Bruce Wayne memang salah satu superheroes yang paling sering diadaptasi jadi live-action. Mulai dari serialnya di era 60an versi komedi mendiang Adam West, versi gelap Michael Keaton (1989, 1992), Val Kilmer (1995) dan George Clooney (1997) yang campy, kembali ke zona tergelap versi Christian Bale (2005-2012), versi remaja David Mazouz (2014-2019), sampai yang teranyar diperankan Robert Pattinson (2022).
Kadang-kadang muncul pertanyaan: Sampai kapan obsesi Hollywood mengeksploitasi hidup pria-kulit-putih-kaya-raya-yang-inner-child-nya-belum-sembuh-lalu-memilih-jadi-vigilante-bertopeng-kelelawar-di-masa-dewasanya ini berakhir?
Melihat respon orang-orang setelah menonton Batman versi Matt Reeves, tampaknya jawaban untuk pertanyaan itu adalah: Masih lama.
Namun, artikel ini lebih tertarik membahas karakter lain, yang bukan Bruce Wayne, tapi juga punya banyak versi dalam mitologi Batman.
Baca juga: ‘Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings’ Runtuhkan Stereotip Perempuan Asia
The Batman versi Reeves bukan cuma membangkitkan lagi karakter Sang Ksatria Malam lewat Pattinson, tapi juga menghadirkan Catwoman baru dalam sosok Zoë Kravitz. Selain Bruce Wayne, karakter Selina Kyle termasuk anti-heroes/villain/superheroes yang paling sering dihidupkan. Setidaknya ada sembilan aktor yang sudah pernah membawakan sang pencuri ini di layar lebar dan layar perak. Mulai dari Julie Newmar, Lee Meriwether, Eartha Kitt, Michelle Pfeiffer, Halle Berry, Anne Hathaway, Camren Bicondova, Lili Simmons, sampai yang terakhir Zoë Kravitz.
Semuanya menginterpretasikan Catwoman yang berbeda. Kadang, karakter ciptaan Bill Finger dan Bob Kane ini, di setiap interpretasinya menangkap konteks dunia yang lebih dinamis, daripada Bruce Wayne sendiri. Latar belakang anak yatim piatu kaya-raya yang terluka adalah dasar premis semua film dan series Batman yang pernah dibikin. Tapi, selain tabiatnya yang mirip kucing, Selina Kyle punya asal-usul yang lebih beragam daripada Bruce.
Ia pernah jadi simbol Femme Fatale pada '60an, tepatnya di era noir. Ia juga adalah kriminal di masa-masa para pahlawan super jadi simbol moral. Di era girl power dipopulerkan Spice Girls, Catwoman juga berubah jadi ikon feminis dari komik. Perjalanannya menarik, dimulai dari jadi antiheroes sampai belakangan dilibatkan jadi love interest Sang Manusia Kelelawar.
Namun, siapa sebenarnya Catwoman? Kenapa dia seharusnya tak cuma jadi patner romantis Batman, dan perlu dibikinkan filmnya sendiri?
Dimulai dari Gagasan Misoginis
Eksistensi Catwoman sendiri berawal dari gagasan misoginis penciptanya, Bill Finger dan Bob Kane. Di Batman #1 (1940), Catwoman masih belum punya nama. Ia adalah musuh Batman yang diciptakan Kane dan Finger untuk menggaet pasar pembaca perempuan. Karena dibikin oleh laki-laki, The Cat (nama original Catwoman) dibangun dengan karakter-karakter bias: ia dibikin rentan jika dekat Baman, dianggap berbahaya, penggoda, dan “mengundang”.
Bahkan, pandangan bias itu tidak disembunyikan Kane dalam biografinya, yang menyebut, “Saya pikir perempuan adalah makhluk feline, sedangkan laki-laki lebih seperti anjing. Jika anjing setia dan ramah, maka kucing itu dingin, berjarak, dan tidak bisa diandalkan. Saya merasa anjing lebih hangat—kucing lebih sulit dipahami, sama seperti perempuan,” tulis Kane, menceritakan pembuatan Catwoman.
