Tak peduli seberapa jauh jarak memisahkan, pasti ada jalan untuk kembali mempertemukan dua orang yang dipercaya sebagai soulmate. Setidaknya itu yang diyakini sejumlah orang, ketika membicarakan belahan jiwa dalam relasi romantis.
Mereka percaya, ada koneksi yang menghubungkan diri mereka dengan pasangan, atau seseorang di masa lalunya. Hal ini digambarkan dalam The Best of Me (2014), film yang diadaptasi dari novel berjudul sama karya Nicholas Sparks.
Lewat karakter Dawson Cole (James Marsden) dan Amanda Collier (Michelle Monaghan), menunjukkan bagaimana soulmate dapat membawa sisi terbaik dalam diri sendiri, sekaligus saling mengisi kekosongan.
“You weren’t just someone I loved back then. You are the very best of me,” kata Cole.
Selain menunjukkan sosok cinta pertama, karakter dan Cole dan Collier seolah memberikan bukti, soulmate bakal kembali bertemu kendati terpisah selama 20 tahun.
Tak hanya dialog, koneksi antara keduanya diperkuat dengan intensi Tuck Hostetler (Gerald McRaney), teman dan sosok ayah pengganti Cole, saat menyampaikan harapan terakhirnya. Laki-laki paruh baya itu ingin mereka balikan sebagai pasangan.
“Aku mempertemukan kalian di sini karena tidak ingin kalian hidup dalam penyesalan. Kalian ditakdirkan untuk mencintai satu sama lain, dan kesempatan untuk mengingat itu yang dibutuhkan,” katanya.
Gagasan soulmate seperti diyakini Hostetler, sedikit banyak “menekan” mereka yang memercayai adanya the one, walaupun enggak bisa dijelaskan bagaimana sosok itu bisa ditemukan. Alhasil, mereka sibuk mencari dan mempertanyakan, apakah pasangan atau gebetannya sekarang, adalah soulmate yang ditakdirkan untuknya.
Padahal, pencarian yang enggak ada ujungnya akan mengganggu hubungan dengan pasangan. Lalu, bagaimana soulmate bisa ditemukan?
Baca Juga: Mencari Jodoh 101: Kamu Lahir Hari Apa?
Gagasan Soulmate Merugikan Hubungan Romantis
Sampai saat ini, sebenarnya definisi soulmate masih cair. Namun, penggunaannya sering dikaitkan dengan hubungan romantis, tepatnya sosok yang dinilai akan melengkapi diri—ibaratnya, other half atau better half.
Bagi sebagian orang, pemahaman tentang soulmate menjadi tolok ukur mereka dalam relasi romantis. Bahkan punya keyakinannya sendiri, kalau suatu hari nanti akan bertemu dengan sosok tersebut. Dari sini ada kesan, enggak perlu banyak usaha agar hubungannya sempurna atau berakhir bahagia.
Kenyataannya, mustahil jika hubungan romantis enggak memerlukan usaha supaya berhasil. Gagasan soulmate itu justru dinilai toksik oleh Joseph Cilona, psikolog klinis asal Manhattan, AS. Menurutnya, cara pandang tersebut tidak tepat.
“Harapan dan keyakinan yang dibangun justru bisa menyabotase hubungan, dan merusak kesempatan memiliki relasi yang sehat,” katanya, mengutip Women’s Health.
Pasalnya, ada kemungkinan kamu akan terus mencari pasangan yang dianggap tepat, dan enggak benar-benar hadir dalam relasi yang sedang dijalani. Bahkan, kepercayaan terhadap soulmate itu bisa merusak hubungan yang ada.
Misalnya karakter Rosie Dunne (Lily Collins) dalam Love, Rosie (2014). Tanpa ditunjukkan secara eksplisit, sejak awal, Dunne memiliki ketertarikan terhadap sahabatnya, Alex Stewart (Sam Claflin), begitu juga sebaliknya. Namun, memilih mengesampingkan perasaan itu.
Hanya saja, tiap kali memiliki pasangannya masing-masing, baik Dunne dan Stewart selalu menghalangi relasi itu. Ketika perempuan itu mengunjungi sahabatnya di Boston, misalnya. Stewart mengajak Dunne berkeliling kota sambil saling menggoda, tanpa memberi tahu pacarnya yang menunggu di rumah.
Pun, saat pernikahannya dengan Bethany Williams (Suki Waterhouse) tidak berhasil, itu membuatnya kembali pada Dunne. Seolah ia adalah perempuan yang sejak awal seharusnya menjadi sosok pendamping. Sayangnya, perasaan ia terhadap Dunne yang tidak pernah diutarakan, juga menyumbang kegagalan hubungan dengan mantan-mantannya.
Profesor psikologi di Aurora University, Renae Franiuk, dkk. mengatakan, ketika tidak bahagia, orang-orang yang meyakini gagasan soulmate cenderung lebih cepat mengakhiri hubungannya.
Hal itu dijelaskan dalam penelitiannya berjudul Implicit theories of relationships: Implications for relationship satisfaction and longevity (2002). Sementara jika menganggap pasangannya adalah sosok yang tepat, mereka justru meremehkan kualitas diri yang buruk, dan melebih-lebihkan kemampuan pasangannya.
Sayangnya, gagasan soulmate lagi-lagi dapat mengelabui hubungan. “Misalnya, ketika relasi sebenarnya tidak sehat, tetapi meyakini pasangan adalah sosok yang tepat. Akhirnya aspek negatif itu cenderung diremehkan,” jelas Franiuk.
