Women Lead Pendidikan Seks
December 12, 2019

SDG Talks: Pelecehan Seksual di Konser Musik Bagian dari Masalah Lebih Kritis

Pelecehan seksual di konser musik adalah bagian dari sesuatu yang lebih inheren dalam masyarakat: budaya patriarkal.

by Elma Adisya, Reporter
Lifestyle
#SDGTalksVol8_Event2019
Share:

Musisi Rara Sekar mengatakan cerita pelecehan seksual di konser musik sudah terlalu lumrah sampai ada semacam normalisasi ketika itu terjadi. Kekerasan seksual itu terjadi bukan hanya pada penonton tapi juga pada musisi perempuan dan juga kru, ujarnya.

“Bukan hanya penonton, tetapi musisi perempuan pun tidak luput dari kekerasan seksual. Saya sering banget mendengar cerita seperti ini dari teman-teman musisi perempuan. Pelakunya bisa penonton, sesama musisi atau petugas,” ujar musisi/penyanyi berusia 29 tahun yang juga merupakan aktivis tersebut.

Rara berbicara dalam diskusi “SDG Talks Vol. 8: Safe Place for Women and Girls at Music Concert” yang diselenggarakan oleh Badan Program Pembangunan PBB (UNDP) bekerja sama dengan Magdalene, Senin (9/12) di Plaza Indonesia. SDG Talks adalah diskusi rutin yang digelar UNDP Indonesia untuk mendorong tercapainya Sustainable Development Goals atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.

Rara Sekar, Musisi dan Penulis Lagu. (Foto: Toto Santiko Budi)
Penyelenggara, pembicara, moderator, dan MC acara SDG Talks Vol. 8. (Foto: Toto Santiko Budi)

Diskusi Senin lalu berfokus pada Tujuan Nomor 5, yakni “mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan.” Diskusi ini juga beririsan dengan kampanye 16 Hari Anti-Kekerasan terhadap Perempuan yang setiap tahun diadakan mulai tanggal 25 November.

Tema kekerasan seksual dalam konser ini diambil menyusul insiden kekerasan seksual terhadap penonton perempuan yang menjadi perbincangan di media sosial baru-baru ini, termasuk oleh musisi. Acara diskusi ini bertujuan untuk berkontribusi dalam mencari cara dan strategi untuk mencegah dan menghapuskan kekerasan seksual yang terjadi di konser musik

Rara mengatakan bahwa meski ini bukan isu baru, solidaritas terhadap para korban masih sangat kurang.

“Ada semacam normalisasi ketika kekerasan seksual ini terjadi di konser. Ketika ada musisi perempuan atau penonton yang menyuarakan tentang kasusnya, mereka malah dipojokkan. Budaya di Indonesia masih terlalu mengakar. Mindset ini yang perlu diubah," ujarnya.

“Di saat teman-teman musisi perempuan protes terhadap kekerasan seksual yang dialami, solidaritas di dalam dunia musiknya kurang,” tambah Rara.

Baca juga: Ini Konser Kami Juga: Bagaimana Agar Acara Musik Bebas Kekerasan Seksual

Normalisasi yang terjadi di konser musik ini juga diperparah di dunia digital, ujarnya, dengan tingginya objektifikasi dan perisakan dunia maya yang dihadapi oleh musisi perempuan.

Yenny Widjaja, Gender Specialist dari UNDP, mengatakan bahwa isu kekerasan seksual di konser musik bukan sebuah fenomena kejahatan biasa. Jika dianalisis lebih lanjut, korban yang sebagian besar perempuan memperlihatkan adanya superioritas dari kelompok tertentu, yaitu laki-laki, ujarnya.

Yenny Widjaja, Gender Specialist dari UNDP. (Foto: Toto Santiko Budi)
Pejabat UNDP dan peserta diskusi. (Foto: Toto Santiko Budi)
Suasana diskusi SDG Talks. (Foto: Toto Santiko Budi)

“Adanya keinginan untuk mendominasi si kelompok perempuan ini, itu dikarenakan mereka merasa  lebih superior dari si kelompok perempuan. Pemikiran seperti ini sudah membudaya di dalam masyarakat,” ujar Yenny dalam diskusi yang sama.

Budaya ini bukan hanya mengakar di benak laki-laki saja namun juga perempuan, sehingga banyak perempuan yang merasa pelecehan seksual yang ia alami merupakan hal yang biasa.

“Bukan hanya menganggap hal ini biasa, banyak juga yang menganggap  kejadian ini merupakan aib yang harus ditutupi. Maka dari itu kita perlu banyak mengedukasi tentang isu ini termasuk di konser musik,” ujar Yenny.  

Edukasi dan crowd control

Promotor musik Xandega Tahajuansyah dari Studiorama, sebuah kolektif musik dan penyelenggara musik, mengatakan bahwa pihaknya telah berusaha melakukan edukasi kepada penonton untuk menjaga keamanan dan kenyamanan satu sama lain.

“Kami sudah mulai melakukan edukasi-edukasi tersebut di kanal medial sosial kami, dan enggak cuma berhenti di situ saja. Ketika ada social gathering di acara-acara musik, kami juga mengedukasi teman-teman lain juga bahwa kita harus menjaga keamanan dan kenyamanan satu sama lain,” kata Xandega.

Edukasi ini sangat penting, ujar Arian Arifin Wardiman dari band metal Seringai, sehingga memungkinkan solidaritas dan keamanan di konser-konser musik metal. Menurut Arian13, nama panggilannya, saat ini ia sudah jarang mendengar laporan pelecehan seksual terjadi di konser metal karena eratnya rasa persaudaraan sesama penggemar, baik laki-laki maupun perempuan.

