Women Lead Pendidikan Seks
March 17, 2020

Saya Demam 38 Derajat Celsius, Apa yang Harus Saya Lakukan?

Di tengah krisis Corona, banyak tempat publik sudah melakukan pemeriksaan suhu, tapi SOP setelahnya masih simpang siur.

by Elma Adisya, Reporter
Lifestyle // Health and Beauty
CoronaVirus_Social Distancing_COVID19_KarinaTungari
Share:

Maria Dolorosa Diena, 29, memutuskan untuk melakukan tes pemeriksaan virus Corona (COVID-19) Senin pagi (16/3), setelah ada pengumuman dari otoritas setempat bahwa ada warga kelurahan tetangga yang diduga terjangkit virus tersebut, meski belum terkonfirmasi.

Kondisi tubuh Maria sedang tidak prima belakangan menyusul sakit cacar api beberapa pekan lalu, disambung dengan infeksi bakteri di tenggorokan yang membuat badannya agak demam.

“Saya enggak mau ambil risiko, jadi saya putuskan untuk memeriksakan diri ke rumah sakit. Saya pergi ke Rumah Sakit Angkatan Darat Gatot Subroto, Jakarta Pusat, yang merupakan salah satu rumah sakit rujukan pemerintah,” ujar warga Jakarta Timur yang berprofesi sebagai penerjemah itu.

Di tengah krisis akibat virus Corona, banyak orang yang bertanya-tanya apakah mereka perlu memeriksakan diri atau tidak. COVID-19 sendiri adalah virus yang menyebabkan penyakit saluran pernapasan seperti flu, dengan gejala seperti batuk, demam, dan pneumonia, namun dalam kasus yang parah menimbulkan kematian. Virus ini pertama kali merebak di provinsi Wuhan, Cina, akhir 2019 lalu. Hingga saat ini COVID-19 sudah menyebar ke berbagai negara, dengan total kasus di seluruh dunia mencapai 171.899, menewaskan 6.529  orang, meskipun jumlah pasien yang sembuh mencapai 77.701 orang.

Di Indonesia, sejak Presiden Joko Widodo mengumumkan awal Maret lalu bahwa ada dua warga negara Indonesia yang positif COVID-19, jumlah pasien positif COVID-19 kian meningkat. Data dari Kementerian Kesehatan per Senin, 16 Maret 2020, menunjukkan sudah ada 134 orang yang terinfeksi COVID-19, lima orang meninggal, dan yang sembuh delapan orang.

Seperti Maria, banyak orang yang merasa harus memeriksakan diri karena takut mereka terjangkit. Meskipun pemerintah sudah mengeluarkan protokol kesehatan menghadapi COVID-19, informasi yang beredar di masyarakat masih simpang siur, membuat bingung mereka yang ingin memeriksakan diri ke rumah sakit rujukan, yang jumlahnya mencapai 132 di seluruh Indonesia.

Sejumlah warganet mengklaim sudah melakukan tes COVID-19, namun ada yang meragukan keabsahan tes tersebut dan menduga itu hanya tes kesehatan biasa.

Dalam protokol penanganan COVID19 yang diterbitkan oleh Kantor Staf Presiden (KSP), ada beberapa hal yang perlu diketahui dalam memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan. Jika kamu secara umum mengalami demam setinggi 38 derajat Celsius, batuk atau pilek, sakit tenggorokan, dan gangguan pernafasan, tidak perlu segera memeriksakan diri.

Baca juga: Apa Bedanya Pandemi, Epidemi, dan Wabah?

“Demam batuk itu gejala klinisnya, kalau merasa ada gejala tapi tidak pernah  berkontak langsung dengan suspect atau baru pulang dari negara terjangkit, bisa dipantau dari rumah dahulu. Tetapi kalau gejalanya masih berlanjut segera ke fasilitas kesehatan,” ujar Ahmad R. Utomo, Principal  Investigator dari Stem-Cell and Cancer  Institute (SCI) Consultant of Kalbe Genomics (KalGen) Laboratory di Jakarta.

