Women Lead Pendidikan Seks
April 08, 2021

Saya Telah Membuat Pilihan, Apakah Saya Cukup Feminis?

Banyak dari kita mengikuti ‘choice feminism’ tanpa mengakui adanya ketidaksetaraan sistemis yang melahirkan gerakan feminis.

by Zahra Zulfi
Issues // Feminism A-Z
Apakah feminisme berarti kita bebas memilih?
Share:

Saat menelusuri lini masa Instagram, saya menemukan konten teman laki-laki saya yang berbicara tentang impian mantan pacarnya untuk memiliki dapur yang indah. Baginya, aspirasi ini bertentangan dengan visi mantannya tersebut sebagai feminis.

“Kamu seorang feminis, tapi kenapa kamu suka memasak?” tulis teman saya dalam caption. Perempuan itu rupanya menjawab, "Adalah hak saya untuk memilih apa pun yang saya inginkan dan kesetaraan mencakup aspek yang lebih luas dari itu."

Hal ini, pada gilirannya, membuat teman saya merenung, “Bagaimana jika perempuan secara sadar dan sukarela memilih untuk menjadi ibu rumah tangga? Apakah teori feminis masih berlaku?”

Pada November 2019, Idham Azis yang baru dilantik sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) membuat pernyataan yang menunjukkan bahwa istrinya tidak punya pengaruh apa-apa terhadap pekerjaannya. Dari pemikirannya ini, tersirat apa yang diharapkan laki-laki dari istrinya adalah untuk mengurus sumur, dapur, dan kasur saja. Komentar tersebut mengecewakan banyak perempuan dan memicu kemarahan yang tak terhindarkan di kalangan feminis dan aktivis Indonesia.

Selamat datang di era feminisme “terkini”. Tidak pernah semudah ini bagi perempuan untuk menunjuk komentar dan perilaku seksis. Mampu mengenali komentar seksis dan mengungkapkan kemarahan kita terhadapnya menunjukkan bahwa kita menyadari adanya ketimpangan kekuasaan, menyadari bahwa kita berhak mendapatkan lebih banyak kesempatan, dan percaya bahwa setiap orang punya pilihan.

Perempuan merayakan hak mereka untuk memilih agar mereka merasa diberdayakan, dihormati, sederhana, feminin, maskulin, dan sekadar agar bahagia. Sayangnya, tampaknya kita gagal melihat apa yang ada di bawah permukaan.

Tak bisa dimungkiri, peluang perempuan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dan memasuki dunia kerja memberi mereka lebih banyak pilihan untuk membuat keputusan. Perempuan telah mengetahui hak mereka untuk menentukan nasib sendiri dengan mengambil peluang dalam peran dan posisi yang lebih luas. Kita memiliki privilese untuk menikmati hasil positif gerakan feminis dengan membuat pilihan dan menciptakan perjalanan kita sendiri.

Baca juga: Melirik Keberagaman Fokus Perjuangan Aliran-aliran Feminisme

Apa Itu Choice Feminism?

Choice feminism adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan pandangan bahwa perempuan harus dapat membuat pilihan apa pun yang mereka inginkan sebagai bagian dari ekspresi feminis mereka. Istilah ini telah menjadi ciri khas gerakan feminis kontemporer. Perempuan bisa melajang selamanya, memutuskan soal kehamilan, meninggalkan budaya diet, dan mengklaim diri mereka sebagai feminis.

Glorifikasi terhadap pilihan jelas terlihat dan tidak terbatas pada pilihan profesional dan politik, tetapi sering diperluas ke pilihan pribadi seperti fashion atau keluarga. Perempuan dapat memilih untuk mengenakan pakaian seksi atau jilbab, merias wajah atau tidak, dan menikah dan punya anak sambil merangkul feminisme dengan segala cara yang mungkin.

Munculnya choice feminism telah menarik khalayak yang lebih luas di seluruh dunia untuk mempercayai kesetaraan gender, sementara meninggalkan citra lama bahwa feminis itu radikal dan berpusat pada kulit putih. Kebebasan, inklusivitas, dan keterbukaan tampak menarik bagi kita semua, sehingga mudah untuk menyebut diri kita feminis atau hanya ikut-ikutan saja.

