Women Lead Pendidikan Seks
February 05, 2020

Sesuatu yang Sudah Berbentuk, Seharusnya Dibungkus dan Dikubur

Aku menyesali diri tidak mendampingi rekanku yang menghadapi kehamilan tidak diinginkan.

by Abby Fitriani
Lifestyle // Health and Beauty
Aborsi_Abortion_Unplanned Pregnancy_KTD_KarinaTungari
Share:

Aku ingin menuliskan kata pembuka, "Pada hari itu, kami berempat sedang melakukan kegiatan pemotretan untuk kebutuhan bisnis kami..." Namun hari itu saja bahkan belum berlalu. Sekarang masih pukul 20.00, aku di ruang makan menemani anak keduaku yang sibuk menggambar z-ring Pokemon, duduk di sampingnya dan menuliskan kisah ini.

Siang tadi, aku dan ketiga rekan bisnisku, sebut saja Anna, Bonita, dan Citra, sedang melakukan kegiatan pemotretan untuk kebutuhan bisnis kami. Menunggu proses pemotretan, karena agak mengantuk, aku duduk setengah tertidur di kursi plastik lobi kantor kami. Di sebelahku, seorang anak perempuan dari staf kami sedang asik menonton video YouTube di ponselnya, tak peduli dengan kehadiranku.

Anna sibuk menyiapkan kue untuk salah satu staf yang sedang berulang tahun. Aku segera membantunya sementara Bonita terlihat keluar dari toilet dengan tergesa-gesa. Sebelumnya, ia mengeluh perutnya "gassy" karena terlalu banyak minum kopi. Bonita sempat mengatakan, "Gue nongkrong sebentar ya di toilet" dan setelahnya samar-sama terdengar ia menerima telepon dan mengobrol dari dalam toilet.

Sambil kukeluarkan kue ulang tahun dari kotaknya dan mengatur lilin-lilin kecil di atasnya, Anna pergi mencari pemantik api, sementara Bonita bergegas kembali masuk ke toilet .

Sambil menunggu Anna, aku ingin kembali duduk di lobi, tapi ada cairan kuning yang tergenang di kursi plastik dan tertumpah ke lantai. Entah siapa yang menumpahkan cairan yang kini berceceran ke mana-mana itu. Anak kecil yang sedang memegang ponsel masih asyik bermain, tidak menyadari apa yang sedang terjadi.

Anna tidak punya ide apakah sesungguhnya cairan tersebut, yang tampak seperti air kencing. Citra kemudian mencium dan menyentuhnya, menyatakan bahwa cairan tersebut tidak berbau tapi sedikit lengket.

Petugas kantor segera segera membersihkannya.

Aku kembali ke kue dan melihat ada ponsel Bonita di samping kue yang sedang kutata, tidak terkunci dan terbuka. Di layar ponsel terpampang jelas sebuah percakapan yang baru terjadi beberapa menit yang lalu. Aku tahu seharusnya aku tidak melakukannya, tapi mataku membaca percakapan tersebut. Karena terlalu kaget, aku menggeser layar untuk membaca percakapan sebelumnya.

Baca juga: Gea dan Ranting Pohon Kemenyan

Lawan bicara Bonita dalam percakapan tersebut menanyakan keadaannya dan obat antibiotik yang seharusnya diminumnya hari ini. Di ujung percakapan, Bonita menyatakan mengenai sesuatu yang sudah berbentuk, dan haruskah ia membungkus dan menguburnya. Aku memanggil Anna untuk ikut membaca, lalu kemudian kami mengembalikan ponsel ke posisi semula. Jadi, apakah cairan berwarna kuning tersebut adalah air ketuban?

Aku terduduk lemas, membayangkan sesuatu yang sudah berbentuk yang seharusnya dibungkus dan dikubur berada di toilet kantor kami. Anna juga sangat terkejut, ia bahkan tidak dapat mengendalikan ekspresi wajahnya. Jika benar hal tersebut seperti apa yang kami pikirkan, haruskah kami menanyakan bagaimana keadaannya di dalam bilik toilet tersebut?

