu sama Among  (ayah dalam bahasa Batak) kalau teman-teman kamu menghina kamu banci ya! Karena memang kamu itu banci! Mungkin Among harus suruh kamu berantem sama preman-preman dulu kali ya supaya kamu bisa jadi laki beneran!” itu kata Ayah Sahat kepadanya suatu hari.
“Aduuh, dosa apa yang aku lakukan, ya Yesus Kristus, kok melahirkan anak laki-laki kemayu begini... Bukannya jadi kebanggaan keluarga malah bikin malu!” rintih ibu Sahat sambil menangis.
***
Sahat menahan rasa sakit sambil duduk di meja di pojok kiri belakang kelas. Meja paling aman karena dengan posisi tersembunyi seperti itu, ia mengurangi kemungkinan diolok-olok atau jadi pusat perhatian.
Meja yang ada di semua ruang kelas sekolah tersebut didesain untuk digunakan oleh dua orang murid. Semua murid di sekolah itu duduk berpasang-pasangan karena jumlah murid di semua kelas selalu genap.
Namun, sejak kelas satu SMP, Sahat sudah terbiasa duduk sendirian. Tidak ada yang mau duduk di sebelahnya karena mereka selalu merasa jijik padanya. Banyak orang memilih duduk sendirian dan dianggap tidak gaul daripada harus satu meja dengan Sahat. Duduk dengan Sahat jauh lebih parah daripada tidak gaul: itu artinya mereka satu golongan dengan banci. Amit-amit!
Namun, pagi itu terjadi peristiwa yang tidak biasanya. Ke dalam ruang kelas, masuklah seorang murid lelaki dengan kulit yang agak coklat dan rambut yang ditata jabrik. Aneh sekali, murid tersebut kemudian duduk di sebelah Sahat.
“Perkenalkan, aku Hans. Murid baru di sini,” Hans menyalami Sahat sambil melempar senyuman manis.
Sahat melongo karena tidak menyangka akan ada orang yang mau duduk di sebelahnya.
“Kenapa kamu melongo seperti itu?” tanya Hans heran.
“Eh... tidak kenapa-kenapa... Namaku Sahat,” ujar Sahat terbata-bata.
“Senang berkenalan denganmu. Oya, bibirmu kenapa, seperti habis ditonjok orang... Kamu tampak kesakitan...” tanya Hans.
“Oh... ini... tadi aku habis menabrak pohon,” ujar Sahat, yang kemudian terdiam karena menyadari betapa tak masuk akalnya alasan yang ia berikan. Ia menelan ludah sesaat dan jantungnya berdebar, takut bahwa Hans akan bertanya lebih jauh.
Untungnya Hans hanya tersenyum dan mengatakan “Semoga cepat sembuh ya...”
***
Awalnya Sahat mengira bahwa Hans hanya akan bersedia duduk satu meja dengannya di hari itu saja. Kalau dia menyadari betapa murid-murid yang lain mengataiku banci, dan betapa tingkah laku diriku seperti banci, dia pasti akan menjauh juga.
Namun dugaan Sahat meleset.
Keesokan harinya, dan keesokan harinya pula, Hans selalu setia menemani dirinya. Hans tidak pernah berinteraksi dengan murid-murid lain; murid-murid lain di sekolah itu juga tidak pernah menyapa dirinya. Hans pun tidak pernah menghina Sahat dengan sebutan banci.
“Di sekolahku yang lama aku juga seperti kamu, Hat, selalu diledek-ledek. Tapi dalam kasusku, aku tidak dikatai banci... Aku sering dikatai kafir karena agamaku berbeda dengan agama mayoritas anak lain di sekolah itu. Maka itu aku enggan bergaul dengan murid-murid lain di sini karena sudah kapok dikata-katai terus... Aku malah lebih nyaman bergaul sama kamu,” Hans menjelaskan suatu hari.
“Aku yakin, suatu hari nanti kamu akan memiliki keberanian untuk membalas mereka semua. Dengan cara apapun itu,” ujar Hans dengan berapi-api. “Maaf, aku tiba-tiba emosi. Aku hanya tidak terima melihat perlakuan anak-anak itu. Karena aku tahu bagaimana rasanya diperlakukan seperti itu. Mereka bajingan semua!”
Lama kelamaan mereka pun semakin dekat. Mereka senantiasa makan siang bersama dan mengobrol bersama.
Suatu hari, karena gerah melihat Sahat dihina-hina sebagai banci, Hans pun meradang dan melabrak murid-murid yang merisak Sahat. Alhasil, Hans dikeroyok dan babak belur. Sejak itu ia pun kapok berhadapan dengan preman-preman SMP Katolik Bunda Maria.
***
Sahat berjalan keluar pagar sekolah sambil menangis tersedu-sedu. Kemeja seragamnya koyak di sana sini.
Saat itu pukul 4 sore, sekolah sudah sepi. Namun ia, beberapa murid dan guru pulang lebih lambat hari itu karena mereka menjalani program ekstrakurikuler bahasa Inggris yang berlangsung hingga pukul 3:30.
Hari itu, Sahat dikabari oleh supirnya lewat telepon genggam bahwa ia akan terlambat menjemput Sahat karena ibunya tiba-tiba sakit dan harus diantar ke dokter.