Xandega Tahajuansya, Promotor Musik. (Foto: Toto Santiko Budi)
Suasana diskusi SDG Talks. (Foto: Toto Santiko Budi)

“Ini juga berkat edukasi selama 20 tahunan. Gue sendiri sebagai musisi biasanya lebih ke mengajak, ‘Ayo kalo ada yang berantem diajak keluar’. Gua menghindari ngomong, ‘Tolong lindungi kawan-kawan perempuan,’ karena gue tahu mereka bisa kok melindungi diri sendiri,” ujarnya. 

Dua bulan lalu, Baskara Putra dari band .Feast dan sesama penyanyi Kunto Aji, meluncurkan sebuah tanda GIF SOS yang bisa diunduh dan digunakan penonton saat konser, ketika terjadi sesuatu. Inisiatif tersebut muncul karena laporan kekerasan seksual yang dialami oleh seorang penonton perempuan ketika menonton konser .Feast.

Inisiatif ini diapresiasi oleh banyak pihak, namun menurut Rara belum cukup untuk menyelesaikan masalah. Ia mendorong agar semua pihak di dunia musik bukan hanya menerangkan kegunaan tanda SOS saja, tetapi perlu banyak mengedukasi diri sendiri.

“Musisi laki-laki sudah mau  membicarakan hal ini menurutku itu sebuah kemajuan yang besar. Sekarang kita tinggal memperkaya diri kita dengan banyak membaca, ngobrol dengan para aktivis yang mengadvokasi isu kekerasan seksual. Jadi kita juga mengedukasi teman-teman kita,” ujar Rara.

Baca juga: Menjadi Perempuan dalam Skena Musik

Berdasarkan pengalaman Arian, ada sebuah mekanisme yang belum dijalankan dalam acara-acara musik di Indonesia padahal sangat penting dalam meningkatkan keamanan dan mencegah pelecehan seksual, yakni crowd control atau pengendalian kerumunan. Salah satu contohnya adalah membuat sebuah area yang besar antara panggung dan penonton dan di area tersebut disediakan beberapa personil penjaga. Menurut Arian, fungsi crowd control di konser-konser musik di negara ini masih mengandalkan petugas keamanan seperti polisi.

Crowd control di sini lebih banyak dititikberatkan pada tim keamanan, padahal seharusnya ada tim sendiri. Jadi mereka fokus melihat ke penonton, mengatur kepadatan penonton, lalu bagaimana jika ada penonton yang dehidrasi, dan sebagainya,” kata Arian.

Sependapat dengan Arian, Xandega mengatakan bahwa pihak promotor seharusnya menempatkan tenaga ekstra demi menciptakan keamanan dan kenyamanan.

Arian 13, Vokalis Seringai. (Foto: Toto Santiko Budi)
Suasana diskusi SDG Talks. (Foto: Toto Santiko Budi)

“Kita selalu mengomunikasikan ke tim keamanan bahwa nanti ada dari tim kita yang membaur di area penonton untuk melihat situasi dan kondisi di sana. Di saat ada yang perlu dibantu, entah itu pelecehan seksual atau ada yang berkelahi, mereka ini yang turun,” ujarnya.

Xandega menambahkan, pihak promotor juga harus membuat tanda untuk mengingatkan tentang ruang nyaman bagi semua orang. Hal ini masih dalam tahap percobaan di konser-konser musik yang mereka selenggarakan, ujarnya.

Yenny mengatakan harus ada sistem pendukung yang baik untuk korban agar mereka merasa nyaman dalam melaporkan atau menceritakan kejadian tersebut. Selain itu, ujarnya, perlu ada pendekatan hukum formal yakni lewat pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).

Kiri-kanan: Arian13, vokalis Seringai, dan Rara Sekar, Penyanyi dan Penulis Lagu. (Foto: Toto Santiko Budi)

“Pendekatan formal seperti pengesahan RUU PKS sangat penting. Di dalam rancangan undang-undang tersebut diatur secara komprehensif mulai dari pengertian kekerasan seksual, sanksi, hingga perlindungan korban,” ujarnya.

Rara mengajak para musisi mulai membicarakan tentang RUU PKS ini kepada penggemarnya.

“Saat ini, RUU PKS masih belum disahkan, dan masih ada saja pihak yang menolak kehadiran RUU ini, padahal RUU tersebut sangat penting untuk menyelesaikan kekerasan seksual di Indonesia. Maka dari itu, penting juga untuk musisi mengedukasi penggemar mereka terkait RUU PKS,” katanya.   

Valerie Cliff, UNDP Deputy Regional Director for Asia and The Pacific, memberikan sambutan. (Foto: Toto Santiko Budi)
Penampilan Woro and The Night Owls. (Foto: Toto Santiko Budi)
Suasana diskusi SDG Talks. (Foto: Toto Santiko Budi)
Suasana diskusi SDG Talks. (Foto: Toto Santiko Budi)
Pembagian zine dan merchandise untuk peserta. (Foto: Toto Santiko Budi)
Suasana diskusi SDG Talks. (Foto: Toto Santiko Budi)
Swafoto saat penutupan acara SDG Talks Vol. 8. (Foto: Toto Santiko Budi)
 
Elma Adisya adalah reporter Magdalene, lebih sering dipanggil Elam dan Kentang. Hobi baca tulis fanfiction dan mendengarkan musik  genre surf rock.