Di tengah kepanikan politik dan moral soal seksualitas seiring meningkatnya konservatisme agama di Indonesia, tingkat diskriminasi dan persekusi yang menargetkan kelompok Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) meningkat drastis.
Situasi diperparah oleh banyaknya tokoh politik yang menyebarkan ketakutan pada kelompok LGBT dengan menganggap mereka sebagai penyakit atau ancaman yang bahaya untuk Indonesia. Bahkan, pada 2016, Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Mohamad Nasir, menyatakan bahwa ia ingin melarang semua kelompok mahasiswa LGBT dari kampus-kampus di Indonesia. Pernyataan ini kemudian melahirkan gelombang aksi anti-LGBT di berbagai kota di Indonesia.
Amerika Serikat baru saja merayakan Pride Month sepanjang Juni, sebagai peringatan atas kerusuhan Stonewall pada Juni 1969, yang memicu gerakan perjuangan hak-hak LGBT di negara itu. Ada baiknya momen ini kita gunakan untuk melihat kembali perjuangan hak-hak LGBT yang telah dilalui di Indonesia. Berikut adalah kejadian-kejadian penting yang terjadi dalam perkembangan perjuangan hak-hak LGBT di Indonesia yang disarikan dari berbagai sumber.
Gerakan LGBT di Indonesia diyakini dimulai dengan berdirinya organisasi transgender pertama Himpunan Wadam Djakarta (HIWAD), yang difasilitasi oleh Gubernur Jakarta pada saat itu, Ali Sadikin, pada 1969. Wadam adalah singkatan dari “wanita Adam”, istilah yang kemudian diprotes oleh seorang pejabat negara karena dianggap membawa-bawa Nabi Adam. Istilah ini kemudian diganti menjadi “waria” atau “wanita pria”, walaupun pemakaian yang lebih tepat secara politis adalah transgender atau transpuan dan transpria.
Di zaman Orde Baru, gerakan LGBT tidak mengalami persekusi, namun masih sangat diatur frekuensi dan ruang geraknya. Pada Maret 1982, organisasi gay pertama di Indonesia, dan juga Asia, berdiri di Solo, Jawa Tengah, dengan nama Lambda Indonesia. Mereka mengorganisasi pertemuan sosial dan juga peningkatan kesadaran masyarakat mengenai LGBT dan hak-haknya. Sayangnya, organisasi ini kemudian bubar pada 1986.
Organisasi dan kelompok LGBT terus bertambah dengan didirikannya Ikatan Waria Yogyakarta (IWAYO) pada 14 April 1982, serta Persaudaraan Gay Yogyakarta (PGY) pada 1985, yang berganti nama menjadi Indonesian Gay Society (IGS) pada 1988.
Selain itu, ada Kelompok Kerja Lesbian dan Gay Nusantara (KKLGN) yang berdiri pada 1986 di Pasuruan, Jawa Timur, sebagai penerus Lambda Indonesia. Setahun kemudian, namanya secara resmi dipersingkat menjadi GAYa Nusantara (GN). GAYa Nusantara menjadi organisasi LGBT tertua yang masih terus bertahan bahkan hingga sekarang.
Pada 1993, sekelompok organisasi, aktivis dan individu menyelenggarakan Kongres Lesbian dan Gay Indonesia (KLGI) di Kaliurang, dekat Yogyakarta. Dalam Kongres ini, GAYa Nusantara mendapat mandat untuk mengkoordinasi jaringan lesbian dan gay Indonesia. Kongres kedua kemudian diadakan di Lembang, Jawa Barat, pada Desember 1995 dan di Denpasar, Bali, pada 1997.
Menjelang berakhirnya rezim Orde Baru, perjuangan hak-hak LGBT mengalami kemajuan yang baik. Pada 1993, Kementerian Kesehatan sudah mengeluarkan homoseksual dari daftar gangguan kejiwaan melalui Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III tahun 1993.
Pada September 1998, Yayasan Srikandi Sejati didirikan dengan fokus utama pada kesehatan orang-orang transgender. Yayasan Srikandi Sejati ini berfungsi memberikan konseling HIV/AIDS dan juga kondom gratis untuk transgender yang juga pekerja seks di sebuah klinik kesehatan gratis. Pada Desember di tahun yang sama, Kongres Koalisi Perempuan Indonesia pada 1998 secara resmi mengikutsertakan perwakilan dari komunitas lesbian, perempuan biseksual, dan pria transgender.
