Perdebatan soal melahirkan “normal” alias per vaginam atau operasi caesar memang tak ada habisnya. Entah itu peninjauan lewat ilmu kesehatan, etika moral, atau bahkan agama.
Tapi di sini, aku ingin membicarakannya dari kacamata seorang perempuan. Aku adalah seorang ibu yang telah melahirkan seorang anak laki-laki dengan cara caesar. Saat dokter kandunganku bilang bahwa aku harus menjalani caesar (tentu saja beliau juga menjelaskan alasan yang bisa aku terima secara logis), aku sama sekali tidak keberatan. Begitu juga suami.
Tapi aku merasa aneh, yang memperdebatkan perkara kelahiranku justru keluarga dan beberapa orang tua. Katanya, dokter sekarang mau gampangnya saja. Katanya, anak sekarang malas-malas. Katanya, rumah sakit cuma mau uang dari operasi kita yang memang cenderung mahal. Padahal, aku melahirkan dengan bantuan BPJS yang betul-betul mudah diakses dan sama sekali tidak menyulitkan beban keuangan. Bahkan, rumah sakit tempatku bersalin juga punya tim kesehatan yang ramah dan membantu.
Beberapa tahun kemudian, adik dan sepupuku juga melahirkan. Adikku sempat diinduksi. Ya, dokter ingin mengupayakan bayinya lahir per vaginam walau akhirnya berujung caesar. Sedang sepupuku harus menjalani tiga kali induksi, dua hari merasakan kontraksi, dan MASIH berujung caesar.
Lain cerita dengan rekanku yang berupaya keras mencari dokter pro per vaginam. Dokternya betul-betul mengupayakan dan akhirnya memang betul ia melahirkan per vaginam. Tapi sayang, bayinya sempat mengalami gangguan pernapasan karena terlalu lama di dalam perut ibunya usai kontraksi. Saat sang ibu masih hamil pun, dengan alasan itu ada dalam ajaran agama, ibunya memberinya rumput Fatimah untuk melancarkan persalinan. Padahal baru-baru ini, ada studi yang mengatakan bahwa mengonsumsi rumput itu dengan sembarangan bisa membahayakan sang janin.
Aku juga jadi ingat pada kejadian seorang ibu yang dirawat di sebelahku saat melahirkan kemarin. Ia bercerita bahwa anak ketiganya meninggal dalam kandungan karena dokternya sangat bersikeras ia melahirkan secara per vaginam. Akibatnya, ia trauma dan hanya menginginkan kelahiran caesar.
Baca juga: ‘Pieces of a Woman’ dan Agensi Perempuan Usai Persalinan
Ada yang Lebih Penting dari Debat Per Vaginam vs. Caesar
Perdebatan demi perdebatan masih muncul walaupun sebetulnya, sudah banyak dasar medis yang membicarakan keuntungan dan risiko dari kedua teknik persalinan ini. Apakah per vaginam lebih baik dari caesar? Belum tentu. Apakah caesar lebih nyaman dari per vaginam? Tidak juga. Semua tergantung pada kondisi sang ibu dan janinnya.
Namun yang membuatku bingung, masih banyak ibu yang berlomba-lomba. Sang ibu yang melahirkan caesar merasa lebih menderita, “Duh, caesar tuh lebih sakit tau dari per vaginam!”. Sang ibu yang melahirkan per vaginam merasa dirinya lebih unggul dari yang melahirkan caesar, “Lo caesar? Duh, enggak afdol banget, deh!”. Lucu ya, kita berlomba-lomba mana yang lebih sakit atau berlomba-lomba siapa yang paling afdol menjadi ibu (walau keduanya sama-sama punya anak).
Atau, perdebatan juga muncul ketika orangtua bilang, “Makanya kamu jangan males. Ibu tuh dulu [bayinya] sungsang, sama dokter diusahain per vaginam”. Atau ketika ada kaum agamis bilang, “per vaginam itu sunnah, loh!”. Aku kemudian berpikir, apakah sudah ada pembedahan canggih pada zaman Nabi, ya? Aku sendiri belum mencari tahu lebih jauh soal itu.
Lanjut ke hal lain.
Pada 2019 lalu, laporan dari PBB menyebutkan bahwa untuk pertama kalinya, angka perempuan dan anak yang bertahan hidup mencapai tingkat tertinggi. Sejak 2000, angka kematian anak berhasil diturunkan hampir separuhnya dan kematian ibu diturunkan lebih dari sepertiganya. Tentu saja ini kabar menggembirakan. Namun, kita harus tahu apa faktornya?
Berdasarkan sebuah artikel dari situs UNICEF, hal ini bisa dicapai karena perbaikan akses layanan kesehatan yang terjangkau dan berkualitas.
Baca juga: Operasi Caesar Naik Setelah Ada JKN, Waspadai Risikonya bagi Ibu Melahirkan
Menurutku, perdebatan mestinya muncul dari faktor-faktor ini. Sang ibu dan bayinya harus selamat, entah itu dari persalinan per vaginam maupun caesar. Terlebih, kita hidup pada zaman sudah canggih yang artinya kita seharusnya tak perlu khawatir lagi soal risiko yang sudah diminimalisasi.
Perdebatan juga harusnya muncul dari bagaimana pemerintah bisa memberikan akses kesehatan mengingat Indonesia punya demografi yang kompleks. Infrastruktur dalam aspek kesehatan belum merata. Masih banyak perempuan yang belum bisa mengakses informasi soal bagaimana mereka bisa menjaga kesehatan selama kehamilan hingga kelahiran. Masih banyak perempuan yang hidup di keluarga miskin yang belum bisa mengonsumsi makanan dan minuman sehat.
Lantas, bagaimana bisa kita masih memperdebatkan sesuatu yang sebetulnya bukan solusi bagi perempuan dan anak (malah justru membuat mereka stress karena dipaksa lahir per vaginam atau caesar)? Apakah ini lagi-lagi karena budaya patriarki yang masih berusaha mengontrol perempuan, bahkan di area reproduksi mereka? Bukankah lebih baik berpikir untuk mengupayakan mereka untuk tetap sehat dan selamat? Aku sendiri masih mempertanyakan hal ini.
Yang ingin kukatakan pada ibu-ibu di rumah, percayalah pada tubuh kita sendiri, pada diri kita sendiri. Kita lebih tahu apa yang kita butuhkan. Kita punya kekuatan untuk mencari tahu mana yang baik untuk kita. Kita punya kekuatan untuk membantu perempuan lain untuk sama-sama punya kesempatan hidup sehat, selamat dan bahagia bersama anak mereka.
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.
Comments