Penggambaran Catwoman sebagai makhluk penggoda ini yang juga “dijaga” dalam dekade pertama eksistensinya di dunia komik. Karakternya mulai diberi nama dan latar belakang, tapi citra yang ditanam masih sebagai musuh Batman yang nakal, dan penggoda. Terkadang manipulatif, sehingga Batman sering kali tertipu.
Baca juga: Mari Ngobrol Serius tentang BL Asia: Sebuah Queer Gaze
Dalam adaptasi live-action pertamanya di serial komedi Batman 60an, aktor, penari, dan penyanyi Julie Newmar memerankan Catwoman selama dua musim. Versi Newmar kentara sekali menjaga karakter penggoda dari komiknya dan peran feminin tradisional yang masih jadi tantangan buat perempuan yang tampil di televisi pada masa itu. Catwoman versi Newmar bisa mengimbangi porsi komedi yang diminta naskah serialnya, sekaligus meneruskan citra Catwoman yang diinisiasi Kane.
Versi kedua diperankan Lee Meriwether, yang jadi Catwoman pertama di layar lebar. Tak ada banyak perbedaan dari versi Newmar, Catwoman yang diperankan Meriwether bahkan terkesan lebih tegas dan tidak lucu. Ia menyajikan Catwoman yang lebih serius, dan malu-malu.
Sementara, Eartha Kitt, perempuan ketiga yang memerankan Catwoman tampil lebih campy. Dari dua aktor sebelumnya, Kitt tampak lebih tekun menghayati jiwa “kucing” yang dimiliki Catwoman. Gerakan tubuhnya, cara bicara, cara menoleh, dan seluruh gestur Kitt saat memakai catsuit betul-betul ikonik. Membuat ia jadi salah satu aktor yang paling diingat sepanjang masa. Terlebih lagi, Kitt jadi aktor perempuan kulit hitam pertama yang memerankan Selina Kyle, yang meski tak punya latar belakang etnis di komiknya, sering kali didefinisikan sebagai perempuan kulit putih.
Situasi politik-sosial Amerika Serikat saat itu juga bikin pemilihan Kitt sebagai Catwoman jadi kontroversi panjang. Di tahun yang sama, undang-undang kontroversi yang melarang hubungan interrasial di AS baru dicabut, tapi televisi cenderung mengabaikannya. Hubungan Catwoman dan Batman yang sebelumnya cenderung tarik-menarik secara seksual mulai longgar. Catwoman versi Kitt lebih fokus jadi kriminal dan bekerja sama dengan musuh-musuh Batman lainnya.
Bruce-Selina: On-Off, Catwoman sebagai Robin Hood
Hubungan Bruce dan Selina tak sehitam-putih superheroes versus villain lagi di komik era 70an-80an. Tapi, perlu 24 tahun lamanya hingga Catwoman kembali muncul ke layar lebar dan jadi Batman’s love interest.
Kali ini ia dihidupkan aktor Michelle Pfeiffer, lewat Batman Returns (1989) versi Tim Burton. Pfeiffer adalah Catwoman pertama yang saya tonton. Anak-anak yang lahir di pertengahan hingga ujung 90an, kemungkinan besar juga tumbuh dengan citra Catwoman yang ditanam Pfeiffer: ia masih penggoda, tapi sekaligus mematikan.
Batman Returns jadi film pertama Catwoman punya origin story—alias Burton lebih tertarik memfokuskan narasi filmnya pada pergolakan sang antagonis, ketimbang si Batman sendiri. Di sana, kita diperkenalkan Selina yang malu-malu bekerja sebagai sekretaris yang dibunuh bosnya sendiri. Ia lalu ditolong kucing-kucing jalanan, dan hidup kembali jadi Catwoman.
Baca juga: Iteungisme: Memaknai Iteung dalam Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas
Versi Pfeiffer memantik percakapan tentang peran perempuan yang harus takluk pada aturan patriarki. Kemunculannya dirayakan bersamaan dengan lahirnya feminisme gelombang ketiga yang mulai memperhatikan hak-hak perempuan kelas menengah ke bawah. Karakter Selina yang fokus membalas dendam semua pria-pria jahat di dunia Burton, jadi tontonan seru karena terasa dekat dengan realitas.