Pada Juni 1999, GAYa Nusantara, Persatuan Waria Kota Surabaya (PERWAKOS) dan Pusat Kebudayaan Prancis (CCCL) bekerja sama dan mengadakan perayaan Gay Pride di Surabaya. Pada bulan Oktober, GAYa Nusantara menjadi salah satu pendiri Jaringan Asia/Pacific Rainbow (APR), yaitu sebuah jaringan lesbian, gay, biseks, waria, interseks dan queer Asia dan Asia Pasifik.
Meskipun organisasi dan kelompok LGBT terus berkembang di Indonesia, diskriminasi dan juga kelompok-kelompok anti-LGBT juga mulai berkembang. Pada 11 Nov 2000, di tengah acara pendidikan HIV/AIDS melalui hiburan di Kaliurang, yang diberi nama Kerlap-Kerlip Warna Kedaton, sekelompok preman dengan atribut Islam yang menyebut diri mereka Gerakan Anti-Maksiat (GAM) mendatangi lokasi dan menyerang peserta acara secara brutal. Penyerangan ini menyebabkan 25 orang luka-luka dan tiga orang harus dirawat secara intensif.
Pada 2002, Pemerintah Indonesia memperbolehkan Provinsi Aceh untuk memberlakukan hukum syariat. Berdasarkan hukum syariat di provinsi tersebut, homoseksualitas dianggap sebagai suatu kejahatan atau tindakan kriminal dan hukum ini berlaku kepada semua pihak di Aceh, bukan cuma orang Muslim di Aceh.
Setahun kemudian, muncul sebuah Rancangan Undang-Undang nasional untuk mengkriminalisasi homoseksualitas, beserta orang-orang yang hidup bersama di luar ikatan pernikahan, zina, dan praktik sihir. Namun RUU ini gagal disahkan.
Hak-hak LGBT terus diperjuangkan dengan dibentuknya Ardhanary Institute pada 14 November 2005. Dibentuk oleh kelompok kepentingan LBT dalam organisasi hak perempuan Koalisi Perempuan Indonesia, Ardhanary adalah sebuah lembaga pusat kajian, penerbitan, dan advokasi hak-hak LBT perempuan.
Arus Pelangi dibentuk pada 15 Januari 2006 di Jakarta, didorong oleh kebutuhan yang mendesak di kalangan komunitas LGBT untuk membentuk organisasi massa yang mempromosikan dan membela hak-hak dasar komunitas LGBT di Indonesia.
Pada November 2006, pertemuan Komisi Ahli Hukum Internasional, organisasi HAM global International Service for Human Rights, dan ahli-ahli hak asasi manusia dari seluruh dunia di Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta, menghasilkan Prinsip-prinsip Yogyakarta (Yogyakarta Principles). Prinsip-prinsip ini merupakan prinsip internasional pertama yang membahas tentang penerapan hukum hak asasi manusia internasional dalam kaitannya dengan orientasi seksual dan identitas gender.
Dua tahun kemudian, enam organisasi LGBT yang berkantor di Jakarta, Surabaya, dan Yogyakarta bergabung untuk memperkuat gerakan mereka. Ini terjadi setelah Konferensi International Asosiasi Lesbian, Gay, Biseksual, Trans dan Interseks (ILGA) tingkat Asia yang ke-3 di Chiang Mai, Thailand pada Januari 2008. Langkah ini menjadi awal Forum LGBTIQ (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Intersex & Queer) Indonesia yang akhirnya dibentuk pada 2012. Forum ini kemudian membuat visi, misi, dan rencana strategis yang hasilnya menetapkan pertemuan nasional yang diadakan tiga tahun sekali sebagai badan tertinggi forum ini.
Pada 13-14 Juni 2013, Dialog Komunitas LGBT Nasional Indonesia diadakan di Nusa Dua, Bali, dan dihadiri 71 peserta dari 49 lembaga, termasuk wakil-wakil organisasi LGBT dari 15 provinsi di Indonesia. Digelar sebagai kegiatan utama komponen Indonesia dalam rangka prakarsa “Hidup Sebagai LGBT di Asia”, sebuah laporan yang dikumpulkan oleh badan donor AS, USAID, dari berbagai negara di Asia sebagai sebuah inisiatif untuk menyadarkan keadaan hak-hak LGBT di Asia. Di tahun yang sama Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menetapkan hak LGBT sebagai topik untuk diskusi pleno untuk pertama kalinya dalam sepuluh tahun.
Sayangnya, sejak saat itu, situasi perkembangan hak-hak LGBT adalah sama seperti yang kita dapat lihat sekarang, di mana diskriminasi dan kekerasan berbasis orientasi seksual masih terus terjadi, bahkan meningkat.
Comments