Women Lead Pendidikan Seks
November 24, 2022

‘She Said’: Laporan Investigasi yang Lawan Weinstein dan Raksasa Hollywood

‘She Said’ yang diangkat dari liputan pulitzer dua jurnalis The New York Times ini berhasil mengubah dunia. Terutama keadilan buat perempuan korban di tempat kerja.

by Ruby Astari
Culture // Screen Raves
Review She Said
Share:

Hati-hati spoiler tipis-tipis!

Adegan film She Said dibuka dengan seorang gadis muda yang baru pertama kali bekerja sebagai kru film di awal tahun 1990-an. Impiannya hancur saat di kemudian hari, gadis itu berlari pulang sambil menangis. Dari pakaiannya yang tampak berantakan, penonton sudah bisa menduga yang telah terjadi kepadanya.

Adegan berikutnya kemudian melompat ke tahun 2016. Megan Twohey (Carrie Mulligan) tengah mencoba membujuk beberapa korban perempuan yang mengaku digerayangi hingga dicium paksa oleh Trump. Tidak hanya para korban yang menerima berbagai teror. Megan yang juga menerima ancaman pemerkosaan dan pembunuhan oleh penelepon tidak dikenal.

Sayangnya, meskipun kabar kasus kekerasan seksual merebak, Trump tetap terpilih jadi presiden. Makanya, Megan sempat rada pesimis dan skeptis saat mendapatkan tawaran tugas berikutnya: meliput kasus kekerasan seksual yang melibatkan Harvey Weinstein. Di sinilah Megan mulai bekerjasama dengan Jodi Kantor (Zoe Kazan). Di satu adegan, mereka didekatkan oleh percakapan tentang depresi pasca-melahirkan yang rentan dialami ibu.

Sumber: The Hollywood Reporter

Baca juga: 'Postpartum Depression': Perjalanan Lain Perempuan Usai Melahirkan

Sepanjang film diisi dengan perjuangan berat kedua reporter yang juga sama-sama ibu dari anak-anak kecil ini. Penggarapan Schreider berhasil membuat film She Said tidak terkesan ‘terlalu dokumenter’. Mengingat masih kejamnya stigma korban pelecehan seksual (victim-shaming), sungguh tidak mudah membuat perempuan-perempuan tersebut mau membuka suara, meskipun mereka artis terkenal sekalipun.

Selain harus siap dengan risiko dituntut balik dan dicemarkan nama baiknya, komentar banyak orang awam pasti mirip-mirip – selalu menyalahkan korban duluan atau menuduh mereka berbohong:

“Kenapa mau diajak ke kamar hotel berdua saja?”

“Kenapa tidak lari?”

“Kenapa tidak melawan?”

“Kenapa tidak melapor polisi?”

“Masa, sih? Dia bukannya lebih suka cewek yang - ?”

Ada kalanya Megan dan Jodi sama-sama stres dan khawatir memikirkan masa depan untuk anak-anak mereka. Untunglah, lingkungan kerja mereka tidak toksik seperti Miramax yang lama teracuni ulah Weinstein. Para atasan mereka di New York Times, Rebecca Corbett (Patricia Clarkson) dan Dean Baquet (Andre Braugher). Dean bahkan tampak selalu “siap pasang badan” saat pihak Weinstein berusaha menyerang dan mengintimidasi reporter-reporternya.

Penindasan Sistemik dari Relasi Kuasa yang Timpang

Rasanya muak setiap harus mengingatkan orang-orang mengenai ‘tonic mobility’, yaitu respon berupa tubuh seperti membeku karena shock yang lazim terjadi pada korban kejahatan apa pun. Sayangnya, banyak yang belum bisa berempati kalau belum pernah mengalaminya sendiri.

Lalu, kenapa korban tidak melapor polisi? Jangan salah. Banyak korban kekerasan seksual yang melapor polisi (dan bahkan sampai mau menyewa pengacara), namun mengumpulkan bukti-bukti (apalagi bila kejadiannya sudah lama) bukan perkara mudah. Apalagi, pihak berwajib sering kali me-reviktimisasi korban dengan meminta korban mengulang-ulang ceritanya, yang berisiko memicu trauma.

