Oxfam secara global melaporkan bahwa sistem ekonomi dan budaya yang seksis serta eksploitatif telah menyumbang pada ketimpangan, yang berdampak pada kelompok rentan dan turut menyumbang ketimpangan gender. Meskipun koefisien gini yang mengukur ketimpangan agregat atas distribusi pendapatan seluruh penduduk Indonesia turun dari 0.384 di 2018 menjadi 0.382 di tahun 2019 (BPS 2020), ketimpangan masih dialami secara berlapis oleh perempuan mulai dari ranah keluarga hingga akses perempuan di ranah publik. Kajian Oxfam (2020) menunjukan ketimpangan laki-laki dan perempuan dalam bidang ekonomi maupun politik.
Penduduk perempuan yang hidup di bawah garis kemiskinan lebih tinggi (10%) daripada laki-laki (9%) (BPS 2018). Karenanya, Oxfam menilai mendorong kepemimpinan perempuan adalah cara untuk mengakhiri ketimpangan yang dialami oleh perempuan di dalam keluarga, akses perempuan terhadap sumber daya, dan partisipasi perempuan di dunia kerja.
Keadilan rumah tangga diawali oleh setaranya posisi tawar dalam berkeputusan setiap anggota rumah tangga, baik laki-laki maupun perempuan. Salah satu cara yang dilakukan adalah mendorong kepemimpinan perempuan untuk keluar dari jeratan perkawinan anak. Sekitar 1.220.900 anak perempuan dinikahkan di bawah usia 18 tahun (UNICEF 2018). Meskipun batas usia perkawinan dinaikkan, namun longgarnya rambu dispensasi perkawinan menjadikan praktik perkawinan anak masih terkendala untuk dihentikan.
Peran perempuan muda dalam pencegahan perkawinan anak sangatlah penting. Perkawinan anak memosisikan perempuan di dalam wilayah domestik, apalagi ada RUU Ketahanan Keluarga yang melanggengkan budaya patriarkal. “Saya melihat, di Sukabumi, perempuan yang melakukan perkawinan di usia anak rentan mengalami kekerasan dan perceraian, bahkan harus menanggung biaya anak tanpa kontribusi suami. Perempuan terbatas akses pendidikannya, karena memikirkan biaya dan pengurusan anak. Oleh karena itu perempuan muda penting untuk aktif dalam melakukan pencegahan perkawinan anak, karena perempuan yang mengalami dampak terburuk. Perempuan harus sadar atas kerugian ini. Selayaknya perempuan harus bisa memilih usia perkawinannya sendiri” tegas Rai Askaning Tyas, penggiat isu perkawinan anak dari Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.
Lemahnya posisi tawar di berbagai ranah juga turut disumbang oleh rendahnya akses perempuan terhadap sumber daya, termasuk akses pangan. Di Indonesia, hanya 15,88% dari 44 juta bidang tanah dikuasai perempuan (BPS 2016). Perempuan mengalami pembatasan akses terhadap sumber-sumber produksi pangan. Perempuan sudah semestinya dilibatkan dalam proses penguasaan dan pengelolaan tanah dan sumber-sumber agraria lainnya.
Padahal menurut Catur Rini (Female Food Hero 2016), setiap keluarga bisa menciptakan pangan sendiri dan perempuan memiliki peran strategis. “Perempuan bisa memastikan apa saja bahan makanan yang diberikan pada keluarga, selain itu perempuan dapat memperoleh penghasilan dari pertanian kota. Lebih dari itu, perempuan menjadi punya kebanggaan diri karena memiliki penghasilan sendiri, serta posisi tawar yang lebih setara dengan suami”.
Bukan hanya terhadap akses pangan, partisipasi perempuan muda di dunia kerja berkontribusi menurunkan ketimpangan berlapis bagi perempuan. Bagi perempuan, kesenjangan pekerjaan terjadi bahkan sejak usia remaja. Rata-rata persentase penduduk perempuan yang bekerja sejak usia 20-34 lebih kecil (38%) ketimbang laki-laki (62%), di mana partisipasi terkecil dialami oleh 635.110 perempuan dengan kelompok usia 20-24 (BPS 2019). Dunia kerja yang kondusif adalah akses perempuan terhadap sumber penghidupan yang mendorong posisi tawarnya dalam berkeputusan.
Di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, masih banyak praktik anak perempuan dinikahkan di usia 14 – 15 tahun. Bahkan Monita, Duta Muda, Berdaya, dan Berkarya dari Maros hampir dinikahkan pada usia 17 tahun, namun dia menolak dengan alasan mau melanjutkan sekolah. Di desanya, masih ada hanya 50 persen anak perempuan yang bisa bersekolah sampai SMA. Jika dalam keluarga ada anak laki-laki dan perempuan, maka anak laki-laki yang diutamakan untuk bersekolah.
“Kembali ke kultur daerah saya, perempuan masih ditempatkan di kasur, sumur, dan dapur sehingga sulit untuk ikut berorganisasi. Saya ingin menjadi orang bermanfaat, dan untuk itu harus punya pengaruh bagi orang lain. Perempuan harus punya sumber ekonomi sendiri, karena dengan itu kita menjadi lebih setara dengan laki-laki. Serta bisa mengembangkan ide-ide untuk mewujudkan potensi perempuan muda,” ujar Monita.
Karena itu, komitmen untuk mendorong kepemimpinan perempuan perlu diperkuat dan menjadi gerakan bersama bagi seluruh aktor pembangunan. Country Director Oxfam di Indonesia, Maria Lauranti berpendapat, “Data menunjukkan dengan jelas bahwa salah satu cara mengurangi ketimpangan di dunia adalah memastikan bahwa perempuan memiliki akses terhadap sumberdaya, pelayanan publik serta kesempatan dalam sektor ekonomi dan ruang politik. Hal ini hanya bisa terwujud jika keputusan politik dibangun berbasis data dan semangat untuk merealisasikan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang memperjuangkan kesetaraan gender.”
Untuk itu, dalam memperingati Hari Perempuan Internasional 2020 ini, mari kita satukan langkah dan bersama-sama mewujudkan kesetaraan perempuan Indonesia, baik di dalam keluarga, atas sumber daya, maupun dalam kepemimpinan. Setara itu nyata, jika kita semua bersama-sama mewujudkannya.
Comments