Apa salahnya menunggu barang setengah jam di lobi sekolah? Aku bisa sekalian menyicil pekerjaan rumahku, pikirnya. Keputusan itu menjadi kesalahan terbesar dalam hidupnya.
Tanpa ia sadari, saat ia berjalan keluar, ia melihat Hans yang sedang duduk menyeruput sirup di dekat gerobak penjual jajanan. Si tukang jual jajanan sedang duduk menahan kantuk di bawah pohon kelapa yang ada di dekat situ.
Melihat sahabatnya menangis tersedu-sedu, Hans pun tersentak.
“Apa yang terjadi?” tanya Hans. “Mengapa kamu menangis dan mengapa bajumu robek-robek seperti itu?”
“Aku...aku...tadi a... aku sedang duduk menunggu su... supir ketika... geng... geng Ucok menghampiriku, lalu tiba-tiba mereka... mereka me... menelanjangiku...  s... sam... sampaii bu... bugil... maka...makanya kaosku robek-robek seperti... seperti ini!”
Hans pun berang. “Memangnya tidak ada guru yang sedang piket?”
“Ada Pak Albert tapi dia malah memanas-manasi murid-murid yang lain itu untuk menelanjangi aku...” ujar Sahat terisak-isak.
“Cukup sudah kesabaranku!” teriak Hans. Ia membuka tasnya dan mengeluarkan sebilah pisau pemotong daging yang sangat besar. Sementara, Sahat merasa jantungnya hampir copot karena menanggung rasa malu dan amarah.
“Mari kita berdua ke sana. Kau harus menyeret si Ucok itu dan mencengkeramnya, lalu kita akan menggebukinya bersama-sama. Aku yakin, saat melihat pisau ini, tidak ada satupun dari preman-preman cecunguk itu yang akan berani melawan!” ujar Hans.
Namun tanpa dinyana, Sahat segera merebut pisau itu dari tangan Hans. “Biarkan momen pembalasan dendam ini jadi milikku seorang!” ujar Sahat sambil mengusap airmatanya dengan kasar. Wajahnya yang biasa tampak lemah dan memelas itu sesaat berubah menjadi wajah setan. Ia pun berjalan dengan tegap menuju ke lobi sekolah.
“Sahaaaat!! Jangan nekat kamuu!! Maksudku, pisau itu hanya untuk mengancam para tukang pukul bedebah Ucok itu, bukan untuk membun...” ujar Hans panik. Namun sebelum ia selesai bicara, Sahat telah menendang perutnya sampai ia terjatuh di tanah.
“Diam kau bedebah!” desisnya.
Melihat adegan tersebut, si penjual jajanan hanya dapat menelan ludah karena ketakutan. Ia pun segera mendorong gerobaknya ke tempat lain. Ia tidak ingin jadi saksi kerusuhan...
Lalu, setelah memasukkan pisau itu ke dalam tas ranselnya, Sahat pun melanjutkan berjalan berjalan dengan wajah yang bengis dan dingin menuju lorong sekolah, dimana Ucok dan konco-konconya sedang nongkrong dan tertawa riuh...
***
Ibu Neta, wali kelas 2E, tergagap-gagap saat diinterogasi sebagai saksi kasus pembunuhan dan mutilasi atas Parsada ‘Ucok’ Manurung yang dilakukan oleh muridnya yang lain, Sahat Siagian.
“Tersangka Sahat mengaku mendapatkan pisau yang digunakan untuk membunuh korban dari teman sekelasnya yang bernama Hans. Bisa Anda jelaskan dimanakah Hans itu sekarang?” selidik petugas polisi tersebut.
Neta tercekat. Hans? “Maaf, mungkin bapak salah dengar nama... Tidak ada murid dengan nama itu di kelas saya, bahkan di seluruh kelas 2 yang saya ajari Bahasa Indonesia...” ujar Neta sambil takut-takut.
“Haih! Jangan banyak berkilah Anda! Tersangka bilang ia mendapat pisau tersebut dari temannya di kelas 2E bernama Hans Harman!” desis penyidik tersebut.
“Tunggu sebentar pak,” ujar bu Neta. Beruntung, hari itu ia sedang membawa daftar absensi kelas 2 dari 2A hingga 2E. Ia menelusuri nama-nama yang berawalan huruf H di masing-masing daftar tersebut. Tidak ada yang namanya Hans Harman.  Ia mempelajari kembali tumpukan daftar itu untuk mengecek nama panggilan masing-masing murid yang ia tulis dengan telaten.
Tidak ada murid yang nama panggilannya Hans.
Tiba-tiba ibu Neta menyadari sesuatu dan oleh karena itu bulu kuduk di sekujur tubuhnya tiba-tiba berdiri. Ia ingat pengaduan beberapa muridnya bahwa Sahat sering ngomong sendiri tanpa lawan bicara saat di kelas maupun saat sedang istirahat.
Jangan-jangan... pikirnya.
“Haiyah! Lama kali sih ibu ini lihat absensi saja! Mau bikin kerjaan saya tambah lama ya!” hardik sang penyidik.
Sebastian Partogi adalah seorang penulis feminis yang tinggal di Jakarta