Beberapa waktu lalu, tersebar video dengan latar suara bacaan ayat-ayat Alquran, memperlihatkan seekor ikan pari yang mukanya sekilas berbentuk wajah manusia. Konon katanya ikan tersebut adalah seorang anak yang dikutuk oleh orang tuanya karena berbuat jahat pada mereka. Usut-usut punya usut, itu adalah video buatan alias hoaks yang muncul sekitar 10 tahun lalu.
Video semacam ini, berikut konten hoaks lainnya, marak di internet, mendorong Hivos,
sebuah lembaga nirlaba non-pemerintah yang bergerak di isu kemanusiaan, meluncurkan laman hoaxplay.com untuk mengedukasi anak muda agar bisa secara mandiri menangkal hoaks.
Afra Suci dari tim Hivos mengatakan, penelitian lembaga itu pada akhir 2018 menunjukkan bahwa kebanyakan anak muda mengonsumsi informasi hanya lewat lini masa media sosial mereka, dan situs berita tidak lagi relevan bagi mereka.
“Hasil pemetaan itu juga memperlihatkan bahwa mereka masih belum paham bagaimana informasi-informasi tersebut muncul di media sosial mereka. Nah, kami pun berinisiatif untuk membuat Hoaxplay.com agar anak-anak muda tidak hanya belajar apa itu informasi atau berita bohong, tetapi juga bagaimana menjadi agen anti-hoaks di lingkungan mereka,” ujar Afra dalam acara “Mencari Langkah untuk Merespons Hoaks”, Kamis (3/10).
Istilah hoaks atau berita bohong sudah sering kita dengar dan beredar di media sosial. Hasil survei Dailysocial.id pada 2018 terhadap 2.032 pengguna ponsel pintar di Indonesia memperlihatkan bahwa 53,2 persen responden sering menerima informasi hoaks. Sebagian besar hoaks tersebut didapat dari Facebook (81,2 persen) dan WhatsApp (56,5 persen).
Dari jumlah responden tersebut, hanya 55,6 persen yang selalu melakukan verifikasi terhadap informasi dan 31 persen mengakui sulit mendeteksi mana yang berita bohong. Walaupun informasinya belum terverifikasi, sebagian besar responden memiliki kecenderungan untuk membagi info tersebut pada orang lain.
Baca juga: Kenali ‘Buzzer’, Hadapi Persekusi Digital
Hoaxplay.com merupakan situs belajar mandiri untuk memahami hoaks secara menyenangkan dan menyasar anak muda berusia 15-24 tahun. Dalam situs tersebut, para pengguna akan diajak bermain sambil belajar dalam lima tahapan, yaitu percaya hoaks bikin maboks; Social Networking atau Notworking; bohong kamu tukang bohong; percaya gak percaya; dan hempaskan hoaks di sekitarmu.
Setiap tahapan berisi informasi soal hoaks dan bagaimana alur informasi beredar di media sosial, yang ditampilkan secara interaktif, mulai dari mengisi teka-teki silang hingga video animasi interaktif.
Tiap-tiap tahapan dalam Hoaxplay telah disesuaikan dengan kebutuhan anak muda saat ini. Pada tahap kedua, misalnya, ada informasi soal filter bubble, yang membuat individu hanya mendapatkan informasi yang mereka inginkan dan seragam dengan apa yang mereka percayai. Situs ini kemudian memberikan tips bagaimana memecahkan filter bubble media sosial mereka.
“Hasil penelitian kami juga memperlihatkan, anak-anak muda ini juga sungkan dan tidak tahu bagaimana menghadapi orang-orang yang lebih tua yang suka menyebarkan hoaks. Untuk itu, di tahapan terakhir dari Hoaxplay ini kami memberikan tips bagaimana mengingatkan orang-orang di sekitar mereka tentang hoaks,” kata Afra.
Project Officer Hoaxplay.com, Nisrina Nadhifah, mengatakan Hoaxplay.com dapat digunakan secara mudah lewat perangkat komputer maupun ponsel pintar.
“Setelah melewati lima tahapan dalam Hoaxplay, pengguna mendapatkan sertifikat pejuang anti hoaks yang bisa langsung dicetak secara mandiri oleh pengguna,” ujar Nisrina dalam acara yang sama.
Nisrina juga berharap Hoaxplay.com dapat mendorong anak-anak muda untuk selalu berpikir kritis untuk mengidentifikasi informasi-informasi yang beredar di internet, serta menjadi agen anti-hoaks untuk diri mereka sendiri dan orang di sekitar mereka.
Ilustrasi oleh Sarah Arifin
Comments