“Karena kalau semuanya ke rumah sakit, nanti malah beban rumah sakit bertambah,” ujarnya dalam webinar mengenai cara meliput COVID-19 yang diadakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Selasa (17/3).

Di fasilitas kesehatan, petugas akan melakukan screening pasien dengan kategori Pasien dalam Pemantauan (PDP). Jika kamu tidak memiliki riwayat perjalanan ke negara-negara yang terjangkit COVID-19 atau pernah kontak dengan orang terkonfirmasi COVID-19 dan mengalami gejala klinis di atas, maka petugas kesehatan hanya akan melakukan rawat inap atau rawat jalan sesuai diagnosis dokter. Namun jika kamu masuk dalam kategori tersebut, petugas kesehatan akan langsung merujukmu ke salah satu daftar rumah sakit yang menjadi rujukan resmi pemerintah.

Tidak ribet namun tak ideal

Maria mengatakan bahwa prosedur yang ia jalani tidak terlalu rumit, namun juga tidak ideal karena ada antrean panjang. Ia sampai di Paviliun Dr. Amino Gondohutomo, bagian belakang RSPAD, pada jam 7 pagi sesuai waktu pendaftaran, yang berakhir pada pukul 14.00.

“Namun pendaftaran bisa ditutup lebih awal apabila kuota sudah penuh. Dengar-dengar kuota dibatasi per-harinya 160 orang. Ditargetkan seluruh pemeriksaan selesai jam 17.00,” ujar Maria.

Ia menambahkan, walaupun kuota tersebut sudah penuh, pihak rumah sakit menawarkan orang-orang yang  ingin memeriksakan diri untuk menaruh nama terlebih dahulu, dan daftar tunggu tersebut sudah penuh hingga Kamis, 26 Maret.

“Sudah menaruh nama pun tetap tidak secepat itu kita dimasukkan ke dalam antrean. Tetap harus datang lalu menunggu nama kita didata di komputer,” kata Maria.

Baca juga: Kerja dari Rumah Saat Krisis Corona: Sistem Susah-susah Gampang

Dengan menumpuknya antrean, maka orang sehat dan sakit campur jadi satu di gedung itu, katanya. Penjagaan jarak 1 meter menguap begitu orang berjubel di meja kasir atau pendaftaran.

Ketika memeriksakan diri, ada tiga tahapan yang akan dijalani oleh pasien, yaitu tes darah, rontgen paru-paru, dan tes swab atau pengambilan cairan dari tenggorokan atau dari hidung. Berdasarkan pengalaman Maria, tidak semua pasien menjalani tes swab.

“Setelah saya tes darah dan rontgen paru-paru, saya menunggu hampir dua jam untuk konseling dengan dokter. Dari situ baru akan diarahkan apakah orang perlu tes kotoran atau tidak. Kalau saya kedua hasil tesnya menyatakan tidak ada ciri infeksi virus. Setelah pemeriksaan selesai saya dikenakan biaya Rp 659.000,” kata Maria.

Simpang siur pemeriksaan COVID-19

“Nina”, 26, seorang dokter di sebuah klinik Pratama daerah Tangerang Selatan mengatakan bahwa prosedur operasi standar (SOP) yang sudah diterapkan oleh Kementerian kesehatan kurang komprehensif.

“Menurut saya kurang komprehensif karena hanya bermodalkan pertanyaan riwayat perjalanan atau kontak. Terkadang masyarakat ada yang panik banget tapi ada juga yang tidak peka,” ujar Nina kepada Magdalene.

“Sedangkan kita enggak bisa secara langsung menetapkan pasien itu PDP. Gejala Corona sangat enggak spesifik jadi agak sulit buat kita bedakan. Ditambah lagi masalah biaya yang simpang siur. Kalau saya seringnya langsung saya oper ke puskesmas atau RS jika ada kecenderungan PDP,” ia menambahkan.

Kalau pasien memang datang sendiri meminta untuk dicek karena takut virus Corona, tanpa ada pengantar atau rujukan dari dokter memang itu berbayar, ujarnya.

