Peringatan: artikel ini mengandung spoiler
Setelah peluncurannya ditunda satu tahun karena pandemi, Black Widow akhirnya rilis dan memberikan panggung bagi Natasha Romanoff (Scarlett Johansson) untuk bersinar. Film solo untuk Natasha ini bisa dibilang sedikit terlambat karena karakternya sudah meninggal di linimasa film waralaba Avengers. Namun, selalu ada ruang untuk mengenal lebih jauh satu-satunya perempuan di tim original Avengers dan kesempatan bertemu pahlawan super baru dalam Black Widow.
Di fase keempat Marvel, film hingga serial seperti WandaVision (2021) dan The Falcon and The Winter Soldier (2021), selalu bergerak ke depan untuk mengisahkan rumitnya kehidupan setelah Avengers: Endgame (2019) atau ketika semua orang kembali ‘hidup’ sehabis dihilangkan oleh Thanos. Berbeda dengan Black Widow, yang mengambil alur cerita bergerak mundur tentang perjalanan Natasha ketika menjadi buronan setelah Captain America: Civil War (2016).
Baca juga: Bumilangit Luncurkan Jagat Superhero, Ini Dia Jagoan-jagoan Perempuannya
Black Widow memang bukan film tentang pahlawan super perempuan yang pertama, selama satu dekade terakhir Marvel dan DC meluncurkan filmnya masing-masing, seperti Wonder Woman (2017), Captain Marvel (2019), si anti-hero Harley Quinn dalam Birds of Prey: Harley Quinn (2020), dan Wonder Woman 1984 (2021). Meskipun begitu, masing-masing film menawarkan cerita tentang perempuan melawan kekuatan jahat dengan berbeda. Black Widow melakukan itu dengan kisah tentang keluarga dan persaudaraan perempuan.
Berikut ini empat alasan untuk menengok Black Widow.
-
Keluarga Tidak Sebatas Ikatan Darah
Natasha dikenal sebagai mata-mata organisasi jahat milik Rusia, Red Room, yang membelot kemudian bergabung dengan S.H.I.E.L.D untuk menebus ‘dosa’ dan meluruskan jalan hidupnya. Ia tidak memiliki keluarga karena sejak kecil sudah dilatih untuk menjadi mata-mata serbabisa yang mampu menjatuhkan sebuah negara. Karenanya, kehidupan Natasha sepi dan butuh waktu lama hingga ia menemukan orang-orang yang bisa disebut ‘keluarga’ dalam tim Avengers.
Namun, sebelum bertemu keluarga Avengers-nya, Black Widow menunjukkan bahwa Natasha memiliki keluarga lain meksipun relasi itu dibangun atas kepura-puraan untuk misi Red Room. Untuk sementara, Natasha memiliki ayah, Alexei atau pahlawan super Rusia Red Guardian (David Harbour), ibu dalam sosok Melina (Rachel Weisz) si peneliti Red Room, dan adik perempuan Yelena (Florence Pugh) yang nantinya juga dilatih menjadi seorang black widow seperti dirinya.
Puluhan tahun setelah keluarga pura-puranya bubar, Natasha yang sedang ‘bersembunyi’ kembali dilempar untuk berhadapan dengan keluarga mata-matanya itu. Ia ‘dipaksa’ membuka diri secara emosional untuk menerima fakta bahwa ia suka dengan keluarga kecil palsunya karena selama beberapa saat, ia memiliki kehidupan normal walaupun sedikit disfungsional.
Tema tentang found family atau keluarga yang ditemukan selalu menjadi topik yang hangat karena dalam kehidupan nyata, kenyamanan biasanya ditemukan dalam orang-orang yang tidak memiliki ikatan darah. Selain itu, keluarga inti tidak menjadi jaminan seseorang bisa diterima dan merasa memiliki tempat untuk pulang.
Baca juga: Cruella dan Cara Disney Menulis Ulang Karakter Antagonis Perempuan
2. Persaudaraan Perempuan
Layaknya kakak-adik pada umumnya, Yelena dan Natasha suka bertengkar karena hal remeh-temeh. Interaksi mereka itu membuat Black Widow lebih berwarna. Namun, Marvel memiliki tradisi untuk membunuh satu orang dari dua saudara, seperti Thor dan Loki serta Wanda dan Pietro. Tradisi itu dan kedekatan antara keduanya menjadi lebih menyakitkan karena Natasha pergi meninggalkan Yelena lebih dulu.