Selain itu, ada satu hal lagi yang perlu digarisbawahi. Gagasan soulmate bukan cuma mengganggu mereka yang terlibat dalam hubungan romantis, melainkan juga yang belum berpasangan. Ini disebabkan, perasaan membutuhkan seseorang untuk membuat diri merasa utuh sering kali muncul, sehingga bersikeras mencari pacar dianggap solusinya.
Baca Juga: 'Dating Down': Saat 'Bibit Bebet Bobot' Jodoh Tak Jadi Soal
Apakah Keberadaan Soulmate Nyata?
Meyakini keberadaan soulmate, kenyataannya diperkuat skenario yang ditawarkan film-film romantis Hollywood. Secara tersirat, mereka menampilkan ciri-ciri soulmate lewat karakternya. Pun ada satu yang enggak boleh dilupakan. Seperti apa pun alur ceritanya, akan ada happily ever after bersama “pangeran berkuda putih.”
Alhasil, lewat narasi keyakinan romantisnya, film memberikan penontonnya harapan semu tentang better half, sehingga penonton mengidealisasikan sosok tersebut dalam realitas. Hal ini dinyatakan peneliti asal AS, Veronica Hefner dan Barbara Wilson, dalam From Love at First Sight to Soul Mate: The Influence of Romantic Ideals in Popular Films on Young People’s Beliefs about Relationships (2013).
Karena itu, enggak dimungkiri kita sering mendengar kalimat “kalau udah jodoh, enggak akan ke mana”. Yang juga direpresentasikan lewat karakter Dunne dan Stewart, pada ending film yang menunjukkan akhirnya kedua sahabat itu soulmate untuk satu sama lain.
Namun, narasi romantis dalam film-film Hollywood juga didukung oleh Aristophanes, penulis dan pemain drama di era Yunani kuno. Mengutip Plato Symposium (1795), anak Philippus dari Kydathenaion itu mengatakan demikian.
“Cinta hadir dalam diri setiap manusia; ia memanggil kembali bagian dari sifat asli diri kita; ia mencoba mempersatukan dan menyembuhkan luka dari sifat manusia. Masing-masing dari kita, adalah ‘separuh jiwa’ dari manusia seutuhnya…dan masing-masing dari kita selalu mencari sosok yang melengkapi itu.”
Sementara Plato mengungkapkan, berdasarkan mitologi Yunani, sebenarnya manusia diciptakan dengan empat tangan, empat kaki, dan dua wajah. Tapi, ketakutan akan kekuatan yang bisa dihasilkan, membuat Zeus membagi mereka jadi dua bagian terpisah. Mereka dikutuk untuk mencari satu sama lain sepanjang hidupnya.
Maka itu, gagasan soulmate yang selama ini ada, sedikit banyak berasal dari konstruksi beberapa hal tersebut. Bahkan, sampai saat ini belum ada studi yang membuktikan keberadaannya.
Secara psikologis, psikolog dan peneliti hubungan dan gaya hidup Shauna Springer menuturkan pada Bustle, soulmate dapat ditemukan dalam diri pasangan. Itu merupakan hasil dari hubungan yang mendalam. Artinya, kedua pihak perlu berusaha agar relasinya berhasil, karena masing-masing memiliki kepribadian dan harus berkompromi dengan satu sama lain.
Katanya, mereka yang hopeless romantic cenderung mengidealisasikan soulmate dalam hubungan romantis. Saya menghubungi Ailin—kreator konten di sebuah media online, yang punya pandangan romantis terhadap hubungan percintaan. Tapi, ia malah meyakini soulmate enggak beneran ada.
Baca Juga: Kenapa Banyak Lajang Gagal Cari Kebahagiaan di Dunia Maya
“Soulmate tuh self-proclaimed aja,” jawabnya pada Magdalene, (13/5). “Kita nggak bener-bener tahu, orang ini soulmate atau bukan. Takarannya apa? Kalau cocok banget, emangnya bisa langsung disebut soulmate?”
Hal itu dibenarkan oleh terapis pernikahan dan keluarga Shari Foos. Kepada Women’s Health ia menjelaskan, soulmates tidak dapat diukur ataupun dibuktikan.
Justru soulmate enggak harus dalam konteks percintaan. Bisa saja hubungan pertemanan, seperti Harry Potter (Daniel Radcliffe) dan Hermione Granger (Emma Watson) dalam serial film Harry Potter (2001-2011), Meredith Grey (Ellen Pompeo) dan Cristina Yang (Sandra Oh) dalam Grey’s Anatomy (2005-), atau Liv Lerner (Kate Hudson) dan Emma Allan (Anne Hathaway) dari Bride Wars (2009).
Dengan definisi yang lebih luas, kamu enggak terbebani karena harus menemukan soulmate dalam diri pasangan, dan nggak mengabaikan kuatnya koneksi yang dimiliki dengan orang-orang di sekitar.
“Itu yang gue temukan dalam diri sahabat gue. Kita nyaman dan saling mengerti satu sama lain, kayak udah sepemikiran,” cerita “Alicia”, seorang pegawai swasta yang meyakini keberadaan soulmate dalam diri sahabatnya. “Malah kalau curhat, nggak perlu kasih tahu siapa yang dimaksud, dia langsung ngerti.”
Terlepas dari usia relasinya, koneksi adalah aspek mendasar dalam pertemanan.
Comments