Women Lead Pendidikan Seks
October 18, 2021

Semudah Menikah, Semudah Bercerai

BKKBN mengklaim, pernikahan muda tidak hanya berdampak secara biologis pada perempuan, namun juga berdampak pada keharmonisan rumah tangga dan bonus demografi Indonesia.

by Jasmine Floretta V.D., Reporter
Issues
tips menghadapi putus cinta
Share:

Mainkan newsgame selengkapnya  di sini, dan selami langsung pengalaman menarik mereka yang nikah muda.

Dalam revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sudah dijelaskan bahwa batas usia perempuan yang diperbolehkan menikah adalah 19 tahun. Direvisinya UU perkawinan ini adalah buah hasil dari perjuangan panjang para aktivis dan NGO untuk mencegah pernikahan dini dan pernikahan di usia muda di Indonesia.

Kendati batas usia perkawinan sudah direvisi, pada praktiknya, masih banyak pernikahan muda yang terjadi di Indonesia. Salah satu penyebab dari masih banyaknya pernikahan muda di Indonesia adalah karena minimnya pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas yang diterima oleh remaja di Indonesia. Hal ini mengakibatkan banyak sekali remaja perempuan di Indonesia mengalami Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) yang berujung pada “pemaksaan” nikah muda. 

Ketua BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional) Indonesia, Hasto Wardoyo dalam wawancara bersama Magdalene, (24/9) mengungkapkan, hampir 80 persen dispensasi pernikahan yang disetujui oleh pengadilan agama baik di DIY atau Jawa Timur diakibatkan oleh kehamilan di luar nikah. Dengan tanggung jawab moral yang dimiliki perempuan atas kehamilan mereka, banyak perempuan pun terpaksa menikah muda.

Baca Juga: Penghentian Perkawinan Anak Terkendala Kelonggaran Dispensasi Kawin

Belum Siap secara Fisik dan Psikis

Selain pernikahan muda dikarenakan KTD, hal yang membuat Hasto khawatir adalah tentang adanya kampanye di kalangan remaja untuk menikah muda. Dengan adanya bayangan bahwa pernikahan di usia muda itu indah, Hasto sangat mengkhawatirkan nasib para perempuan muda di luar sana. Sebagai seorang dokter kandungan, Hasto sangat memahami risiko-risiko dari pernikahan muda bagi perempuan.

“Panggul perempuan di usia kurang dari 19 tahun belum cukup lebar, lebarnya belum sampai 10 sentimeter. Sedangkan bayi lahir itu diameternya 9.8 sampai  9.9 cm, diameter biparietal namanya, diameter pelipis kanan hingga pelipis kiri. Kalau di desa itu didorong-dorong, dipaksa, bayinya nanti akan mengalami asfiksia (kondisi saat pasokan oksigen menurun atau terhenti) yang  sering berakibat pada kematian dalam perjalanan persalinan. Bahkan tidak jarang sang ibu mengalami pendarahan karena robek,” jelasnya.

Baca Juga: Hal-hal yang Tak Pernah Dikampanyekan Gerakan Menikah Muda

Tidak hanya berpengaruh pada angka kematian ibu dan anak, pernikahan muda juga berakibat pada ketidakharmonisan rumah tangga pasangan suami istri. Pasangan nikah muda tentunya masih harus bergelut dengan emosinya yang belum stabil, besarnya ego mereka, hingga belum mengerti dengan baik tanggung jawab masing-masing sebagai orang tua. Karena hal inilah, sebagian pernikahan muda berakhir pada perceraian. 

“Perceraiannya naik terus itu dari 2017, nah itu karena apa? Karena dalam rumah tangga cekcok terus menerus, individu yang menikah belum dewasa. Dia sendiri masih anak-anak harus mengurus anak-anak ya bagaimana? Orang tuanya belum siap ngehandle itu semua, adanya marah-marah, enggak bisa nahan emosi. Itu saya pikir penting [disoroti] ya, perceraian karena individu belum dewasa secara mental,” ujarnya.

Kehilangan Manfaat Bonus Demografi

Hal yang kemudian perlu digarisbawahi adalah bagaimana pernikahan muda nyatanya juga sangat berpengaruh pada mandeknya pencapaian manfaat bonus demografi Indonesia. Bappenas menyatakan, pada 2030-2040, Indonesia diprediksi akan mengalami masa bonus demografi, yakni jumlah penduduk usia produktif (berusia 15-64 tahun) lebih besar dibandingkan dengan jumlah penduduk usia tidak produktif (di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun).

Baca Juga: 'Selebgram' Dorong Remaja Menikah Muda

Pada periode tersebut, penduduk usia produktif diprediksi mencapai 64 persen dari total jumlah penduduk yang diproyeksikan sebesar 297 juta jiwa. Namun, karena angka stunting yang diakibatkan menikah muda tidak kunjung landai di Indonesia, maka pencapaian manfaat bonus demografi melalui pengoptimalan kualitas SDM tidak dapat tercapai dengan baik.

“Kalau anak kita tidak jelas pola parenting-nya, gizinya enggak baik, kan nanti [anak bisa] stunting. Kalau stunting itu nanti anak sudah pendek, bodoh, sakit-sakitan, kan repot. Ini masalah penting; Sekarang angka stunting 27,7 persen. Artinya, setiap ada 100 bayi yang lahir, ada 27 yang stunting,” jelas Hasto.

“Ini kan berat ya. Makin banyak menikah muda, semakin besar juga kemungkinan anak stunting-nya. Bangsa kita enggak mampu bersaing karena SDM-nya enggak bisa bersaing, padahal kita ada bonus demografi. Susah majunya.” 

Proyek jurnalistik ini didukung oleh International Media Support.

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.