Memang, tidak ada yang salah dengan menjadi ibu rumah tangga. Mereka mungkin bercita-cita membesarkan anak-anak feminis di masa depan, bukan? Namun feminisme lebih dari sekadar membuat pilihan.

Baca juga: Feminisme Liberal dan Bias Representasi

Apa Bisa Memilih Saja Cukup?

Kita tidak boleh berhenti setelah membuat pilihan, ketika di luar sana sebagian ibu kelelahan mengurus tugas-tugas rumah tangga sendiri dan sebagian ibu lainnya mendambakan aktualisasi diri di luar rumah.

Ada ibu yang berada di bawah tekanan terus-menerus demi menjaga keseimbangan antara karier dan tanggung jawab rumah tangga. Ada yang terus-menerus khawatir memikirkan mahalnya biaya perawatan anak. Dan ada ibu-ibu yang suaminya saja tidak pernah mau mencuci piring, apalagi berbagi pekerjaan rumah tangga.

Masalah-masalah ini biasa terjadi di kalangan perempuan kelas menengah, tetapi hal tersebut hampir tidak pernah dibicarakan. Tetapi bagi perempuan kelas pekerja, perjuangan mereka bahkan lebih fundamental dan terkait dengan akses ke hak-hak dasar mereka. Mereka berjuang untuk menjaga tanah mereka dari perusahaan yang tamak, terjebak dengan sistem ketenagakerjaan yang mengerikan atau perbudakan modern, dan harus hidup dengan konsekuensi kurangnya akses ke kesehatan reproduksi.

Banyak dari kita telah gagal mengakui ketidaksetaraan sistemis yang ada ini, namun kita malah berpikir bahwa kita sudah bertindak cukup, dengan bangga merayakan feminisme di tingkat permukaan. Kita telah terjebak oleh simbol dan identitas yang mengalihkan kita dari nilai utama dan semangat feminisme.

Feminisme adalah sebuah gerakan dan tidak boleh berhenti sampai kita mencapai kesetaraan sosial, ekonomi, dan politik. Ini juga berfungsi sebagai metodologi yang membantu kita untuk menelaah dan menantang faktor struktural yang telah menempatkan perempuan pada posisi kurang menguntungkan.

Kapitalisme dan Choice Feminism

Di sini, banyak feminis yang mungkin memproyeksikan bahwa choice feminism adalah alternatif yang membuat perempuan bersatu. Meskipun benar, itu tidak berarti bahwa hal tersebut menjadi bagian dari solusi. Pada akhirnya, yang selalu kita hadapi adalah patriarki sistematis dan kapitalisme neoliberal.

Patriarki telah begitu dalam tertanam dalam budaya kita. Ini membuat kita merasa bersalah bila kita tidak tunduk padanya dan mendorong kita urung menghancurkan batasan yang menghambat kita berkembang.

Kita juga harus menyadari kekuatan kapitalisme neoliberal yang bersembunyi di balik “hal-hal yang dirasa baik”. Para kapitalis melihat popularitas feminisme sebagai alat yang ampuh untuk memperluas pasar mereka, sehingga mereka mengubahnya menjadi komoditas untuk meningkatkan keuntungan . Mereka telah berhasil menyelaraskan strategi pemasaran mereka dengan gagasan tentang perempuan mandiri dan berprestasi yang sepenuhnya bertanggung jawab atas pilihan mereka sendiri, dan mendorong perempuan-perempuan tersebut untuk mengonsumsi sesuatu untuk kesejahteraan mereka sendiri.

Choice feminism membuat kita berpuas diri; kita berpikir kita sudah cukup feminis dengan hanya merangkul identitas tertentu. Dan itu membuat kita semakin menjauh dari gerakan sosial politik yang dirancang untuk melindungi perempuan yang tidak memiliki privilese. Singkatnya, inilah saatnya kita memikirkan kembali apa arti feminisme bagi kita, belajar dari serangan balik yang kita terima, dan mengambil tindakan dalam gerakan akar rumput.

Artikel ini diterjemahkan oleh Jasmine Floretta V.D. dari versi aslinya dalam bahasa Inggris.

Ilustrasi oleh Karina Tungari 

Zahra Zulfi (Zizi) adalah seorang penerjemah yang beralih ke aktivisme. Ia suka menari dan membaca.