Bahkan, tidak jarang banyak pihak hukum yang terang-terangan malas menangani kasus kekerasan seksual. Apalagi kalau tertuduh berupa orang yang terkenal dan berkuasa. Paling sering diminta diselesaikan secara damai atau kekeluargaan (tanpa peduli korban takkan pernah benar-benar merasa tenang selama pelaku masih bebas berkeliaran dan mengulangi perbuatan serupa kepada orang-orang lain) atau berupa “uang kompensasi/tutup mulut”.

Korban melawan pun belum tentu menyelesaikan masalah. Contohnya, Zelda Perkins (Samantha Morton), salah satu mantan staf Miramax yang berani melawan Weinstein, malah sulit mendapatkan pekerjaan di dunia film sesudah resign. Zelda bahkan harus menghadapi gosip buruk tentang dirinya setiap kali melamar kerja di tempat lain, bahwa ia pernah “ada apa-apa” sama Harvey Weinstein yang sudah beristri.

Pelaku kekerasan seksual selalu punya cara “mengamankan posisinya” sebagai orang berkuasa di perusahaan. Mereka bisa membuat lingkungan kerja menjadi semakin tidak nyaman untuk korban yang mencoba melawan atau bersuara. Selain itu, mereka bisa berkoar-koar bahwa mereka hanya menyukai “perempuan tipe tertentu” (misalnya: berkulit putih dan ramping).

Makanya, bila korban yang di luar tipe tersebut mencoba berbicara, sudah pasti mereka takkan dipercaya. Yang parah, mereka malah dituduh pembohong dan tukang cari perhatian.

Banyak sekali perempuan di dunia yang hanya ingin bekerja, namun malah berurusan dengan predator di kantor. Mereka dipaksa menghadapi dilema yang sama: diam tapi membiarkan predator bebas merdeka atau melawan dengan risiko dipecat dan dipermalukan di lingkungan profesional. Di Indonesia sendiri, masih banyak sekali yang harus kita lakukan terkait masalah ini. Bukan hanya perempuan yang harus bertindak, namun seluruh lapisan masyarakat bila mengaku peduli dengan isu kemanusiaan. Tak perlu menunggu terjadi pada diri sendiri atau perempuan yang kamu kenal dulu.

Sumber: BBC

Kabar terakhir sejak diputuskan bersalah pada 2020 lalu, Harvey Weinstein dijatuhi hukuman 23 tahun penjara di California, Amerika Serikat. Semoga kasus ini dapat menjadi harapan bagi para korban kekerasan seksual lainnya di dunia, bahwa masih ada keadilan. Masih ada yang mau mendengarkan suara perempuan.

Menonton She Said entah kenapa mengingatkan saya akan satu adegan dalam film thriller “Scream 3” yang naskahnya ditulis Kevin Williamson dan Ehren Kruger dan diproduksi Miramax tahun 2000 lalu. Nama Weinstein sendiri tercantum sebagai produser eksekutif di credit title. John Milton (Lance Henriksen), produser film horor Hollywood, bercerita mengenai karier akting Rina Reynolds, ibu Sydney Prescott (Neve Campbell) yang tidak berumur panjang gara-gara pesta satu malam kalangan Hollywood yang “lepas kendali” di tahun 70-an.

Dengan enteng Milton berkata: Maybe the sad truth is this is not the city for innocence. No charges were brought. And the bottom line is Rina Reynolds wouldn't play by the rules. You wanna get ahead in Hollywood, you gotta play the game or go home.” (Mungkin sedihnya, kota ini bukan untuk orang polos. Tidak ada tuntutan hukum, Intinya, Rina Reynolds tidak mau ikut aturan. Mau sukses di Hollywood, ya ikut main atau pulang).

Mungkinkah sebenarnya sudah banyak yang berusaha memberitahu dunia mengenai perilaku bejat Weinstein sejak lama?

Ruby Astari adalah penulis dan penerjemah lepas, dan pernah mengajar bahasa Inggris dan bahasa Indonesia di beberapa lembaga kursus setempat di Jakarta. Pernah menulis untuk Magdalene.co , Lakilakibaru.or.id , Konde.co, Voxpop.id, dan beberapa media online lain. Novel perdananya berjudul “Reva’s Tale”.