Protokol yang rumit dihadapi Ir, warga Jakarta berusia 60 tahun yang didiagnosis dengan SARS COV-2, saat diperiksa di Puskesmas Pondok Benda, Tangerang Selatan. Ir sedang mengunjungi anaknya yang tinggal di Tangerang Selatan, Minggu (15/3). SARS COV-2 sendiri termasuk jenis virus Corona yang mengakibatkan infeksi pernapasan COVID-19.

"Dengan diantar anak pasien menggunakan mobil pribadi, warga DKI suspect tersebut ternyata tidak mendapatkan pelayanan yang diharapkan karena semua rumah sakit yang didatangi menyatakan penuh," ujar Deni Martini, Ketua Organisasi Relawan kesehatan Indonesia (Rekan Indonesia) Tangerang Selatan dalam siaran persnya tertanggal 16 Maret.

Baca juga: Dari Lucinta Luna sampai Virus Corona: Tips Jadi Pembaca Berita yang Kritis

Setelah keluarga meminta advokasi, akhirnya Rekan Indonesia berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan Jakarta. Setelah itu, petugas kesehatan RS Persahabatan menemui anak Ir, menerangkan bahwa rumah sakti sudah penuh dan tidak bisa melakukan tindakan pemeriksaan lanjut karena banyak pasien positif Corona yang sedang ditangani. Tidak lama berselang, Dinas Kesehatan Jakarta menelepon anak Ir dan mengarahkan agar Ir di isolasi di yang rumah, dan bahwa pemeriksaan akan dilakukan oleh puskesmas terdekat.

"Saat ini posisi Ir sudah diisolasi di rumah dan mendapat penanganan intensif puskesmas di dekat rumahnya di Jakarta," ujar Deni.

Ia menyesalkan tindakan rujuk lepas yang dilakukan oleh Puskesmas Pondok Benda Tangerang Selatan, karena berisiko semakin luasnya penyebaran virus Corona.

Sebagai tenaga kesehatan, Nina menyarankan agar pemerintah mengadakan penyaringan pasien dari tingkat kecamatan di kota-kota yang memiliki kasus positif Corona, dibantu oleh tenaga relawan dan militer.

“Dan memang bagusnya pemerintah juga menambahkan rumah sakit yang khusus menangani Corona. Jadi biar tidak menumpuk,” kata Nina.

Sementara itu, jika kamu benar-benar ingin memeriksakan  diri kamu karena khawatir dengan gejala yang timbul, Nina menyarankan agar memeriksakan diri terlebih dahulu ke fasilitas kesehatan tingkat pertama.

Jika memang terpapar dekat dengan suspect, Ahmad Utomo mengatakan kita bisa berkaca dari mekanisme penanganan di Singapura.

“Kalau kita berkaca dari Singapura, yang dilakukan adalah, pertama lapor ke rumah sakit atau puskesmas bahwa ia telah terpapar. Nah, seharusnya puskesmas atau rumah sakit mendata dia lalu dia wajib tinggal di rumah, dikarantina sendiri selama 14 hari,” ujarnya.

Setelah itu, puskesmas akan menelepon tiap hari memantau kondisi dia. Dalam perjalanan 14 hari itu, puskesmas harus melihat di hari apa itu menjadi buruk, kalau itu terjadi nanti akan dikirim ambulans.

“Kenapa harus bertahap seperti ini karena kita tidak mau membebani fasilitas kesehatan seperti rumah sakit, karena mereka itu urusannya banyak. Mreka harus memeriksa pasien-pasien lain seperti yang stroke, dsb. Tetapi perlu diingat peran puskesmas harus benar-benar dilibatkan untuk pemantauan di rumah,” kata Ahmad.

Illustrasi oleh Karina Tungari

Elma Adisya adalah reporter Magdalene, lebih sering dipanggil Elam dan Kentang. Hobi baca tulis fanfiction dan mendengarkan musik  genre surf rock.