Menurut Anna, suasana terlalu riuh dan ramai di tengah sesi pemotretan ini, dan konfrontasi mungkin bukan hal yang diinginkan dan diperlukan Bonita. Lagipula, kita sedang di tengah kegiatan yang sangat penting bagi bisnis kami. Kami berempat adalah ibu muda yang sedang merintis bisnis kecil. Tiga dari kami berstatus istri, sedangkan Bonita sudah berpisah dari ayah anak perempuannya.

Awalnya aku merasa ngeri, membayangkan perasaanku sendiri apabila hal tersebut terjadi padaku. Dulu sering terbersit di benakku, jika kehamilan terjadi di masa studiku, aku telah berencana untuk menggugurkannya.

Kemudian kusadari, keputusan Bonita untuk melakukan apa yang telah ia lakukan, tentunya karena ia ingin melakukannya. Dan apabila benar demikian, maka, kejadian ini, tidak seperti dalam bayanganku, bukannya akan membuatnya ngeri, takut ataupun sedih, namun sebaliknya membuatnya lega, karena sesungguhnya kehamilan ini tidak diinginkannya.

Tapi, benarkah demikian? Benarkah di dalam bilik toilet tersebut ia tidak merasa ngeri, bersalah, sedih telah melakukan hal tersebut, apa pun bentuknya? Bagaimanakah perasaannya ketika sesuatu yang sudah berbentuk dan seharusnya ia bungkus dan kubur tersebut berada di tangannya?

Di balik kebebasan, keriangan, keserampangannya, bagaimana sesungguhnya perasaannya? Bagaimana tubuhnya bereaksi terhadap hal tersebut? Apakah yang kemudian dapat terjadi? Apakah langkahnya dapat membahayakan kesehatan dan nyawanya?

Baca juga: PKBI Dorong Pemerintah Berikan Layanan Aborsi Aman

Tidak lama kemudian Bonita mengintip dari toilet, meminta kami untuk meminjamkannya celana. Ia bilang celananya mengenai cairan kuning di kursi plastik, yang ia sendiri pun tidak tahu cairan apa itu. Ia sama sekali tidak mengakui apapun kepadaku dan Anna.

Citra, yang tidak tahu menahu soal ini, kemudian meminjamkannya celana pengganti, dan Bonita pun keluar dengan ceria, bersenda gurau seperti biasa seakan tidak ada apa-apa yang terjadi. Sepanjang kegiatan pemotretan, ia bersikap seperti biasanya.

Aku benar-benar ingin tahu, bagaimana sesungguhnya perasaannya ketika harus berpura-pura senang dan antusias seakan tidak ada sesuatu yang luar biasa terjadi di dalam bilik toilet tersebut?

Menurut Anna yang lebih lama mengenal Bonita, Bonita memiliki sifat pemarah dalam dirinya, dan bahwa kami berdua sebaiknya tidak mengatakan apa pun kepadanya.

Namun sungguh aku hanya ingin tahu apakah dia baik-baik saja, terlepas dari segala keadaan tersebut. Aku sangat menyesal, mengapa siang tadi aku tidak memutuskan dengan serta merta melompat dan ikut masuk ke dalam bilik toilet itu, dan menanyakannya apakah dia baik-baik saja dan bantuan apa yang ia butuhkan dariku, hanya karena aku berusaha keras untuk menghormati privasinya.

Aku sangat menyesal, mengapa siang tadi aku tidak langsung mengatakan kepadanya, kalau rahasianya aman bersamaku. Bahwa aku mengerti. Bahwa aku tidak akan menghakiminya. Bahwa aku menghargai apa pun keputusan hidupnya dan tubuhnya. Dan bahwa aku bersedia ada untuknya apabila sewaktu-waktu ia membutuhkan seseorang untuk diajak bicara, walaupun, selama ini kedekatan kami hanya sebatas rekan bisnis yang jarang sekali membicarakan hal-hal pribadi kami yang terdalam.

Ilustrasi oleh Karina Tungari.

Abby Fitriani adalah ibu dua anak, mahasiswa S2 Kajian Gender.