Tema tentang persaudaraan tersebut tidak hanya berhenti pada relasi Yelena dan Natasha, tetapi para black widow atau mata-mata perempuan lain seperti mereka. Sebagai sesama perempuan yang terperangkap dalam belenggu Red Room, Natasha, Yelena, dan para black widow harus bersatu melawan kekuatan besar yang menindas perempuan.
Jika dianalogikan dengan situasi masyarakat di dunia nyata, Red Room adalah nilai-nilai patriarki, sementara para black widow adalah perempuan yang ditahan dalam belenggunya. Maka dari itu, tema tentang sisterhood atau persaudarian itu menjadi satu hal yang bisa menjatuhkan nilai-nilai kuno dan mengekang tersebut. Sayangnya, ada perempuan yang mendukung langgengnya hidup nilai patriarki, seperti beberapa black widow yang ‘dipaksa’ patuh pada Red Room.
3. Perempuan yang Rebut Kembali Identitasnya
Untuk pertama kali dalam hidupnya, Yelena yang telah bebas dari kontrol Red Room bisa memegang kendali dan membuat keputusan untuk dirinya sendiri. Berdasarkan alasan itu, Yelena juga ingin membebaskan black widow lain yang masih terperangkap dalam tipu daya Red Room.
Ia dan Natasha setuju organisasi itu merebut identitas banyak orang, bahkan sebelum mereka bisa mengenal dan menentukan siapa diri mereka sendiri. Red Room juga menganggap perempuan sebagai objek atau sumber daya bumi yang tidak ada habisnya, maka itu mereka bisa dieksploitasi sesuka hati.
Dengan dalih melatih perempuan ‘terbuang’ mencapai potensi tertinggi mereka, Red Room mengambil hak kemanusiaannya, seperti mencabut alat reproduksi mereka tanpa persetujuan. Perempuan dinilai bukan manusia yang memiliki agensi dan gampang dibuat patuh. Terlebih lagi karena berada di dunia fiksi, tujuan untuk mengontrol perempuan semakin mudah dengan bantuan teknologi canggih.
Yelena dan Natasha ingin merebut kembali identitas dan kehendak bebasnya sebagai perempuan yang berhak memiliki kehidupan layak, bebas dari manipulasi, dan lingkungan penuh kekerasan.
Baca juga: 5 Perbaikan Soal Penggambaran Perempuan dalam ‘Synder Cut’
4. Sentil Isu ‘Human Trafficking’
Tidak hanya tentang pembebasan perempuan, Black Widow juga menyentuh sedikit isu perdagangan manusia lewat cerita masa lalu para black widow yang dibuang, ‘diambil’ paksa, hingga dijual untuk kepentingan bisnis organisasi jahat. Black Widow adalah cerita kehidupan orang-orang yang menjadi korban. Namun, berkaca pada situasi di kehidupan nyata, isu perdagangan manusia sangat kompleks dan tidak ada pahlawan yang dengan mudah bisa menyelamatkan atau membebaskan para penyintas.
Sama seperti film pahlawan super yang mendahuluinya, Black Widow membahas isu perempuan dari kacamata perempuan. Pemilihan tema seperti itu juga tidak menjadi tanda tanya karena filmnya disutradarai oleh sesama perempuan, Cate Shortland.
Selain itu, Black Widow juga melawan norma seksis yang menjadikan perempuan sekedar objek pemanis dan membuat karakter laki-laki sebagai tokoh jahat atau karakter sampingan yang komikal.
Sayangnya jika melihat sepak terjang karya sinema sci-fi yang berpusat pada perempuan, sering kali ada reaksi buruk dari penggemar yang anti-feminis. Ghostbuster(2016), Captain Marvel, dan Birds of Prey menjadi beberapa film yang dihujat karena dianggap terlalu sarat nilai feminisme, walaupun hanya sedikit, dan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan dari cerita atau komik aslinya.
Black Widow tidak bisa serta-merta bisa dianggap sebagai film yang sangat feminis meskipun berpusat pada perempuan. Film itu merupakan bagian dari waralaba berjuta dolar. Maka, topik tentang agensi, identitas, dan jalan hidup tidak lepas dari perempuan yang mengambil pilihan menjadi heroik untuk terus memproduksi film-film selanjutnya.
Comments