Women Lead Pendidikan Seks
April 12, 2018

Sekolah Alternatif untuk Transpuan: Melawan dalam Diam

Di tengah intimidasi dan perkusi, sekolah alternatif untuk transpuan muda terus berjalan untuk memberdayakan kelompok mereka.

by Elma Adisya, Reporter
Issues // Gender and Sexuality
Share:
Tatapan mereka lurus ke depan dengan penuh percaya diri dan senyum mengembang di wajah para transpuan peserta sekolah alternatif 2018. Tepuk tangan dan sorak sorai dari kursi penonton membahana ketika satu per satu peserta muncul dari balik panggung dengan menggunakan gaun malam beragam bentuk dan gaya.
 
Bagian dari kegiatan sekolah yang bertujuan untuk memberdayakan transpuan muda, pagelaran busana tersebut bermakna lebih dari sekedar pertunjukan. Ini adalah salah satu cara untuk mendukung visibilitas transpuan dengan identitas dan ekspresi gender yang mereka miliki.
 
Ada yang berbeda pada tahun ini dibandingkan dengan periode-periode sebelumnya, karena para peserta tidak hanya datang dari kawasan Jabodetabek saja, namun juga dari seluruh Indonesia.
 
Apa yang muncul di panggung pada malam itu adalah puncak dari masa karantina selama satu minggu lebih, di mana para transpuan muda berusia 19-30 tahun belajar mengenai banyak hal, mulai dari konsep penerimaan diri dan perisakan, sampai advokasi kasus, serta gender dan seksualitas.
 
Semua materi yang diberikan dalam sekolah alternatif ini dirasa berguna oleh para peserta, seperti yang disampaikan oleh Yani, salah satu alumni sekolah alternatif untuk transpuan itu.
 



“Sekolah alternatif ini membantu saya untuk berjejaring dengan komunitas-komunitas lainnya, “ kata Yani, saat ditanya oleh pembawa acara malam itu ketika turut naik ke panggung.
 
Sekolah alternatif ini menjadi semakin krusial di tengah situasi yang mengancam kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) di negara ini, terutama para transpuan yang memiliki visibilitas paling tinggi. Sejumlah kasus persekusi pada transpuan muncul akhir-akhir ini, dengan yang paling menonjol adalah penangkapan 12 transpuan di Aceh oleh polisi dan pemaksaan terhadap mereka untuk berpenampilan seperti laki-laki.
 
Dalam tiap sesi kelas saat karantina, para peserta bertukar pengalaman, termasuk mengenai intimidasi dan persekusi yang mereka hadapi, serta tips-tips keamanan bagi satu sama lain.
 
Menurut Rebecca Nyoei, salah satu mentor dan juga panitia sekolah alternatif 2018, sangat penting untuk berbagi saran keamanan di situasi yang seperti ini. 
 
“Situasi yang dialami kawan-kawan di daerah pastinya berbeda-beda. Jadi jika kita berbagi saran bersama, ini akan menjadi masukan untuk teman-teman yang lain,“ ujar Rebecca, saat ditemui pada masa karantina.
 
Rebecca sendiri adalah alumni dari sekolah alternatif tersebut, dan setelah mengikuti kegiatan ini, ia aktif dalam sebuah organisasi transpuan muda  yang bergerak dalam advokasi dan pemberdayaan transpuan di Jakarta dan sekitarnya. 
 
Tahun ini merupakan periode yang lebih menantang, ujar Rebecca, karena sudah memasuki tahun politik menjelang pemilihan presiden 2019, dan banyak politisi menggunakan narasi anti-LGBT untuk meraih pendukung. Karena itu, tambahnya, panitia berupaya ekstra keras untuk memperhatikan keamanan dan kerahasiaan jalannya acara ini hingga selesai.
 
“Ini adalah agenda tahunan kami. Dengan situasi apa pun, kami akan tetap jalani. Toh yang kami lakukan bertujuan baik, membuka akses pendidikan yang nyaman bagi transpuan muda yang selama ini memang tidak pernah ditemui dalam pendidikan formal,” ujar Becca. 
 
Sekolah alternatif ini menjadi jawaban untuk diskriminasi yang dialami oleh transpuan muda di sekolah formal. Banyak dari transpuan, termasuk sebagian dari peserta, yang putus sekolah dan hanya tamat sekolah menengah pertama karena perisakan dan pelecehan oleh guru dan teman terhadap ekspresi gender yang mereka miliki. 
 
Seperti di sekolah umum, para peserta menghadapi ujian lisan terkait semua hal yang dipelajari selama masa karantina. Pagi sebelum ujian dimulai mereka sudah berkumpul sambil membawa catatan pribadi untuk dibaca-baca. Ada yang gugup dan ada juga yang ingin cepat-cepat ujian supaya apa yang dipelajari tidak terlupa. Malamnya, beberapa di antara terlibat diskusi dengan para mentor, atau dengan sesama peserta.
 
Masa karantina tampak membuat mereka lebih percaya diri dan pandai mengartikulasikan pendapat, seperti terlihat dari jawaban-jawaban yang diberikan pada sesi tanya jawab di panggung.
 
"Makna kecantikan itu menurut saya, adalah keadaan di mana seseorang menyayangi tubuhnya tanpa harus melakukan satu transisi atas paksaan orang lain, dan seseorang yang selalu menghargai apa itu identitas dirinya sendiri,” ujar salah seorang peserta dengan tegas dan lancar, disambut aplaus meriah dari hadirin.
 
Seorang peserta lagi menjawab agak lirih saat ditanya apa sarannya untuk melawan diskriminasi: “Untuk melawan diskriminasi, saya akan mengajarkan teman-teman LGBT community untuk tetap tenang dan melawan dalam diam.”
 
Acara ini juga menjadi salah satu dukungan dari para sekutu transpuan. Orang-orang yang terlibat dalam kepanitiaan tidak terbatas pada transpuan, namun dari beragam kalangan dan kelompok aktivisme lain.
 
Pada akhir acara inaugurasi, para panitia berbaris di depan panggung, menyanyikan lagu “Darah Juang”, yang identik dengan gerakan mahasiswa pro-demokrasi. Air mata mulai membasahi wajah hadirin dan juga peserta saat mendengarkan lirik lagu tersebut.
 
“...Di negeri permai ini
Berjuta rakyat bersimbah rugah..
..Mereka dirampas haknya
Tergusur dan lapar…”
 
Seorang transpuan kemudian membaca puisi, dan sepertinya tidak ada mata yang tidak basah mendengarnya membaca dengan penuh emosi dan menutupnya dengan persembahan pada teman-temannya.
 
“Puisi ini kami tujukan pada teman-teman transpuan kami yang telah mendahului kami yang disebabkan oleh diskriminasi yang mereka alami karena identitas mereka.“
 
Baca bagaimana kelompok minoritas dan rentan masih sulit mendapatkan identitas hukum.
Elma Adisya adalah reporter Magdalene, lebih sering dipanggil Elam dan Kentang. Hobi baca tulis fanfiction dan mendengarkan musik  genre surf rock.