Meski dinilai memberdayakan, potret Selina versi Pfeiffer juga tak lepas dari kritik karena kehadirannya dalam plot film diberi ujung buruk. Seolah-olah perempuan yang berani melawan, harus mengorbankan segalanya, termasuk nyawa sendiri.
Namun, sifat Catwoman yang peduli pada banyak orang mulai lekat dan tumbuh bersama Catwoman versi Pfeiffer. Era Girl Power yang tumbuh di pertengahan 90an juga menyambut baik gagasan itu. Catwoman di komik juga sempat jadi CEO di sebuah perusahaan raksasa, dan jadi putri mafia Carmine Falcone.
Di tengah popularitas itu, sempat ada kabar Pfeiffer akan dibikinkan film Catwoman-nya sendiri. Tapi, gagasan itu tak pernah terwujud sampai kita disuguhkan Catwoman 2004, versi Halle Berry. Kali ini ia bukan Selina Kyle, melainkan versi alternatif bernama Patience Phillips. Karakter ini kurang-lebih banyak mengutip gaya Eartha Kitt, dan original story Catwoman sebagai pencuri perhiasan di komik. Sayangnya, film stand alone Catwoman pertama ini dihiasi plot, koreografi tarung, logika cerita (dan hampir semua sektor produksi lainnya, kecuali akting Halle Berry sendiri) yang jelek. Beberapa kali bahkan didapuk jadi film superhero terburuk. Satu kritik yang muncul adalah bagaimana film buatan Jean-Christophe Comar ini men-seksualisasi kostum Catwoman dengan amat berlebihan.
Tujuh tahun kemudian, versi Catwoman baru lahir dalam The Dark Knight Rises, versi Christopher Nolan. Anne Hathaway diaudisi untuk peran ini, dan berhasil kembali menghidupkan Selina Kyle yang: pencuri perhiasan, manipulatif, dan cerdas mengakali Batman.
Namun, sayangnya versi Hathaway masih tak jauh dari gagasan inisiasi Kane. Selina memang berbahaya, tapi memanfaatkan sifat femininnya cuma untuk menipu dan memanipulasi laki-laki di sekitarnya. Penampilan Hathaway cocok dengan pendekatan hyper-realistic yang dikejar Nolan dalam trilogi The Dark Knight.
Sepuluh tahun berlalu, Zoë Kravitz hadir sebagai Catwoman paling baru. Fitur wajah dan tubuhnya dianggap yang paling mirip dengan Selina Kyle versi komik setelah 90an. Tapi, bukan berarti pemilihan Kravitz tak lepas dari kontroversi. Kelompok rasis mempermasalahkan warna kulitnya, sebagaimana yang dialami Kitt pada ujung 60an.
Buat saya pribadi, Selina Kyle versi sutradara Matt Reeves ini yang paling berpotensi dikembangkan jadi film sendiri. Ia bertumpu pada Catwoman versi Batman: Year One (2011), yang ditulis Frank Miller. Di sana, Selina Kyle adalah seorang dominatrix yang bertarung dengan Para Lelaki, untuk melindungi perempuan-perempuan muda yang terjebak prostitusi. Versi ini mendefinisikan ulang peran Catwoman sebagai liberator alias pembebas, yang mengguncang sistem di luar sistem hukum yang ada.
Saat Batman sibuk bertarung untuk memulihkan kekuasaan ke institusi yang ada, Catwoman justru berusaha mengembalikannya pada rakyat.
Sayangnya, versi Reeves dan Kravitz memang belum seprogresif itu. Tapi, daripada terus mengulang-ulang narasi kebimbangan Bruce Wayne sebagai orang ultrakaya yang terobsesi memperbaiki Gotham, rasanya lebih menarik menonton Selina mendapat ruang lebih untuk menjadi Robin Hood sesungguhnya, yang mendistribusikan ulang kesejahteraan dari orang kaya ke mereka yang membutuhkan.
Comments