Menyaksikan tayangan berita kepulangan Rizieq Shihab, pemimpin dan pendiri Front Pembela Islam (FPI), yang tiba di Jakarta pada 10 November lalu, seorang teman berseloroh, “Banyak orang berdaster yang menyambut, tetapi hanya segelintir yang perempuan.”
Saya kira selorohan teman itu pengamatan yang lumayan menarik sebab memang di dalam lautan penyambut bergamis putih itu hanya ada beberapa perempuan saja. Bahkan di luar lapis ketiga sekalipun, tidak ada perempuan. Apakah ini satu penanda bahwa kaum perempuan memang tidak begitu terkesan atas kepulangannya? Atau apakah ini hanya sindrom machoisme laki-laki Indonesia yang merasa perlu punya idola agamis?
Kurang dari seminggu, di media sosial sudah ramai diberitakan perkataannya yang tidak patut (menghamburkan kata lonte) dilontarkan pada acara Maulid Nabi Muhammad SAW pada 14 November lalu, dan kemudian memicu dugaan umum hal tersebut sengaja dilontarkannya kepada Nikita Mirzani. Pasalnya, berita kepulangannya memang telah dikomentari oleh Nikita sebelumnya.
Terlepas dari persoalan-persoalan yang menyertai kepulangan Rizieq, apa perlunya kita memperhatikan tokoh yang satu ini? Bagi kelompok perempuan dan keragaman seksual, ada hal-hal yang perlu dikhawatirkan dari kepulangan Rizieq ini.
‘Revolusi akhlak’: Cek kosong untuk bungkam perempuan
Dengan kepulangannya, Rizieq menyerukan apa yang disebutnya sebagai “revolusi akhlak”. Terkesan penuh bumbu-bumbu moral, dan juga diselipi pesan politik untuk “rekonsiliasi”. Dikabarkan bahwa Rizieq akan “keliling Indonesia dan mengajak umat untuk koordinasi dan konsolidasi ‘revolusi akhlak’.”
Baca juga: Demi Indonesia yang Damai, Kata Kafir Sebaiknya Dihapus
Namun, di balik itu semua, “revolusi akhlak” tidak memiliki konsep dan isi yang jelas. Karena itu, “revolusi akhlak” tampak hanya sekedar retorika populis, jika bukan retorika politik. Alih-alih menganggapnya sebagai sesuatu yang serius, banyak di antara kita yang menyepelekannya. Malah, tak sedikit meme bertebaran di media sosial sebagai bahan lelucon antar warganet.
Tetapi, sesungguhnya, di dalam ketidakjelasannya tersebut, “revolusi akhlak” justru bisa menjadi ancaman bagi perempuan. Ibarat cek kosong yang bisa diisi sesuka hati, “revolusi akhlak” bisa dijadikan dalih oleh kelompok-kelompok Islam konservatif untuk semakin membungkam perempuan.
Atas nama “revolusi akhlak”, perempuan bisa dicap “tidak berakhlak”, “tidak patuh”, ataupun “tidak berbaju-syar’i” sehingga perlu dibatasi dan lebih lanjut, disingkirkan dari dunia publik, dan terkurung di dalam rumah saja. Tanpa konsep dan isi yang jelas, “revolusi akhlak” bisa ditafsir sesuai kebutuhan dan keperluan si penafsir. Bahayanya, dalam kungkungan patriarki, apa pun isi tafsir atas “revolusi akhlak”, pastinya tidak akan menguntungkan kaum perempuan, apalagi mendukung gerakan perempuan.
Nasib RUU PKS yang akan semakin jauh
Peran apa pun yang akan diambil oleh Rizieq selanjutnya, entah itu sebagai tokoh agama ataupun tokoh oposisi dalam politik nasional Indonesia, kelihatannya suaranya akan tetap diperhatikan oleh banyak tokoh politik kita. Mungkin sekali ia akan tetap menciptakan kegaduhan-kegaduhan yang tidak perlu dan tidak diinginkan. Sekalipun ia tidak/belum menjadi anggota partai politik mana pun, massa pendukungnya yang tergabung dalam FPI tetap menjadi bidak tawar di dalam peta percaturan politik kita.
Baca juga: Persaingan Rebut Otoritas Agama Suburkan Kelompok Militan Islam di Jawa
Di dalam konteks demikian, kita perlu memperhatikan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang selama ini di(ter)abaikan oleh DPR. Kelompok-kelompok konservatif, seperti Aliansi Gerakan Peduli Perempuan, yang menolak RUU PKS dengan menyerukan dalil bahwa RUU PKS bukanlah solusi bagi perempuan. Beberapa pihak malah mengusulkan RUU Pertahanan Keluarga. FPI juga sudah terang-terangan menolak RUU PKS.
Dalam budaya politik dagang sapi ala Indonesia, para tokoh politik tidak akan mau berhadapan langsung dengan FPI sebab risikonya bisa menghancurkan karier politik mereka, dan malah mungkin mengurangi dukungan politik yang diperlukannya dari kelompok-kelompok konservatif. RUU PKS yang sudah dikeluarkan dari agenda DPR akan semakin sulit memperoleh dukungan riil dari para tokoh politik kita yang memang enggan berani memikul risiko politik tersebut.
Keberagaman terancam
Salah satu hal yang diseru-serukan oleh kelompok konservatif di dalam penolakan mereka akan RUU PKS adalah bahwa RUU PKS dianggap “melegalkan LGBT.” Tentu saja ini alasan yang tidak berdasar dan terlalu dibuat-buat, semata-mata untuk histeria massa di kalangan mereka.
Baca juga: Konservatisme Hambat Kebijakan untuk Kesetaraan Gender
Sudah bukan rahasia pula, Rizieq merasa paling terdepan dalam menentang LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender), yang menurutnya “harus lenyap dan tiada dari Indonesia”, seperti dikutip dalam sejumlah media. Serangkaian retorikanya yang penuh kebencian atas LGBT semakin mengukuhkan posisinya sebagai garda depan penjaga moral, seperti yang dikehendaki kelompok-kelompok konservatif. Ia menjadi ancaman bagi keberagaman kita, terlebih bagi mereka yang LGBT.
Apakah dengan ini maka kasus-kasus anti-LGBT akan meningkat? Semoga tidak! Tetapi kita tidak bisa menutup mata atas kekhawatiran di kalangan LGBT dan kemungkinan terburuk yang mencekam mereka, seperti misalnya aksi-aksi sweeping sepihak. Sementara kita tahu, sistem hukum Indonesia, sejak dari tingkat kepolisian hingga di dalam peradilan, masih jauh dari ramah terhadap LGBT, alih-alih memberikan perlindungan yang diperlukan.
Kepulangan Rizieq Shibab bukan berita gembira bagi gerakan perempuan. Dengan tidak gegabah mengabaikannya ataupun membesar-besarkan pengaruhnya, kita punya alasan kuat untuk benar-benar menjaga agenda perjuangan kita lebih lanjut.
Comments